"Aku tak mampu untuk berjanji, tak mampu pula untuk memopang diri ini sendiri. Akan tetapi, di dalam doa ku aku herharap bahwa keajaiban itu nyata, hingga ada seseorang yang bisa kujadikan tempat untuk bersandar."
****
Embun di pagi buta
Menebarkan bau asa
Detik demi detik ku hitung
Inikah saat ku pergiOh Tuhan ku cinta dia
Berikanlah aku hidup
Takkan ku sakiti dia
Hukum aku bila terjadiAku tak mudah untuk mencintai
Aku tak mudah mengaku ku cinta
Aku tak mudah mengatakan
Aku jatuh cintaSenandungku hanya untuk cinta
Tirakatku hanya untuk engkau
Tiada dusta sumpah ku cinta
Sampai ku menutup mata
Cintaku sampai ku menutup mataOh Tuhan ku cinta dia
Berikanlah aku hidup
Takkan ku sakiti dia
Hukum aku bila terjadiTiap-tiap bait dari lirik lagu yang didengarkan oleh Lily membuatnya merasakan sesuatu menyesakkan dadanya. Ia tersenyum kecut, mengasihani dirinya sendiri sebab perasaanya masih terpaut pada sahabat kecilnya, Toby. Miris memang, namdun itulah yang terjadi.
Lily menghirup aroma minggu pagi, yang lagi-lagi sepi sama seperti minggu-minggu sebelumnya. Ia terlanjur bersahabat dengan yang namanya kehilangan, hingga membuatnya mulai terbiasa dengan kesendirian.
Untuk yang kesekian kali jari-jari tangannya yang menggenggam pulpen itu mulai menuliskan sesuatu di buku hariannya. Untaian kata-kata mengenai perasaanya tertuang dalam bentuk tulisan agar kekal abadi di dalam buku tersebut, lagi-lagi ia tersenyum miris, seolah mengasihani dirinya sendiri.
"Ly...." panggil seseorang yang tanpa ia sadari telah berdiri di hadapannya.
Lily terkesiap, kaget sebab kehadiran orang tersebut secara tiba-tiba.
"Eh, T-Toby," ujar Lily gelagapan, membuat laki-laki itu malah tersenyum kecil sambil mengambil posisi duduk di kursi sampingnya.
"Ada apa, By?" tanya Lily tanpa basa-basi sebab tak mau terlalu lama bersama lelaki yang sudah memiliki kekasih itu. Bahkan duduk terlalu lama dengannya pun malah membuatnya teringat akan sosok Aster, untung ada meja kecil yang jadi sekat penghalang di antara mereka berdua.
"Nggak apa-apa, kok. Cuman lagi pengen mampir aja, lagian kan kita udah lama nggak bareng kayak gini," kata Toby sambil menatap lawan bicaranya, membuat sosok Lily jadi terkesima untuk sesaat akan manik mata sahabatnya itu. Guresan sayup-sayup di sekitaran mata membuat Lily jadi menebak kala lelaki itu belum mandi.
Lily tersenyum kecil, lalu menatap balas manik mata lelaki tersebut. "Kupikir ada hal penting yang mau kamu bicarain," ujar Lily, berbicara dengan nada serendah mungkin.
"Sejak kapan kamu mulai serius kayak gini? Nggak biasanya, loh." Toby mencibir gaya bicara gadis di hadapannya itu lalu tertawa mengejek.
Semenjak kamu menjauh bersama kekasihmu itu, By, ucap Lily dalam hati. Sementara bibirnya turut ikut tersenyum saat melihat tawa mengembang di wajah lelaki itu.
"Eh, ngomong-ngomong, kok kayak kenal ya, sama buku diary itu." Toby menunjuk buku diary berwarna merah hati di tangan Lily, sedangkan matanya masih menatap intens buku tersebut.
Menyadari akan hal yang dimaksud oleh Toby membuat Lily jadi bingung harus melakukan apa. Ingin disembunyikan, Toby terlanjur tahu, ingin mengelak, Lily tak pandai berbohong. Sekarang gadis tersebut benar-benar terpojok.
"Ah, i-anu. Mmm..." Lily terbata.
"Oh... aku ingat sekarang, itu kado ultahmu tahun lalu. Iya iya, bener," ujar Toby dengan senangnya setelah mendapat jawabannya.
Lily pun hanya bisa tersenyum canggung di saat Toby berhasil menebak semuanya. Bisa dibilang ia sedikit malu, apalagi saat teringat kalau Toby sempat melihatnya menuliskan sesuatu di atas buku itu. Jujur ia malu, bahkan pipinya kini berubah jadi merah meronan.
Tiba-tiba, ditengah perbincangan canggung antara Toby dan Lily seorang wanita paruh baya, yang tak lain Mamah dari Lily datang menghampiri.
"Eh... ada nak, Toby, udah Lama ya?" kata Neri sembari menunjukan senyum hangatnya yang dibalas cium tangan oleh Toby.
"Nggak kok tante, nggak lama," jawab Toby secara singkat sambil tersenyum kecil. Sekalipun sudah belasan tahun mengenal keluarga Lily, Toby tetap saja merasa segan terhadap yang lebih tua.
Mamah Lily pun tersenyum kecil lagi. "Oh iya, Toby. Kamu udah makan belum? Kalau belum ikut sarapan sama kita aja sini." Ajak Mamah Toby sambil mencoba menyuruh lelaki itu bangun dari duduknya. Lily pun cuman bisa tertawa kecil menyaksikannya.
"Nggak usah tante. Nggak usah, ntar ngerepotin." Tolak Toby sehalus mungkin agar si tante tak merasa disinggung.
"Alah, kamu. Nggak papa, by, lagian udah lama kamu nggak makan masakan tante." Paksa lelaki wanita tersebut sambil mencoba menyuruh Toby segera beranjak. Melihat Mamahnya yang terus memaksa, Lily pun akhirnya ikut jug.
"Yaudah, By, nurut aja apa kata mamah," kata Lily, membantu memaksakaan.
Toby tersenyum kecil. "Yaudah, deh kalau gitu. Nggak enak juga nolak terus padahal aslinya emang beneran laper," canda Toby dengan sangat lucu, membuat Mamah Lily jadi turut ikut tertawa.
Ketiganya pun mulai memasuki rumah dan menuju arah dapur untuk sarapan bersama.
,*****

KAMU SEDANG MEMBACA
Dear My Heart, Why Him? [END]
Подростковая литература[Chapter Completed] {Melodrama x Teenlit} Tidak ada yang pernah tahu cinta itu dapat berlabuh pada siapa. Nyatanya, itu yang dirasakan oleh Lily. Ia jatuh cinta pada seseorang yang menurutnya tidak tepat, yang tak pasti untuk dimiliki. Ia jatuh hati...