°Dua Puluh Satu_ Shocking°

3.4K 400 21
                                    


Adanya jantung untuk berdetak. Adanya otak untuk berpikir. Dan adanya kamu untuk melengkapi hidupku.
-ALI-


Sekarang Prilly memang merasa bahagia karena papanya telah merestuinya dengan Ali. Juga karena Ali yang telah melamarnya meskipun itu tidak resmi. Tapi setidaknya ia telah merasa seperti di miliki seutuhnya oleh Ali. Tapi ada satu hal yang mengganggu pikirannya dan ini memang sangat mengganggu sekali.

Bukan masalah dirinya dan Ali yang telah direstui oleh papanya. Melainkan masalah tentang Maxime. Ya, Maxime. Pria itu berhasil membuatnya kepikiran. Bukan karena khawatir atau semacamnya, hanya saja ia memikirkan posisinya sekarang. Sekarang ia masih menjadi istri sah Maxime. Ia bingung harus bagaimana agar bisa terlepas dari Maxime dan sepenuhnya milik Ali.

Tidak mungkin jika ia melaksanakan acara pertunangannya dengan Ali disaat ia dan Maxime masih berstatus suami istri. Bodohnya dirinya yang melupakan akan satu hal itu.

Sekarang ia sendiri yang kebingungan. Kalau sudah begini, ia harus gerak cepat untuk mengurus surat perceraiannya dengan Maxime. Ia tidak mau setelah ini terjadi sesuatu yang tidak di harapkan.

Prilly yang sedang mondar-mandir tidak jelas di balkon kamarnya mendadak terdiam dengan pandangan lurus ke bawah, tepatnya ke halamana rumahnya dimana mobil hitam yang sangat ia kenali terparkir disana. Senyumnya langsung merekah. Ia langsung berlari keluar dari kamarnya menuju lantai bawah, ruang tamu.


"Ali,"  dengan senyum yang masih merekah, Prilly berhambur ke dalam pelukan Ali yang duduk berhadapan dengan papanya di sofa ruang tamu.

Ali terkikik melihat tingkah Prilly belakangan ini yang selalu memeluknya ketika ia mampir ke rumahnya. Semakin manja dan membuatnya semakin gemas.

Ali mengusap pucuk kepala Prilly dan beralih mengusap pipi Prilly yang semakin hari semakin chubby.

"Udah kali kak, bisa sesak nafas, tuh, Bang Alinya." celetuk Shofi yang muncul dari dapur dengan membawa nampan berisi jus jeruk dan keripik kentang.

Prilly melirik adiknya sekilas dan melengos. "Biarin. Lagian Alinya gak protes. Sewot banget, sih, anak kecil." Prilly melepas pelukannya dan beralih memeluk lengan Ali.

Shofi mencibir, "mentang-mentang udah di kasih lampu hijau sama papa. Mau romantis-romantisan sampek gak lihat tempat. Istilahnya, tuh, kayak dunia milik berdua, yang laen pada ngontrak. Iya, kan, pah." Shofi mengambil duduk di samping papanya menatap kakaknya dan Ali dengan pandangan kesal yang dibuat-buat.

"Makannya Rassya suruh datangin papa kamu dek, biar kamu gak iri sama kakak kamu." sahut Ali yang mendapat pelototan tajam dari Shofi. Bagi Shofi perkataan yang menyangkut nama Rassya begitu sensitif bagi papanya. Sebab, bukan satu atau dua kali Rassya mendatangi papanya, bahkan sudah berkali-kali dan hasilnya selalu penolakan keras dari papanya. Karena itulah Shofi tidak mau memancing emosi papanya.

"Bang Ali ngomongnya ngaco, deh. Udah, lah, Shofi mau ngerjain tugas." buru-buru Shofi beranjak dari duduknya. Lebih tepatnya menghindari amarah papanya karena ia sempat melirik papanya yang memperlihatkan ekspresi yang sulit di artikan.

Prilly terkikik geli. Ia tahu kalau adiknya sedang menghindar. Adiknya tidak mau emosi papanya kembali terpancing. Mungkin sekarang yang akam bernasib malang adalah adiknya.

"Adik kamu aneh. Aku, kan, ngomongnya sesuai fakta masa dibilang ngaco." kekeh Ali.

"Kamu kenal Rassya, Li?" 

Mendengar pertanyaan yang terlontar dari papa Prilly membuat Ali menolehkan kepalanya menatap papa Prilly serius.

"Rassya sahabat saya, om." ungkap Ali.

Affair With You [Season2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang