°Sembilan_Try°

4.1K 388 53
                                    

Suasana pagi hari yang sejuk dan cerahnya sang mentari yang menenangkan ditemani siulan sang burung. Suasana damai dan asri dirasakan. Tetapi jauh berbeda dari suasana hati seorang Prilly.

Biasanya di pagi hari ia berdiri di balkon menikmati udara pagi hari yang menyejukkan dan mengabaikan Maxime yang sibuk menyiapkan pakaiannya untuk pergi ke kantor. Sekarang, semua berbeda jauh.

Mata sembab dan merah, bibir pucat, dan  di pipi terdapat bekas air mata yang telah mengering.

Jika ditanya, apa yang terjadi dengannya? Sesuatu telah terjadi padanya.

Jika diceritakan, mungkin ia akan berkata 'tidak sanggup untuk menceritakan sebab ini rasanya sungguh sakit'.

Ah, iya! Jangan lupakan pergelangan tangannya yang memerah dan nampak membiru.

Sekarang, sisa-sisa isakan tangisnya masih ada. Semalaman ia menangis tanpa kenal lelah. Sakit di hatinya membuatnya melupakan kesehatannya. Melupakan jika tubuhnya membutuhkan istirahat dan melupakan perutnya yang membutuhkan asupan makanan. Yang di pikirkannya sekarang adalah ; sakit di hatinya yang masih melekat dengan sempurna.

Decitan pintu terdengar. Tanpa ia melihat, pun, siapa yang membuka pintu, ia sudah bisa menebak siapa itu. Ia tetap pada posisinya, duduk di lantai dan menyandarkan kepalanya ke tembok. Air matanya kembali menetes. Tidak perduli seberapa beratnya matanya sebab menangis semalaman.

Perlahan, derap langkah kaki mendekat ke arahnya. Takut? Sama sekali tidak! Justru ia biasa-biasa saja. Toh, buat apa takut dengan lelaki yang berjiwa 'perempuan'.

"Prilly, kamu butuh istirahat. Semalaman kamu kayak gini, gak capek?" Dengan cepat Prilly menangkis tangan Maxime dan menghempasnya dengan kasar ketika tangan kekar Maxime hendak mengusap air matanya.

"Pergi!" ujarnya dengan tegas dan tatapan tajam.

Rupanya lelaki seperti Maxime tidak memiliki urat malu. Bagaimana tidak, sudah jelas bahkan dengan terang-terangan Prilly mengusirnya, tetap saja Maxime tidak beranjak dari tempatnya. Justru Maxime semakin mendekati Prilly. Prilly beringsut saat jaraknya dengan Maxime hampir dekat.

"PERGI! Gue bilang Pergi! Setan!" pekik Prilly hingga tanpa sadar dirinya melempari Maxime dengan remote AC yang kebetulan ada di meja nakas yang dekat dengannya.

"Arghh..," Maxime terpekik ketika remote AC yang Prilly lempar padanya mengenai kepalanya.

Prilly berdiri dari duduknya dan hendak meninggalkan kamar. Tetapi Maxime menahannya dengan menarik pergelangan tangannya membuat tubuh Prilly terpental dan jatuh ke pelukan Maxime.

Maxime tidak menyia-nyiakan kesempatan emas baginya. Maxime menahan pinggang ramping Prilly dan mencengkeramnya dengan kuat. Menekan kepala Prilly pada dada bidangnya agar Prilly berhenti memberontak. Membawa kedua tangan Prilly ke belakang punggungnya agar Prilly berhenti memukulinya.

"Lepas. Lepasin gue." lirih Prilly yang terlihat lemas, ditambah lagi dengan Maxime yang menekan kepalanya ke dada bidang Maxime membuatnya kesulitan bernapas.

Menyerah. Akhirnya Prilly lelah dan berhenti memberontak. Ia memejamkan matanya dan membiarkan tangan Maxime mengusap pucuk kepalanya. Ia terdian bukan karena merasa nyaman dipeluk Maxime. Tetapi karena kepalanya yang rasanya pening dan berputar. Tenaganya terkuras habis.

Tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Maxime meletakkan kepalanya di atas kepala Prilly dan sesekali mengecupnya.

"Aku gak tau apa yang sebenarnya terjadi sampai kamu seperti ini." ujar Maxime.

"Gara-gara lo, setan!" lirih Prilly.

"Jelasin, kenapa semua gara-gara aku." ujar Maxime dengan nada suara yang lembut.

Affair With You [Season2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang