BAB 6 | [Unjuk Damai]
Piring yang berdenting mengadu sendok dan garpu itu mengalun seperti irama nada orkestra. Hawa pagi yang dingin seolah tak mau kalah hebat dengan siaran televisi yang begitu saja dibiarkan terdengar kencang hingga penjuru meja makan.
Seorang pria dewasa berstelan jas beranjak dari sofa dan menepuk kedua anaknya -yang masih di titik nol derajat kebekuan- untuk sarapan.
Seolah sedang menyaingi lemari es di dekat meja yang membisu, Oliver dan Alfan berperang dengan egonya masing-masing.
Oliver lebih dulu berdecak kesal.
"Nggak seharusnya Kakak bertindak sekonyol itu," menggerutu di sela santap sarapannya.
Sejak kemarin pertikaian ini mereka redam tanpa penyelesaian. Oliver yang tak mau ada cekcok di rumah. Kini malah menggerutu di dekat Alfan.
Tindakan kekanakan Alfan sudah melecehkan nama baiknya.
Beralih ke kubu Alfan yang masih santai menata rotinya biar berlumur selai secara merata. Tak kalah gerah ia meladeni berondongan kalimat pedas dari mulut Oliver.
"Gue cuma bertindak sesuai dengan apa yang gue mau. Bukannya hidup itu pilihan? Jadi, bebas dong kalau gue ngambil resiko dari pilihan itu."
Oliver menggeser selai itu.
"Kata-kata bijak yang nggak sesuai sama sikap cuma jadi nasi basi," bantah gadis itu mulai bernada tinggi.
Alfan menodongnya dengan tatapan peluru.
"Apa gue salah bantu cari dukungan buat lo? Seenggaknya mereka bisa tahu kalau Natasha Oliver itu adik gue!"
"Jangan melebih-lebihkan situasi, biar aja ngalir kayak biasanya. Apa itu terlalu membebani Kakak?" Oliver menandaskan segelas jusnya sebelum beranjak pergi.
Sepasang suami istri di sana tersudut kebingungan.
"Ada apa ini?" tanya pria di hadapan mereka. Oliver seolah mendapat perintah untuk duduk dari tatapan itu.
"Semua gara-gara cowok nyebelin itu, Pa!" Oliver terpaksa menggeser tempat duduk agak jauh. Sial, desisnya. Tahu begini ia tidak akan bicara untuk menghindari kekacauan yang makin runyam.
Dengan gagah anak lelaki itu berterus terang,"Aku bagi-bagi kuota gratis buat mencari dukungan, Pa. Apa salahnya aku bantu Oliver biar menang?" Alfan mulai gusar.
Papanya tersentak kaget.
"Bicara apa kamu. Dukungan macam apa yang kamu maksud, itu namanya sogokan, membeli suara. Kamu keliru Alfan!"
"Ah, udahlah. Semua nggak ada yang ngerti sama sekali," sesal pemuda itu. Lalu merampas kasar tasnya yang ada di sofa dekat tivi.
Oliver yang masih tertahan cuma bergeming. Saat ini Bunda mulai bersusah payah buat meluruskan keadaan.
"Sudahlah, Pa. Alfan masih anak-anak belum berpikir sejauh itu. Bukankah alasannya baik bantu Oliver? Cuma caranya aja yang kurang tepat. Maklumin dong, mungkin kalau sudah tahu begini, Alfan nggak akan mengulanginya lagi."
Perdebatan pagi memang tak kalah penting untuk diakhiri. Seperti halnya sarapan, berbincang juga tidak boleh ditakar secara berlebihan.
"Mending aku berangkat naik bis." Oliver meringis sinis.
🌻🌻🌻
Sengaja hari ini Fanya menjepit rambutnya yang sebelah kanan. Dan membiarkan rambut pendeknya terselip rapi di kedua daun telinganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Biang Onar
Teen Fiction"Kamu nggak mau jadi saudara aku?" Oliver melempar pertanyaan ini kembali. "Jangan panggil aku dengan sebutan menjijikan itu, Oliver. Aku yang dulu atau sekarang masih jadi pacar kamu," kata Alfan sambil merebut paksa buku cokelat yang ada di gengg...