BAB 19 [Tentang Arka]

155 15 4
                                    

Rest Area menjadi tempat nongkrong anak kekinian yang nggak akan bikin kantong kosong. Itu yang Alfan katakan pada Fanya tadi.

Selain tempatnya yang dekat dari gedung sekolah, suasananya juga bikin nyaman. Pokoknya nggak kalah saing dengan kafe high class mana pun.

Ya, begitulah ... anak sekolah memang paling senang duduk lama di kawasan berlabel free wifi. Bagi mereka itu spot terbaik di saat perut dan kantung sama-sama kosong.

"Lo mau makan apa, Fan?" tawar Arka sambil membuka daftar menu.

"Berhubung gue lagi laper banget. Jadi, gue mau pesen nasi goreng spesial aja," kata Fanya sekenanya. "Eh, tapi ... sama samosa juga deh."

Gadis itu kembali sibuk memperhatikan pesan Whatsapp yang tiba-tiba ramai.

Alfan?

Galaska?

Tumben mereka mau chatan?

Kayaknya ada yang nggak beres deh, duga Fanya.

Arka yang merasa diasingkan justru lebih memilih mengetuk jidat gadis itu.

"Ouh, sakit!" gertak Fanya mengangkat buku menu yang tak jauh dari jangkauannya.

Lagi-lagi pemuda itu malah mengejeknya.

"Tahu nggak, Fan?" tanya Arka tiba-tiba.

Fanya cuma geleng kepala. Lalu mematikan ponselnya untuk menatap wajah Arka.

Kenapa sih Galaska nggak bisa setenang Arka? Cowok kalem gini kan bikin hati adem.

"Gue terima kasih banget lho, bisa bersahabat gini sama lo ... Galaska juga, sih." Arka agak sedikit tak enak hati menyebut nama Galaska. Ia justru lebih memilih untuk mengelus-elus rambut Fanya yang mulai panjang dibanding bahas cowok sok keren itu.

Kebetulan kemarin sore Fanya mewarnai rambutnya biar kayak Oliver. Padahal sebagai Kartini Masa Kini ia harus memberi panutan yang baik. Bukan mengecat rambut biar tampak kayak anak gaul zaman now.

Berhubung perasaannya lagi kacau. Jadi, semua peraturan itu ia anggap tak berlaku. Selagi nggak ada yang mengadu, ia aman jika tak berpapasan dengan Pak Dinar.

Tuntas dengan masalah perut, mereka pun memutuskan untuk jalan-jalan ke tepi danau. Sambil menikmati sore dan menunggu senja datang. Tak lama menyisiri jalan, akhirnya mereka pun duduk berduaan menikmati embusan angin di bawah pohon rindang.

"Awalnya gue kira lo dan Galaska itu pacaran," tukas Arka menoleh pada gadis yang ada di sebelahnya.

Ada yang kurang nyaman mendengar kalimat tersebut, "Ah, yang bener?" tanyanya mencari kebenaran dari tatapan Arka.

"Justru lo juga tahu kalau dia nggak peduli apa-apa soal gue. Yang ada di pikiran Galaska itu cuman paradigma kalau kita itu sahabatan. Uhm, itu klasik banget nggak sih?"

Arka bungkam. Hatinya seolah ada yang mencubit. Sebenarnya jika dibandingkan dengan perasaannya pada Oliver, justru perhatian yang ia simpan rapat sejak lama itu cuma tertuju pada seorang Fanya Nadira.

Bagi Fanya seorang Arka memang sahabat yang paling dewasa. Sahabat yang mau susah-senang bersama dan tak mengeluh meski banyak ia repotkan. Entahlah ... sudah sejauh mana lelaki itu rela menemaninya, yang ia tahu pemuda itu mau membantunya di tahun pertama sekolah. Tahun pertama yang terasa begitu berat untuk dijalani.

Kala itu Arka memang tiba-tiba mengulurkan tangan. Berawal dari ingin menjadi teman kelompok. Hingga mengetahui kenyataan bahwa Fanya cuma jadi anak buangan di sekolah barunya.

Fanya ingat betul perlakuan yang ia peroleh sebagai anak beasiswa. Awal bersekolah pun gadis itu sudah kenyang jadi bahan lelucon teman-temannya yang lain. Begitulah sekiranya, tentang masa lalu ... yang lambat laun berubah karena kehadiran Arka dan Galaska yang selalu melindunginya. Termasuk dengan sejuta prestasi yang ia raih.

Arka tampak tenang menikmati semilir angin yang menerpa wajahnya, "Kalian itu kayak kacang dan kulit. Galaska kacangnya dan kamu kulitnya."

Fanya terkikik mendengar perumpamaan itu.

Konyol tapi tepat sasaran banget.

"Ternyata gue salah!"

"Galaska cuma bisa dapetin apa yang dia mau karena selalu minta bantuan lo. Kacang memang butuh kulit. Tapi, sejatinya dia kacang yang lupa kulit," lanjutnya.

"Waktu itu gue nggak masuk seminggu, yang ada lo malah jadian sama si Daniel Daniel itu. Dia kan playboy, Fan .... si Galaska malah santai aja nilai anak itu," tambah Arka lagi.

"Gue udah lama putus semenjak kalian nge-fans sama Oliver ...." Fanya tersenyum.

Selama ini Arka seperti Kak Ganni yang mau mengayominya.

"Fan, boleh nggak gue suka sama lo?"

"Eh?" Fanya tersentak mendengar pertanyaan barusan.

Suka sama gue?

Kok, bisa?

Apa yang dia lihat dari cewek rese model gue begini? Jelaslah Oliver menang ke mana-mana dibanding gue 'kan?

"Perasaan itu fleksibel, Fan. Kadang kalau lagi cinta sama seseorang bisa cinta banget. Tapi, nggak cuma berlaku pada rasa cinta. Benci juga bisa."

"Fan, jangan berubah ya. Gue cuma ngakuin perasaan yang selama ini gue pendam aja. Nggak baik kan, kalo diem-diem terus. Oh iya ... Fan, gue nggak nuntut apa-apa dari lo. Murni hati gue tulus jadi sahabat lo."

"Iya, Ka. Gue janji. Gue nggak akan berubah!" Fanya refleks menutup mulutnya dengan tangan.

Bodoh! Kenapa juga gue jawab segampang itu. Aduh ... Arka maafin gue.

Di senja yang mulai memudar, akhirnya kedua sejoli ini saling menguatkan perasaan masing-masing dalam sebuah dekapan persahabatan.

Arka dengan patah hatinya.

Dan Fanya ... dengan segala kebodohannya.

...

Biang OnarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang