Part 5 Kehadiran Aiden

1.7K 103 1
                                    

Sejak hari itu, hubunganku dengan Kamil menjadi semakin akrab. Kamil menyarankan untuk tetap tegas di kelas, tapi ramah di luar. Bukankah menjadi guru yang disegani lebih baik dari pada menjadi guru yang ditakuti.

Kamil berusaha memperbaiki dirinya sedikit demi sedikit. Aku memintanya untuk meninggalkan pekerjaannya. Walau bagaimana, tugas utama seorang siswa adalah belajar, bukan bekerja. Sekarang dia hampir tak pernah bolos dan terlambat lagi, tugas-tugasnya pun terselesaikan dengan baik. Aku cukup senang melihat perubahannya.

* * *

Pagi ini, aku kembali mengajar. Penampilan kini jauh berbeda. Tak ada lagi rambut cepol, blazer formal, dan stiletto. Begitu juga dengan cara mengajar, meski di kelas aku tetap menjadi guru yang tegas akan peraturan, tapi di luar aku tak segan beramah-tamah dengan siswa.

Di hari guru ini, aku mendapat berbagai kejutan dari anak-anak XII IPS 1. Mereka memberikan kue, bunga, dan kado. Ternyata bahagia rasanya menjadi guru yang disayangi siswa, semua berkat saran Kamil.

Tok tok tok.

"Permisi, Bu Jihan. Ayo turun ke lapangan, Bu." Seorang siswa berucap sembari menyalimiku dengan takzim.

Aku melangkah menuju lapangan. Banyak siswa bersorak-sorai. Di antara mereka ada yang melakukan perlombaan, dan ada juga yang sekedar bernyanyi.

Mata memindai sekitar. Ada apa ini? Bingung hati dibuat, saat melihat siswa yang berkumpul bagai lingkaran tersebut berpencar membentuk barisan. Mereka semua memegang sebatang mawar di tangannya, satu hal yang cukup membuatku terkejut, Kamil adalah otak dari semuanya, dia duduk di tengah memegang gitar seraya bernyanyi.

Guruku tersayang, guru tercinta, tanpamu apa jadinya aku?

Setahuku, lagu ini yang menyanyikan adalah anak-anak, tapi ketika dibawakan oleh Kamil dengan suara merdunya, aku rasa tak akan ada seorang guru pun yang tidak klepek-klepek dibuatnya. Luluh lantak rasanya hati. Selama ini, aku selalu berpikir bahwa Kamil memang menggodaku, ternyata tidak. Baginya, Jihan Pramesti tetaplah gurunya.

"Bu Jihan, kami sayang Bu Jihan. Mungkin kalau Bu Jihan tidak galak, kami tidak akan menjadi siswa yang lebih baik," ujar Kamil mewakili suara teman-temannya.

Ini hari bahagiaku sebagai seorang guru, meski sedikit menyelinap rasa kecewa di dalam hati. Aku terlanjur menyukai siswaku sendiri.

* *

"Ciyee, yang jadi guru favorit," ujar Widya saat aku kembali ke ruang guru.

"Lebay ah, semua wali kelas juga dapat kejutan dari anak-anaknya."

"Tapi anak kelas lo paling keren sumpah, Han. Terlebih si Kamil, beuh, coba dia bukan siswa, gue rasa lo udah jatuh cinta."

Aku terdiam, tak menjawab celoteh Widya. Terus terang, hati ini merasa telah terbawa arus oleh siswaku sendiri. Rasa sedih diam-diam menyelinap ke relung hati. Sepertinya, patah hati kembali melanda diri.

Tidak! Kutepis rasa ini, seorang guru berwibawa. Usiaku sudah dua puluh enam tahun. Selama ini, banyak lelaki menjauh mungkin karena sikapku yang tidak bersahabat. Mungkin memang saatnya harus berubah menjadi pribadi yang lebih ramah.

"Ibu, Bapak. Hari ini kita kedatangan guru baru lho. Ulala banget pokoknya. Ganteng, gagah, siap-siap ya buibu, sebentar lagi orangnya ke sini," ujar Bu Dewi, Ibu Kepala Sekolah yang gaul.

Krek. Pintu ruang guru terbuka, sontak seluruh mata, khususnya mata para ibu-ibu menatap ke satu arah yang sama. Seorang guru muda lajang dan tampan, namanya Pak Aiden. Guru baru tersebut memperkenalkan diri di depan ruang guru, namanya

My Lovely Student (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang