SINGULARITY : Intro

1.4K 168 40
                                    

"Stefan, apa kau bisa mengingat sesuatu?"

Hening... tak ada jawaban yang keluar dari mulut ku. Mata ku hanya menatap seorang gadis cantik di hadapan ku. Gadis itu -Yuki Kato, namanya- memakai jas putih dengan kaca mata bertengger di hidung bangirnya.

Sesekali ia mendesah. Desahannya terdengar frustasi di indera pendengaran ku.

"Mungkin sedikit tentang masa lalu mu." Tanyanya hati-hati sambil memandang ku lekat.

"Please, jangan diam saja. Aku tidak suka di diami." Dia menggeram putus asa.

Akhirnya.. ku putuskan untuk bersuara. Aku menjawab pertanyaannya. "Aku tidak tahu."

"Bohong.. Cepat jujur pada ku atau aku akan mengikat mu!!"

Dia mengancam ku -dan ancaman itu bukan candaan.

Kalian tentunya tahu bukan, orang sakit jiwa tidak bisa di paksakan kehendaknya seenak jidat orang lain. Aku rasa itu sudah ada di dalam peraturan seorang dokter ahli psikiatri -mungkin. Tapi Yuki melanggarnya. Mana ada dokter yang kejam pada pasien sakit jiwa seperti diriku? -Hanya Yuki.

Dua kata untuk Yuki; Dasar Laverna!

"Terserah." Jawab ku tak peduli.

Lalu hal ini akan terjadi...

"Stefan.. maukah kau jujur pada ku?"

Di saat-saat begini.. Aku benci dengannya. Aku benci dengan caranya. Menatap ku dengan manik coklatnya yang indah lalu mengedip-ngedip manja -lebih tepatnya genit, seperti gadis penggoda- cara itu hampir -tidak- sering -malah-membuat ku lemah iman -dia punya 1001 cara untuk membuat ku berkata jujur.

Kuat kan iman mu, Stefan. Kau tidak boleh kalah melawan Laverna.

Ya.. benar..

Jika dia punya 1001 cara, maka kau punya sejuta cara untuk mengelak dan mengakhiri sesi terapi hari ini.

"I dunno, jangan bertanya pada ku, Yuki." Jawab ku dengan nada -tak kalah- manja -seperti tatapan manjanya itu.

Jangan heran jika sikap ku gampang berubah-ubah, karena aku memiliki berbagai macam sisi dalam diri ku. -karena itu lah aku berakhir di sini, di rumah sakit jiwa.

"Lalu, aku harus bertanya pada siapa?"

Yuki bertanya sembari mengelus puncak kepala ku.

Kriiiiingggggg.... alaram peringatan berbunyi. Laverna mengeluarkan kekuatan rahasianya. Berhati-hatilah.

"Ck... singkirkan tangan mu dari kepala ku." Kata ku kasar sembari menepis jemari lentiknya dari puncak kepala ku.

"Sakit. Kau membuat tangan ku sakit, Stefan. Ittai.."

Satu fakta tentang Yuki -dari sekian banyak fakta tentangnya- dia pandai berakting dan juga pandai mengikuti alur suasana hati para pasiennya.

Aku rasa, aku mulai mengerti mengapa ia bisa menjadi dokter di rumah sakit ini sekaligus perawat pribadi ku. -kewarasan Yuki patut di pertanyakan.

"Hentikan. Aku muak melihat akting mu." Ucap ku sarkas.

"Aku tidak suka di sentuh wanita jelek. Nama mu saja yang mirip. Tapi wajah mu tidak secantik Yuki Anggraini." Ucap ku pedas.

Dan....

"Hiks.. Hiks..."

Dia menangis -tangisan palsu.

"Jadi, kau tidak menyukai ku?"

"Aku mohon bekerja samalah sedikit. Aku tidak ingin kehilangan pekerjaan -lagi."

Bohong...

"... dan berakhir menjadi gelandangan.."

Aku pernah kumat -sering sih- lalu membuat keributan. Saat itu aku sampai lancang mengobrak-abrik isi tas Yuki, membuang isi tas itu sembarangan dan keluarlah sesuatu dari dalam dompet Yuki.

Kartu kredit berwarna hitam, guys.

Meskipun aku kurang waras tentu saja aku tahu apa itu itu black card. -mulai dari syarat memilikinya sampai dengan limitnya perhari.

Jadi gelandangan Apanya.. -dia itu gadis kaya.

"Bisakah kita berdamai?"

Ucap Yuki dengan wajah yang di buat semelas mungkin.

Aku hanya diam dengan wajah datar. Blank lebih tepatnya.

"Ku mohon, aku harus bisa bertahan hidup di tengah kejamnya dunia."

Ya Tuhan, drama menjijikan apa lagi yang sedang Laverna itu jalankan?

"Kalau aku di pecat dari sini, maka tamatlah riwayat ku."

Cukup, cukup. Kau menjijikan, Yuki Laverna Kato.

"Bukan urusan ku, bodoh." Jawab ku kasar. Aku menaikan kaki ku di kursi, memeluk kedua kaki ku erat dan menggeser kursi itu membelakanginya.

Sebelum kursi ini berbalik, ku lihat dengan jelas raut wajah Yuki yang terlihat kecewa dan sedih.

Apa itu karena perkataan kasar ku?

Tidak.. Tidak..

Dia sudah terbiasa.

Lalu, kenapa raut wajahnya terlihat seperti itu? -Sedih, kecewa dan.. seperti merasa bersalah -Mungkinkah?

Aku tidak tahu jawabannya.

000

Gaya-gayaan bikin work baru, padahal cerita yang lain belum selesai. Dasar labil 😂

SINGULARITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang