Sequel Kamil

1.4K 110 7
                                    

#My_Lovely_Student

Sequel
#tidakadadalamnovel

Rinai hujan membasahi bumi, bersamaan dengan gemuruh petir yang bersanding dengan cahaya kilat yang silih berganti. Waktu telah menunjukkan pukul satu malam. Berdiri seorang ibu muda berusia dua puluh tujuh tahun yang tengah menggendong seorang bayi yang menangis tiada henti sejak maghrib tiba.

"Zikra ... tidur dong, Nak. Bunda lagi khawatir banget, ayah belum pulang dan ini sudah tengah malam."

Wajah Jihan tampak begitu gusar. Andai Kamil membalas pesan atau paling tidak membacanya, mungkin ibu muda itu takkan sekhawatir itu.

Beberapa kali dia meraih ponsel demi menanti kabar dari Kamil. Nihil, air matanya terus turun mengingat pertengkaran sengit yang sempat terjadi sebelum Kamil berangkat kuliah.

Flashback On
"Hari ini kerja kelompok, besok lemboor, gitu aja terus. Kau anggap apa bini kau, Mil?" Jihan meracau tanpa henti, kala mengetahui weenendnya harus kembali menyendiri karena Kamil selalu sibuk dengan urusannya.

"Dari awal aku sudah katakan konsekuensi apa saja yang harus kita terima atas pernikahan ini. Ayolah, Han. Aku begini bukan untuk senang-senang, tapi demi masa depan kamu sama Zikra."

Jihan masih saja meracau seraya membetulkan buntalan handuk di rambutnya yang terus jatuh ke bawah. Sedangkan Kamil, seperti biasa. Racauan sang istri tak pernah digubrisnya, dia justru asik terlelap di meja makan.

Sebuah pukulan mendarat di pelipis Kamil, tampaknya berasal dari sebuah centong nasi.

"Kebiasaan, bini ngomel malah tidur." Suara Jihan yang tinggi seketika membangunkan Kamil dari tidur lelapnya.

Seketika Kamil terbangun dan hendak mengambil sepotong roti yang ada di hadapannya. Baru saja potongan roti tersebut dia jamah, Jihan langsung menarik piring dengan cepat.

"Minta maaf dulu sama aku, baru boleh makan rotinya!"

Kamil meremas kasar rambutnya. Sepertinya ia mulai muak karena terlalu diatur-atur oleh guru yang kini menjadi istrinya tersebut.

"Nenek bawel!" gerutu Kamil dengan suara pelan.

"Ulangi!!"

"Nenek bawel, jelek, gendut, menang putih doang. Ga ada bedanya sama bengkuang!"

Hati Jihan memanas. Tepat satu tahun pernikahannya dengan Kamil, pertama kalinya suaminya mengatakan seperti itu. Rasa percaya diri Jihan seolah sirna. Ia sadar, berharap cinta lebih dari seorang Kamil adalah hal yang terlalu berlebihan. Kamil masih belia, sedangkan Jihan hampir mencapai kepala tiga.

Tak dibalas ucapan suaminya tersebut, ia lebih memilih mengurung diri di kamar. Jihan memeluk Zikra, bayi berusia dua bulan tersebut yang sedang tertidur pulas. Air matanya mengalir, dia bangkit dan mematut diri di depan kaca, memandangi keriput halus yang mulai muncul di sekitar mata.

"Han ...."
"Kamu kalau mau berangkat, yasudah berangkat saja," ujar Jihan dengan suara lembut.
"Buka dulu pintunya."

Jihan bangkit dan membukakan pintu kamar. Kamil yang merasa bersalah telah menyinggung Jihan berusaha memeluk tubuh ramping istrinya yang kemudian ditepis.

"Aku memang jelek dan tua. Namun, setidaknya kita bisa hidup enak semua karena gajiku."

Mendengar ucapan Jihan, muka Kamil merah padam. Batinnya bergemuruh, harga dirinya sebagai suami benar-benar telah diinjek oleh istri yang merupakan bekas gurunya ini.

Selama ini, Kamil merasa tidak pernah mengutak-utik gaji Jihan. Baginya, meski nafkah yang diberikan tidak seperti para suami lain, tapi dia telah bekerja keras semampunya. Ucapan Jihan kali ini cukup menohok hatinya. Kamil pergi tanpa berpamitan.

Flashback off
Setetes air mata jatuh membasahi pipi halusnya. "Maafkan aku, Mil. Sungguh, kata-kata itu tidak keluar dari lubuk hati terdalam."

Zikra mulai tampak lelah, Jihan segera membawa bayi itu dalam dekapan. Bayi itu akhirnya mau menyusu lalu tertidur. Ibu muda itu sungguhlah tak dapat lagi menahan kantuk, satu alasan yang membuat matanya masih terjaga, yaitu sosok suami yang ditunggu.

'Mungkinkah terjadi sesuatu padamu, Mil?' batin Jihan bergemuruh, dadanya sesak. Jutaan pertanyaan hinggap di hati.

Tak lama kemudian, terdengar suara pintu diketuk. Jihan berlari dengan semangat, berharap ketukan itu berasal dari suaminya. Andai benar, sungguh ia ingin memeluk dan mengucap kata maaf.

"Malam, Mbak. Saya teman kuliah Kamil."

Jihan tercengang melihat dua kawan Kamil yang membawa motornya ke rumah. Ia berusaha mencarinya ke setiap sudut halaman, ternyata orang yang dimaksud tak ada.

"Mbak, Jihan. Kami pulangkan motor Kamil. Tadi pulang futsal, Kamil ... Kamil ...."

"Suami saya kenapa?" tanya Jihan dengan suara lantang.

"Saya ga enak ngomong sama Mbak Jihan. Mbak sabar, ya."

Jihan maju dan meremas kerah lelaki muda tersebut. Emosinya memuncak, bercampur rasa khawatir. Air mata itu meleleh membasahi wajahnya bercampur rinai hujan dari langit.

"Pulang futsal ... Kamil ...."

Wajah kedua temannya tampak meyakinkan Jihan, terlebih ketika temannya menyodorkan pakaian Kamil yang telah bersimbah darah. Jihan tersungkur, dan menangis sejadi-jadinya. Andai tadi pagi tidak bertengkar, mungkin suaminya tidak akan pulang malam, dan masih baik-baik saja.

Diciuminya baju yang bersimbah darah tersembut. Tangis Jihan seolah bersahut-sahutan dengan gemuruh petir yang belum mereda.

"Pulang futsal, aku mampir ke toko kue, Sayang. Happy anniversary."

Jihan tergugu. Ketika melihat Kamil tengah berdiri di belakangnya, dengan membawa sebuah kue tart dengan beberapa tangkai lilin yang menyala.

"Uluh-uluh. Ternyata dibalik galak dan menyebalkan, kamu ini cinta banget sama aku, ya?"

Jihan masih tak berbicara. Pupil matanya bergerak ke sana ke sini. Memperhatikan ketiga lelaki di sekelilingnya. Kedua teman Kamil pun ikut tertawa terbahak-bahak.

"Heh, darah apa itu yang kucium-cium barusan?" tanya Jihan pada mereka.

"Darah ayam, Sayang. Makanya kita lama tadi bakar ayam dulu. Kamu lupa, ya? Hari ini adalah anniv kita yang pertama."

Jihan masuk ke dalam, lalu kembali keluar dengan membawa centong nasi. Dipukulnya bahu Kamil berulang kali.

Mereka saling berlarian dan naik ke atas kursi. Jihan yang gemas tak berhenti mengejar sampai dirinya berhasil memukul Kamil bertubi-tubi.

"Kamu tuh rese, ngeselin, nyebelin!!" ucap Jihan.

Seluruh teman Kamil pun ikut tertawa melihat tingkah suami istri tersebut.

"Iya, sayang. Maaf, ya. Tiup dulu lilinnya, nih!"

Jihan tersenyum dan meniup beberapa batang lilin yang menyala tersebut. Satu, dua, tiga tiupan tidak berhasil. Ditiup, nyala lagi ... ditiup, nyala lagi. Jihan baru sadar kalau yang sedang ditiupnya adalah Magic Candle. Malam ini sudah dua kali, suaminya itu mengerjainya.

Setelah acara makan-makan selesai, kedua teman Kamil izin pulang. Pintu ditutup, dan Kamil membopong tubuh istrinya tersebut ke kamar.

"Maafkan aku, ya. Tadi pagi aku bilang kamu kayak bengkuang itu bercanda."

"Bohong!"

Kamil membawa Jihan dalam rengkuhan, mata mereka berdua terpejam. Kapan lagi bisa menikmati momen berdua seperti ini tanpa tangisan Jimil.

"Aku ga bohong, kamu tuh imut, cantik, ngegemesin. Cuma emang bawel banget."

"Aku juga minta maaf, sudah bawa-bawa penghasilan tadi pagi. Itu hanya emosi aja kok."

Kamil mengecup rambut Jihan beberapa kali, harum rambutnya seolah menggodanya untuk melakukan hal lebih terhadap istrinya.

"Sekarang mau alasan apa lagi? Zikra sudah tidur hayo!!!"

Tak ada jawaban!

"Han ...."

Kembali tak ada jawaban. Sebab Jihan telah pulas akibat kekenyangan.

My Lovely Student (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang