BAB 7 [Keliru]

178 22 5
                                    

BAB 7 | Keliru


Tanah lapang yang gersang itu menebarkan embusan debu di udara. Ada tiga orang siswa yang masih bertahan duduk di bangku kayu yang ada di sana. Mereka melepas rutukan dan membiarkan peluh di dahi bercucuran. Dua di antaranya setengah gila mengamati gadis di seberang sana. Di halaman depan kantor kepala sekolah.

Fanya yang baru saja berbalik, membenarkan posisi duduknya seperti semula. Kaki kanannya disilangkan di atas kaki kiri.

Tangan gadis itu bersidekap, “Sebenernya apa sih yang bagus dari Oliver? Cantikan juga gue ....”

Galaska merasa geli mendengar kepercayaan diri Fanya. Sontak ia langsung melirik gadis itu sinis. Meskipun Fanya cantik, bukan berarti hatinya mudah berpaling dan melabuhkan diri.

Tidak ada yang salah dari sahabat kecilnya itu. Fanya anak yang pandai dan berprestasi. Setiap kali berkompetisi dalam ajang festival seni, gadis itu selalu menjuarai. Dibilang menarik, gadis itu memang gadis yang unik.

Hanya saja Galaska berpikir bila perasaan mereka tidak seharusnya lebih dari sebatas sahabat.

“Jauuuuh banget,” pekik pemuda itu sambil menari-nari dengan tangan kanannya.

“Bagai bumi dan langit,” kata Arka menambahi. "Yang terkalahkan oleh pesonamu, Fanya!" Kemudian menoleh ke arah Fanya.

Hhh, kalau tahu begini ia tak mau menjanjikan apa-apa. Pikir Fanya.

Merasa ditatap balik, Arka memalingkan wajahnya dari gadis itu.

“Lihat aja, kalau gue berhasil bantu kalian hari ini, kalian juga harus bantu gue latihan buat pentas Kartini nanti.” Fanya meluruskan kakinya ke depan. Lalu becermin pada ponsel biar mengontrol wajahnya yang sendu.

Terus terang Fanya tidak bisa berteriak dengan kuat. Apalagi kalau diminta buat bereuforia menikmati perjuangannya belakangan ini.

Ia tidak seperti para calon Kartini lainnya yang berjingkrak-jingkrak di tengah lapangan saat upacara tadi pagi. Suaranya lebih dulu terkuras. Dan hanya menyisakan air mata keharuannya yang mengalir di sekitar cekungan pipinya yang tak tirus.

Netra gelapnya memejam dan kedua tangannya menangkup erat. Fanya meyakini dirinya sendiri bila ia tidak berbuat apa-apa untuk sekolah ini. Ia hanya bisa mengucap rasa syukur.

Tadi pagi, setelah Pak kepala sekolah menyampaikan amanatnya di tengah upacara. Semua belenggu terbebas dari benaknya tak bersisa. Ditambah lagi dengan kabar kebahagiaan yang membuat gadis itu terpancing sampai menangis.

Tepat pada hari ini juga penetapan hukuman bagi pembuat onar diberlakukan tanpa terkecuali. Tentu hal itu membuat semua murid melega. Sebab, peraturan akan kembali direvisi dengan seadil-adilnya. Hingga Fanya mesti memfokuskan diri agar tampil maksimal di pentas Kartini nanti.

Tangan kanan Galaska tersampir manis di bahu kanan Fanya, begitupun Arka yang sudah merangkul gadis itu dengan tangan kirinya.

"Lo pasti bisa!" bisik Galaska menyulutkan rona merah di pipinya.

Sekilas dari kantor Alfan melihat gadis aneh itu tengah berpelukan dengan dua cowok sekaligus. Entah mengapa ia merasa terganggu oleh pemandangan tersebut.

Bisa-bisanya di bawah pohon jambu mereka berkencan. Dan mau diduakan? Kakak Oliver ini hanya meringis sendirian. Sebagai lelaki harga dirinya terluka.

“Kamu kenapa, Kak?” tanya Oliver yang baru saja masuk ke kantor kepala sekolah. Setelah tadi membuang sampah sisa makan siangnya.

“Lihat deh, di lapangan. Ada dua cowok aneh yang lagi berbagi cinta sama cewek aneh juga,” serunya bersandar di sofa.

“Mereka sahabatan.” Oliver membenarkan bantal sofa untuk ia peluk. Duduk bersama Alfan dengan jarak berdekatan.

Setelah apa yang terjadi di antara mereka, Oliver merasa dirinya perlu berdamai dengan Alfan.

Ia juga berpikir bila bermusuhan dengan saudara bukanlah pilihan yang baik. Lagi pula sekarang pemuda itu sudah mendapatkan hukuman yang setimpal. Malah berjanji untuk tidak bertindak gegabah lagi.

“Kalau mereka pacaran, mana mau diduain. Kakak aja selingkuh diem-diem kan dulu dari aku,” sangkal Oliver menyulut lirikan elang pemuda itu.

“Enak aja. Siapa yang selingkuh? Aku sama Erika? Dia cuma teman main doang, Oliver.”

“Kalau begitu, kenapa mesti marah? Jangan-jangan Kakak cemburu lagi sama Fanya. Ngomong-ngomong dia anak yang baik lho, Kak,” tukas Oliver membuat Alfan terperangah.

Gadis itu kembali mengingat kegetiran Fanya yang akan mendonorkan darahnya untuk bunda. Seperti menyimpan rasa sesal di masa lalu. Mungkinkah seperti yang gadis itu katakan? Perihal ayahnya? Ayahnya yang terlambat mendapat donor darah? Oliver memijat keningnya karena merasa bersalah sekarang. Fanya sebaik-baiknya teman yang tulis tanpa pamrih.

Lagi-lagi Alfan menyangkal. Mana mungkin ia suka dengan gadis aneh itu. Lihat penampilannya saja bikin geli. Apalagi sifatnya. Huh, bikin naik darah. Bisa-bisa bakal jatuh seleranya kalau suka cewek tipe begitu. Mana sering dibuntuti dua cowok aneh lagi. Ah, jangankan suka, melihatnya saja bikin gerah.

“Siapa katamu tadi? Fan-Fan apa?” tanya Alfan terbata-bata.

“Fanya, Kak.”

“Nah, iya itu. Mana mungkin aku suka sama gadis aneh kayak dia,” terangnya membuat pembelaan untuk dirinya yang salah tingkah.

Oliver seketika bangun dari duduknya. Menunjuk ke arah Alfan yang sudah gelagapan ia ejek habis-habisan.

“Eh, tunggu deh, Kak. Kalau dipikir-pikir nama kalian mirip, lho. Fan ... Fan ... itu buat Alfan dan Fanya,” gelak tawa Oliver semakin memancing kekesalan Alfan.

Masih untung kamu adikku, Liv. Tahu bukan udah gue jitak lu!

Kantor kepala sekolah kini bukan lagi menjadi tempat yang menyenangkan bagi Alfan. Sejak Oliver menerima panggilan dari Bunda lewat telepon dan mengatakan  ingin bertemu gadis baik yang telah memberinya transfusi darah. Cowok itu lebih memilih enyah dari sini. Melempar soft drink kosong ke tong sampah.

Halah, tahu begitu paling anak itu minta imbalan macam-macam.

Alfan tak tahu jika ia sudah menarik kesimpulan yang keliru.

🌻🌻🌻

Biang OnarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang