#My_Lovely_Student
Gara-gara gelas
Sudut Pandang KamilHari ini ulangan matematika, gue belum belajar sama sekali. Kesibukkan antara menjadi pelajar dan harus bekerja membuat gue kewalahan untuk membagi waktu.
'Maafin saya, Bu Jihan. Hari ini saya nyontek. Sekali, aja! Semoga ibu ngertiin.' Suara batin gue benar-benar bergemuruh. Seumur hidup, baru kali ini gue nyontek di kertas kayak begini.
🍀🍀🍀
Sesuai dugaan, soal matematika yang dibagikan di luar ekspektasi. 'Gile, susah banget.' Ini guru, giliran contoh soal gampang, tapi pas ulangan susah banget.
Akhirnya, gue keluarkan selembar kertas bertuliskan beberapa rumus matematika. Tetap berusaha tenang dan bersahaja, sebab Bu Jihan masih berada di baris kanan siswa.
Bu Jihan adalah tipe guru yang paling tidak bisa diam kalau ngawas. Jalan terus mengelilingi kami. Sampai akhirnya, langkahnya perlahan menuju ke arah gue.
'Ini gue gagal fokus, sumpah. Bukan karena takut ketahuan, tapi pesonanya ... memukau banget. Bikin mata ga bisa berhenti berkedip.'
Langkahnya berhenti tepat di sebelah meja gue, dengan alasan sederhana, dia menggeledah barang-barang gue. Selembar kertas bertuliskan rumus-rumus matematika ditemukannya. 'Andai dia tahu, gue sebenarnya ga niat nyontek, gelagat gue karena menahan debar jantung akibat rasa di dalam dada.'
"Bu." Hanya itu kata yang terucap dari mulut gue, dia tak peduli.
Dengan santai dia berjalan kembali ke meja guru dan menggebrak dengan kencangnya. "Dari awal sudah saya katakan, saya lebih suka kalian jujur meski nilai pas-pasan, daripada harus menyontek dengan harapan mendapat nilai tinggi.
Gue segera pergi meninggalkan kelas tanpa berpamitan dengannya. Dia berusaha mengejar, tapi langkah gue lebih cepat.
'Maaf, Bu. Kalau saya ga cari gara-gara Ibu ga pernah menyadari keberadaan saya di kelas.'
🍀🍀🍀
Hari ini gue izin kerja dengan alasan sakit. Yap, memang sakit. Diabetes rasanya setiap hari ketemu guru semanis itu. Gue pandangi beberapa foto dirinya dalam sebuah agenda. Gue emang sering foto dia tanpa sadar, di segala aktivitasnya.
Pikiran gue melayang ke hal manis yang mungkin gue lewati andai kami bisa berdekatan. Debaran jantung yang kuat, disertai deru napas yang menggebu. Gue peluk foto Bu Jihan, dan tanpa sengaja berdoa. 'Kalau hari ini Bu Jihan kirim pesan atau telepon atau bahkan ke rumah gue untuk minta maaf, dia bakal jadi istri gue.'
Gue turun dari ranjang dan berjalan ke arah jendela kamar. Dari lantai dua terlihat Bu Jihan sedang berada di pintu pagar rumah gue. 'Secepat inikah doa dikabulkan? Rasanya belum siap nikahin dia minggu depan. Tolong Kamil, Ya Allah.'
Gue mondar mandi tidak keruan di dalam kamar. 'Berusaha tenang, Kamil. Meski kadar gula dalam darah bakal semakin naik kalau lihat dia lagi.'
Sampai ketika Mbak Wati mengetuk pintu kamar, gue masih bolak-balik.
"Den Kamil. Kok kaya gosokan? Kenapa? Itu ada gurunya nunggu di bawah."
"Iya Mbak, sebentar!" Gue masih bolak-balik sambil memegang kepala.
"Den Kamil, kenapa? Spaneng, ya? Punya guru aduhai begitu?" Mbak Wati terus meledekku habis-habisan. Secara tak disengaja dia mengakui Bu Jihan memang cute.
"Iya, Mbak. Diam makanya, saya udah nyut-nyutan ini!!"
Mbak Watri melotot heran. "Den Kamil udah ngerti nyut-nyutan segala? Ampun, anak zaman sekarang."
Mbak Watri ini memang kebiasaan, sering lupa pasang saringan di mulutnya. Jadi, bahasa yang keluar asal saja. "Kepala Kamil, Mbak. Pening, itu guru galak pake banget!!" kilah gue.
Mbak Watri tertawa dan menjauh dari kamar. Gue berdiri cukup lama di depan cermin hanya demi membetulkan gaya rambut. Belah kanan, kiri, ga selesai-selesai. 'Sore ini saya pastiin Ibu bakal klepek-klepek sama saya.'
Gue menuruni anak tangga sambil menatap ke arah dirinya yang tengah duduk di sofa. Dengan balutan pakaian ABG dan rambut panjang terurainya sukses buat hati gue berdebar-debar.
"Ada apa ibu ke rumahku?" Gue memulai pembicaraan, meski hati sangat gugup memandang wajah cantik natural tanpa polesan make up.
"Bertemu orang tuamu."
"Sudah kukatakan mereka meminta untuk diganti jadwalnya, sebab mereka memang tidak bisa. Hari ini jadwal mereka dinas ke luar kota."Gue segera bangun dari tempat duduk dan berjalan menuju dapur, dua gelas sirup berwarna merah untuk kami tersedia di meja.
"Ehm, Kamil. Untuk peristiwa tadi, kemarin, dan dua hari yang lalu. Saya mohon maaf."
Gue tersenyum simpul dengan kaki kanan menopang di atas kaki kiri, dan tangan kanan digunakan untuk menyangga dagu yang berbelah ini. Gue seperti kecanduan memandangnya, mata bening itu terlalu cantik untuk diabaikan. Tidak peduli dia siapa. 'Malam ini kamu harus bertekuk lutut padaku, Bu.'
"Untuk apa meminta maaf, Bu? Itu memang salahku. Lagipula apa yang ibu lakukan itu masih dalam batas wajar. Kecuali ibu berani bermain kasar, maka akan kulaporkan ke orang tua."
Kali ini dia kalah melawan gue, dua menunduk. Bukan karena takut, tapi sepasang karena sepasang mata gue tak ada berhenti menatapnya. 'Percayalah, Bu Jihan. Saya juga lagi grogi.'
Untuk mencairkan suasana, kembali dia membuka topik percakapan.
"Rumahmu sebesar ini, mengapa masih bekerja? Lalu kok sekarang tidak bekerja? Apa sekarang jadwalnya malam?"
"Bu Jihan, hari ini penampilannya beda banget, sungguh," ucap gue menggodanya. Serius, ini bukan godaan, tapi gue memang sedang jujur dari hati yang terdalam.
"Oh,ya? Menurut kamu bagusan sekarang atau sebelumnya?"
Bu Jihan salah tingkah, ini artinya rayuan kecil gue mempan. 'Oke, Bu. Ini baru awal, siap-siap dengan bumbu rayu yang akan saya berikan besok dan seterusnya.'
"Ehm, yasudah Kamil, kabari saya ya kapan orang tuamu siap?"
"Oke, Bu. Untuk pertanyaan tadi saya belum jawab. Ibu lebih oke sekarang, kaya abegeh bu. Hehe," tukasnya.
Kerongkongannya bergerak. Dia tampak salah tingkah dan buru-buru keluar dari tempat ini. Dia telah terbawa arus. Gue yakin, kalau bukan karena salah tingkah, mana mungkin gelas gue niat dibawa pulang?
"Bu."
"Ada apa lagi?"
"Gelas saya mau dibawa pulang ya?" Gw terkekeh geli sekali.Akhirnya Bu Jihan keluar rumah, tinggalah sendiri menahan lemas tak terkira. Gue tersungkur di lantai, lalu tengkurap, dengan dua tangan direntangkan. 'Baru begini aja gue udah lemes, ampun.'
"Den Kamil, ngapain ngagoler di lantai begitu?" Suara Mbak Watri mengagetkan. "Eh, nggak. Anu, Mbak. Ngadem."
Mbak Watri hanya tepuk jidat seraya meninggalkan gue yang masih tergeletak di lantai.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Student (Sudah Terbit)
Teen FictionTerkadang cinta memang tidak memandang usia dan status. Seperti cinta antara seorang guru dan siswa yaitu, Jihan dan Kamil. Sosok Kamil yang muda dan dewasa berhasil menggait hati Jihan, seorang guru sekaligus wali kelasnya, yang usianya terpaut del...