BAB 15 | Happy reading
Sebuah panggung nan megah berdiri menyongsong di tengah-tengah lapangan yang biasa digunakan untuk upacara.Jejeran bangku penonton. Layar cuplikan kandidat. Serta alunan musik ritmis berpadu menjadi satu menciptakan suasana yang sangat elegan.
Tak kalah tegang, Fanya duduk menempati salah satu kursi calon Kartini. Diam-diam merapalkan adegan yang akan ia pertunjukkan di depan panggung. Sendirian tanpa seorang pun yang mencoba simpatik padanya. Sesekali cuma ada orang yang sekadar menyapa. Atau sibuk berlalu lalang untuk menyukseskan acara tahunan yang spektakuler ini.
Meski begitu, Fanya merasa cukup dengan suntikan semangat yang Alfan berikan padanya di gerbang. Sontak saja dorongan itu mampu membakar rasa patriotik dalam jiwanya. Entahlah ... baru kali ini ia merasakan sikapnya yang sangat manis.
Dari sini Fanya mendengar teriakan fanatik dari deretan penonton, itu artinya acara akan segera dimulai. Sekuat tenaga ia akan mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menempati satu posisi terbaik sebagai Kartini tahun ini.
Tak sulit baginya menangkap sosok Galaska di bangku penonton. Tentu, tak akan jauh dari posisi Arka yang ada di sampingnya. Pemuda itu hanya diam, tak merespons pandangannya. Kecuali Arka yang sudah melambaikan tangan untuk ketiga kalinya. Ah, mereka benar-benar membuatnya sakit kepala.
Galaska, sebegitu bencinya lo sama gue? Natap aja rasanya nggak mau. Gimana cinta, huh.
Ia kembali sadar akan statusnya yang sebatas anak yatim. Mungkin itu yang membuat dirinya tak akan pernah sepadan dengan Galaska yang serba kecukupan.
Kalaupun dibandingkan pasti status kedua orangtua mereka berjauhan. Ayah Fanya hanya sebatas pegawai kantor biasa. Terlebih sekarang Mama hanya karyawan toko kue biasa. Lain halnya dengan wanita kebanggan Galaska yang sebentar lagi pulang dari Jerman.
Gadis itu kembali melirik Galaska yang akan memberi kado untuk Oliver hari ini. Lagi-lagi ia tak akan pernah mendapat bunga yang cantik dari Galaska.
Apakah gadis cantik selalu mendapat posisi yang membuat gadis biasa sepertinya iri?
Mereka diakui dan dianggap ada.
Sementara aku hanya angin lalu saja.
Galaska dan Arka mengangkat tulisan pada sebuah karton tinggi-tinggi. Oliver, lirih Fanya membaca tulisan tersebut. Ah, keduanya mendukung penuh tambatan hati mereka.
Kini Galaska angkat tinggi-tinggi sampai menutupi penonton yang ada di belakang.
"Kalau mau jadi supporter kira-kira dong, masa penonton di belakang ditutupin," protes salah seorang di bangku belakang.
Mereka menggerutui kelakuan Galaska dan Arka yang tak menyenangkan. Bahkan ada yang iseng mengambil karton milik mereka.
"Apaan nih, Oliver? Yaelah, temen macam apa sih kalian. Sahabat dan temen kelas lagi tanding bukannya didukung malah utamain gebetan!"
"Wah, parah banget sih jadi orang," timpal salah seorang lagi.
"Egois lo pada." Begitu keributan terjadi.
Sampai pada akhirnya penampilan demi penampilan dipertunjukan.
Hingga berlanjut ke beberapa menit lalu yang membuat Fanya usai mendapat giliran.
Hah, lega rasanya menyelesaikan ini semua. Persetan menang atau kalah yang penting sudah tampil semaksimal mungkin.
Andai saja tadi ia tidak mengingat adegan sebelum Romeo memakan apel mungkin akan kacau penampilannya. Untung saja ia menatap sekilas ke arah Alfan di bangku belakang. Seketika itu juga ingatannya terlukis. Dan ia bisa menyelesaikannya dengan baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Biang Onar
Teen Fiction"Kamu nggak mau jadi saudara aku?" Oliver melempar pertanyaan ini kembali. "Jangan panggil aku dengan sebutan menjijikan itu, Oliver. Aku yang dulu atau sekarang masih jadi pacar kamu," kata Alfan sambil merebut paksa buku cokelat yang ada di gengg...