"Hai guys ... jangan lupa dateng, ya!" seru Galaska usai membagikan kertas undangan pada teman-teman.
Sebentar lagi perayaan buat menyambut Mama dan ultahnya diselenggarakan. Ini juga berkat Fanya yang memberi usul agar kedua acara tersebut sekaligus dilangsungkan secara bersamaan.
Galaska makin terkesima melihat senyuman gadis itu. Dia tak menyangka sudah belasan tahun mengabaikan senyuman Fanya yang semanis madu.
Fanya masih mau membantunya untuk menyelenggarakan acara ini. Bahkan Fanya juga yang mengusulkan untuk membuat dua perayaan sekaligus. Untuk pesta menyambut Mama dan ulang tahunnya.
Biar nggak buang-buang anggaran? Menurutnya itu nggak buruk.
Arka sudah ikut membantu membagikan di depan pintu kelas. Namun, tak lama kemudian cowok rese itu menghampirinya.
"Apaan nih?" Alfan dengan seenaknya mencabut satu undangan yang Arka genggam. Sebentar adu pandang, kemudian saling sikut-menyikut.
"Nggak sopan!" pekik Arka tak ambil diam.
Akhirnya, Fanya pun mendelik saat tahu murid tempelan itu ada di kelasnya. Dengan terpaksa ia menyodorkan sisa undangan yang belum dibagikan kepada Galaska. Masih ada satu di tangannya.
"Ada apa sih?" tanya Fanya menepuk bahu Alfan.
"Aduh kasar banget deh." Alfan meringis.
Ia tersenyum sambil mencubit pipi Fanya. Padahal Arka dan Galaska sudah senewen melihatnya.
"Jangan usil bisa kan?" kata Galaska menyudutkan. "Lo boleh dateng, asal bareng Oliver. Anggap aja lo itu body guard-nya," terus Galaska menepuk bahu pemuda itu.
Alfan cuma meringis mendengar hal itu.
Sembarangan anak ini, mentang-mentang Oliver adik gue, main perintah seenak jidat.
Alfan cuma bisa menyeringai, membayangkan bila ia akan datang bersama gadisnya yang menawan.
"Sampai kapan lo ngelamun?" seru Fanya yang sudah siap untuk pulang.
Ruang kelas sudah kosong. Arka dan Galaska pergi untuk mempersiapkan pesta penyambutan tersebut. Kini tinggal dirinya bersama cowok aneh yang tiba-tiba senyam-senyum sendiri.
"Pulang dong, Nya!" tukasnya seraya menggandeng tangan Fanya.
Fanya makin dibuat salah tingkah akan perlakuan pemuda itu. Hah, apa Alfan benaran luluh semenjak janji itu terlontar ketika masa Kartini lalu? Apa cuma gue yang baper? Ah, jangan biarin itu terjadi!
Sampai detik ini cowok itu terus menunjukkan gelagat aneh padanya.
Apa mungkin Alfan sudi melabuhkan hatinya?
Fanya menggelengkan kepala karena merasa tak kuat membayangkannya.
"Kenapa?" tanya Alfan mendelik tajam.
"Nggak kenapa-napa kok. Tapi, ...," ujar Fanya menggantung.
"Tapi apa, Nya?" tanya Alfan sekali lagi.
Bahkan ia juga bingung mengapa bisa sesenang ini di dekat Fanya. Padahal dulu ia termasuk orang yang tidak menyukai gadis itu. Ya, dulu ia sangat membenci Fanya karena selalu merecokinya. Menggagalkan usahanya untuk bersama Oliver.
Entah mengapa ia rasa Fanya adalah satu-satunya gadis patriotik yang menentang hubungan terlarangnya. Sekalipun kenyang dihujat dan dicaci maki, tapi gadis itu tak gentar membantunya dengan segala sikap baiknya. Hingga akhirnya, ia tersentuh dan menelan omongannya sendiri.
Gadis itu lekas menghadap Alfan saat tangan gadis itu merasa hangat karena terlalu lama digenggam.
"Nya, mungkin ini terlalu cepat buat diungkapin. Cuma ini terlalu berharga buat abaikan. Intinya kamu dengan segala baik-burukmu itu, aku panjatkan syukur pada Tuhan dan kedua orangtuamu. Kamu tahu kenapa?"
Fanya geleng kepala. Ia terperangah mendengar perkataan Alfan barusan.
Cowok ini selalu susah ditebak. Penuh rahasia dan selalu mengejutkan. Ah, akankah dia ...
"Karena telah membuatmu ada di depanku sekarang. Mungkin kamu nggak akan tahu kalau aku adalah satu dari sekian banyak cowok yang berharap jadi pacar kamu." Alfan makin menggenggam erat tangan gadis itu.
Kenapa gue bisa gugup sampai tangan aja dingin begini.
"F-fa-fan ...," panggil Fanya tergugup.
"Gue sadar kalau ini bikin kamu nggak nyaman, mungkin juga nggak romantis. Tapi, tolong Nya ambil ini." Cepat-cepat Alfan membuka tasnya untuk menunjukkan sesuatu pada Fanya.
Di sana Fanya temui sekuntum mawar merah juga sekotak cokelat kesukaannya.
"Tolong terima ini," ujarnya penuh harap.
"Fan ...." Ada yang meledak kuat dari hati Fanya. Berdetak kencang tak beraturan. Jujur, ia masih tak menyangka bila Alfan yang notabene murid tempelan sekolah, kini di hadapannya menyatakan cinta.
Mawar merah yang begitu semerbak harumnya ada di depan mata gue? Oh my god! Selama ini gue harap itu dari Galaska.
"Ah, kamu terima ini dulu aja." Alfan tak menyangka dirinya bisa merona.
Dengan begitu ia menyodorkan barang yang ia bawa pada Fanya. "Kalau kamu terima aku. Saat ada bis datang nanti, kamu bisa gandeng tangan aku buat pulang sama-sama. Tapi, kalau sebaliknya. Hah, kamu bisa pulang lebih dulu tanpa gandeng tangan aku."
"Hei, kenapa muka kamu berubah begitu. Hhh, aku paling nggak suka cowok pesimis."
"Maksud kamu, Nya?"
"Maksud aku?" tunjuk Fanya pada dirinya sendiri, "Bis udah datang. Ayo, kita pulang." Sontak saja bisikan itu membuat Alfan terbungkam.
Tentu saja ia langsung menggenggam tangan Fanya dan tak akan ia biarkan terlepas begitu saja.
"Dengan senang hati tuan putri."
Akhirnya kini mereka pulang sebagai kekasih untuk yang pertama kali.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Biang Onar
Teen Fiction"Kamu nggak mau jadi saudara aku?" Oliver melempar pertanyaan ini kembali. "Jangan panggil aku dengan sebutan menjijikan itu, Oliver. Aku yang dulu atau sekarang masih jadi pacar kamu," kata Alfan sambil merebut paksa buku cokelat yang ada di gengg...