BAB 25 (Takut Kehilangan)

57 2 0
                                    

Wajah Galaska mendung kena kabut galau. Setelah mengakhiri kekagumannya pada Oliver dan mencoba membukakan pintu hatinya pada Fanya, yang ada sekarang ia di ujung penyesalan. Sakitnya bukan main! Dadanya perih, tapi tidak menemukan sedikit pun noda darah di sana. Kenapa ya?

Andai saja dulu ia sedikit lebih peka. Mungkin enggak akan seperti ini jadinya. Enggak akan jadi cowok ngenes. Mana ia belaga sok keren buat melupakan Oliver. Huh, sahabat yang berharap-harap status juga tandas ditelan keegoisannya. Ditelan mentah-mentah dan dilalap biang onar sekolah.

Sialan kau, Alfan kupret!

"Habiskan sarapanmu, Sayang. Jangan dikacangin begitu," lirikan mata wanita dari sudut ruang tengah memecah lamunan pemuda itu.

Galaska langsung membenarkan duduknya. Lalu balas melirik sebentar, memberi senyuman, walau tidak memengaruhi selera makannya yang turun.

Melihat kelakuan anaknya saat itu membuat Papa Galaska merasa dongkol. Ia begitu menyesali perbuatan anaknya yang belum dewasa. Anak itu terlalu gegabah. Belum bisa menunjukkan sikap yang tepat untuk orang yang ada di dekatnya, terlebih itu pada Fanya. Sahabatnya sendiri. Sahabat gadis yang begitu pandai mengungkapkan perasaannya lewat tulisan. Anak itu menyenangkan. Wajar jika Galaska akrab dengannya.

Tetapi, ia juga tidak akan pernah membenci anak semata wayangnya itu, bagaimanapun juga jagoannya butuh dukungan dirinya.

Galaska menyudahi sarapannya tak bersemangat. Lalu melirik Papa dengan mata sayu. Ia ingat kejadian itu, yang membuat Papa terlihat kecewa. Apalagi selama ini Papa sangat menghargai Fanya. Sayangnya, semua serba terlambat baginya. Ah, sial. Yang tersisa hanya malu sekarang.

Seolah mendengar gerutuannya, tiba-tiba Papa menyeletuk.

"Itu karena kamu masih merasa bersalah. Sampai sekarang kamu belum dewasa karena belum meminta maaf!"

"Tapi, Pah..."

"Tapi apa lagi? Masih merasa kalau Fanya juga bersalah? Papa bukan membela gadis itu, Galaska. Siapa pun orang itu pasti akan kecewa dengan sikap kamu."

"Iya, Pah. Galaska ngerti," balasnya menundukkan kepala.

"Jangan bicara dengan Papa jika kamu belum mengakui kesalahanmu. Papa pamit dulu."

"Hati-hati, Pah!" seru sang wanita yang sudah menggandeng suaminya ke depan pintu utama.

Galaska tak berani mengekori sepasang suami isteri yang baru melepas rindu itu. Sekarang ia hanya merasa lesu untuk menghadapi hari ini. Tapi, kalau tidak minta maaf pasti Papa makin marah.

"Mah, aku juga pamit."

"Jangan cemberut begitu anak Mama. Senyum dong. Kamu cuma harus menaklukan Fanya dengan maafmu. Setelah itu kalian bisa berteman lagi." Mama mencoba mengatakannya dengan senyum semringah.

"Ya, kita cuma bisa berteman. Karena sekarang Fanya sudah punya pacar!"

"Dasar anak nakal. Bagaimana bisa kecolongan!"

Mama mencubit bahunya gemas.

"Aduh, sakit, Ma. Itu karena aku kira Fanya masih berambisi menyukaiku."

-

Chat Alfan tak satu pun muncul di layar notifikasi. Tak satu pun ada. Ya Tuhan, apa cowok itu enggak ada usaha buat minta maaf? Ya, kesalahan Alfan memang tak termaafkan. Bukan berarti ia juga tak berusaha sama sekali, kan? Ah, menyebalkan!

Apa pula Galaska. Bocah yang satu ini tambah-tambah masalah saja. Gerutu Fanya sambil melirik notifikasi yang baru muncul di ponselnya.

Ada yang harus gue omongin? Bisik Fanya membaca isi pesan itu.

Lalu ia menjentikkan jarinya dan menuliskan, sepulang sekolah sekalian anter pulang ke rumah.

Melihat gedung sekolah yang makin sepi membuat Fanya harus buru-buru masuk kelas. Kalau enggak, Bu Susanti bakal hukum yang 'katanya' Kartini yang cantik jelita ini. Ow, ow, ow, oh, my god! Reputasi gue, Fanya langsung terbirit-birit, mengantongi ponselnya.

-

Sekuntum mawar merah terjulur, "Aku minta maaf," ucap Alfan memalingkan wajahnya dari arah Fanya. Ia tak sanggup menyaksikan raut wajah penuh terluka itu hari ini. Ia tidak bisa. Karena hal itu terjadi akibat dari ulahnya. Kesalahannya.

Tapi ia harus memberanikan diri menyeret kekasihnya masuk ke dalam mobil. Yang sengaja Bunda izinkan supaya ia bisa berbaikan dengan gadisnya. Hey, jangan salah. Kali ini ia sudah semahir itu membawa mobil. Semacet apapun jalanan, terjal, dan bergelombang. Ia sanggup melaluinya sekarang.

Ia curi pandang seulas senyum gadis yang ada di sebelah kemudi. Meski raut wajahnya masih saja layu. Tapi, ia tetap terlihat manis. Sekarang ia sedang nyaman dengan posisi dagunya yang memeluk ransel yang ada di pangkuan.

"Sudah aku maafkan, tapi ...."

Alfan langsung menyela, "kita masih bisa bersama 'kan?"

"Aku...," Fanya merasa suasana di dalam mobil ini terlalu dingin, hanya saja ia harus tetap meneruskan ucapannya, bila dirinya merasa, "...tidak tahu, Alfan."

Alfan menggelengkan kepalanya. Ia mencoba menampik semua dugaan-dugaan yang bersarang di benaknya.

"Tidak semua hal yang kita inginkan bisa kita gapai."

Fanya mengatakan kebenaran. Namun, menyakitkan.

-

Terima kasih untuk pembaca setia MTS yang sudah menunggu sekian lamanyaaa. Ini spesial hanya untuk kaliannn♥️

Meskipun diri ini sedang galau kayak Galaska tapi aku selalu harus terus lanjut yeay. Semoga suka ya♥️

Tunggu chap selanjutnya karna ada kejutan wkwk

Biang OnarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang