#My_Lovely_Student
Sequel 5.
Ini flashback saat Kamil masih sekolah."Bu Jihan ... ikut ke ruangan saya, sekarang!" Jihan hanya mengangguk lemah, mengekori langkah Ibu Kepala Sekolah ke ruangannya.
Mereka duduk berhadapan di sebuah ruangan berukuran 4 x 6 meter. Jihan duduk tertunduk dengan wajah pucat pasi dan lidah yang kelu. Kata demi kata yang terucap dari Bu Kepala disimaknya dengan saksama.
"Saya kecewa sama Anda!" Kalimat pendek dan lantang Ibu Kepala seakan menohok hati Jihan. Wajah itu semakin tertunduk, menutupi lelehan air mata yang mulai mengalir membasahi pipi halusnya.
"Maaf ...."
"Hanya itu ...?"
Wanita berusia lima puluh tahun itu berdiri, nanar matanya membuat siapapun yang melihatnya bergidik ngeri.
"Apa yang salah dari hubungan kami, Bu?" tutur Jihan lemah, suaranya redup, seiring matanya yang kian basah.
"Bu Jihan! Guru itu digugu dan ditiru! Wajib bagi saya memberikan contoh yang baik untuk para siswa-siswinya. Bukan memacari mereka! Memalukan!"
Jihan masih tertunduk lesu, ia masih bersikukuh dengan pemikirannya. Tugasnya sebagai guru tetap dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Namun, siapa sangka di tengah perjalanannya sebagai tenaga pendidik, dia justru menemukan arti cinta yang sebenarnya.
Sementara di luar ruangan, berdiri seorang siswa berusia sembilan belas tahun. Berusaha mengintip dari celah kunci, berharap bisa menolong sang pujaan hati.
Sepuluh menit berlalu, Jihan keluar ruangan dengan setengah berlari. Kedua tangannya memegang tisu untuk menutupi tangisnya. Ia tak memedulikan Kamil yang terus berusaha mengejarnya.
"Bu ... Bu Jihan, tunggu!"
Tak dihiraukan panggilan dari siswanya itu. Ia terus berlari ke arah parkiran, lalu pergi dengan mobilnya. Segera Kamil melangkah dengan penuh percaya diri menuju ruang Kepala Sekolah. Diketuknya pintu tersebut.
Kehidupan yang keras seolah membentuknya jadi pribadi yang kuat dan dewasa. Ia bagai sosok dewasa yang terkurung dalam tubuh remaja berusia sembilan belas tahun.
Pintu itu terbuka, dan kini ia berhadapan dengan petinggi di SMA TUNAS KARYA.
"Boleh saya masuk, Bu?" tanya Kamil seraya mencium punggung tangan Ibu Kepala Sekolah dengan takzim.
"Silakan duduk!"
Mereka duduk berhadapan. Kamil duduk tegak dengan wajah tegas, tapi tetap menjaga sopan santun. Ia masih memposisikan diri sebagai siswa di sekolah ini.
"Maaf bila saya lancang, Bu. Ada suatu hal yang harus saya katakan. Bu Jihan adalah guru istimewa, betapa banyak siswa berubah menjadi lebih baik karenanya, termasuk saya! Betapa banyak teman kami yang berhasil keluar dari masalah akibat pertolongannya. Jika hanya karena kami saling menyukai lantas Ibu kecewa seperti ini. Kemanakah kebaikan Bu Jihan yang selama ini sudah mengharumkan nama sekolah ini?"
"Ibu ingat kasus teman kami yang hampir putus sekolah karena biaya? Siapa Bu yang membantunya? Sekolah ini atau Ibu selaku Kepala Sekolah? Bukan, kan? Melainkan Bu Jihan."
"Kamil ... kamu?" Bu Kepala Sekolah mendongakkan kepalanya dan memandang siswa tersebut penuh haru.
"Kalau bukan karena Bu Jihan, mungkin semangat saya untuk melanjutkan sekolah telah pudar, Bu. Mungkin masa depan saya akan bobrok, dan sepuluh tahun lagi Ibu akan lihat saya jadi tukang parkir!"
"Lalu bagaimana dengan nama baik sekolah ini? Kamu mau tanggung jawab?" tegas Kepala Sekolah.
"Nama sekolah ini tetap harum, Bu. Saya mencintai Bu Jihan, bukan Menghamili!"
"Sembarangan kamu bicara, Mil!"
Kamil tersenyum sinis, tapi justru membuatnya semakin terlihat manis. Sekelas Ibu Kepala Sekolah saja rasanya cukup sulit berdebat dengan siswa ini. Dia memang cerdas dan dewasa.
"Mohon maaf atas kelancangan saya, Bu. Saya hanya tidak ingin Ibu melabeli Bu Jihan sebagai guru yang tak mampu memberi contoh baik kepada siswa. Permisi, Bu."
Diraihnya tangan Bu Kepala dan menciumnya dengan takzim. Ia pamit dan kembali ke kelas untuk melangsungkan pelajaran.
* * *
Jihan duduk termenung di sebuah taman yang terletak di dekat sekolahnya. Air matanya belum kering, di saat ia telah menemukan cinta, justru harus melewati belenggu masalah yang tak ringan seperti ini.
Senja menjelang, langit pun semakin memancarkan semburat cahaya kemerahan. Jihan bangkit dan menuju arah pulang, karena sepertinya sebentar lagu akan turun hujan.
"Bu ...." Suara yang amat dikenalnya memanggil namanya. Ia menoleh, remaja tersebut sudah berdiri sekitar dua meter di belakangnya.
"Kamil ...," ucap Jihan seraya menghapus air mata yang tersisa di sudut matanya.
Mereka berjalan mendekat satu sama lain hingga jarak di antaranya hanya tersisa 30 sentimeter. Jelas terlihat tinggi Jihan hanya sebatas dagu remaja tersebut
Kedua bahu Jihan kini ada di genggaman remaja tersebut, mereka saling menatap satu sama lain. Tak ada kalimat yang terucap, hanya sebuah pandangan penuh makna yang berasal dari ungkapan hati yang terdalam.
Rinai hujan mulai membasahi tubuh mereka. Tak ada satu pun di antara mereka yang bergerak mencari tempat teduh. Mata keduanya terpejam menikmati momen yang langka. Sebuah jalinan cinta romantis tanpa balutan seksualitas.
"Saya sedang merintis warung soto, saya juga nggak akan melepas pekerjaan saya sebagai seorang pelayan kafe dan tetap berusaha mendapat beasiswa demi menggapai cita-cita. Semua untuk ibu saya dan Bu Jihan."
"Kamu masih remaja, Mil. Masih labil."
"Baik, remaja labil ini akan berusaha membuktikan ucapannya."
"Buktikan apa, Mil?"
"Ya membuktikan ucapan saya. Kita lihat nanti! Apakah saya memang labil? Saya tak akan mengekang Ibu, silakan pilih lelaki manapun yang menurut Ibu jauh lebih baik dari saya. Ucapan saya hanya meyakinkan Ibu bahwa saya hanya berusaha, berhasil atau tidak balik lagi ke kuasa Allah, Bu."
Sedetik kemudian, tangis itu pun berubah menjadi senyum semringah yang menghiasi wajah mereka. Ketika dua cinta sudah bersatu, apalah arti halangan meski setinggi tembok Cina. Mereka pun berlari mencari tempat teduh, meski percuma, pakaian telah basah akibat hujan.
"Buat apa neduh coba? Udah kadung basah," ucap Jihan yang masih bersedekap karena kedinginan.
"Dingin, Bu?"
"Pake nanya lagi!"
"Sama ...," ucap Kamil meledeknya.
"Pengen yang anget-anget kalo dingin tuh."
Kamil menoleh kaget, ucapan Jihan seolah membangkitkan rasa penasarannya untuk menilik lebih dalam isi hati gurunya.
"Maksudnya, Bu?"
"Ya misalnya bakso, sekoteng, gitu!"
Mereka tertawa dalam hujan, begini saja sudah cukup membangkitkan semangat di antara keduanya.
"Kapan kamu berhenti panggil saya ibu? Saya guru kamu kalau hanya di sekolah saja." Jihan merajuk, tapi tampak menggemaskan di mata Kamil.
"Panggilan itu nggak akan pernah berubah, Bu. Baik sekarang atau nanti. Sekarang Bu Jihan guru saya, kalau nanti ... ibu dari anak-anak saya. I love you my beautiful teacher."
"I love you too my great student."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Student (Sudah Terbit)
Teen FictionTerkadang cinta memang tidak memandang usia dan status. Seperti cinta antara seorang guru dan siswa yaitu, Jihan dan Kamil. Sosok Kamil yang muda dan dewasa berhasil menggait hati Jihan, seorang guru sekaligus wali kelasnya, yang usianya terpaut del...