BAB 12 [Gaun Merah dan Nama Baik]

170 22 1
                                    

BAB 12 | Gaun Merah dan Nama Baik

Sepulang sekolah Galaska biasa duduk santai di depan teras. Sambil ditemani seduhan kopi cappucino dan kue kering.

Terik matahari sukses menciptakan bayangan atap yang terpantul di depan teras rumah. Agak silau, tapi ia bisa melihat lekuk tubuh seorang gadis di depan gerbang. Yaelah dikira siapa, kalau itu sih Fanya, rutuknya dalam hati.

Berkat celana jins selutut Fanya lebih leluasa berjalan ke rumah Galaska. Di siang bolong begini lebih enak pakai kaos warna netral.

Nah, itu Galaska. Gumamnya dalam hati.

Gadis berambut pendek ini tak menyangka bila sahabatnya bisa sekeren itu. Dari jarak jauh saja ia sudah mempesona. Bagaimana kalau harus berdekatan terus, lama-lama jantung ini tak tertolong karena serangan asmara.

Galaska melambaikan tangan ke arahnya.

"Hei, Nya!" Lalu, mengulas senyuman saat ia memangku salah satu kakinya.

Fanya pun berhasil menandaskan jarak di antara mereka. Saling melempar pandang kala duduk bersebelahan.

Tak lama setelah Fanya duduk. Riandra, Papa Galaska muncul dari balik pintu. Lengkap dengan tas selempang hitam yang biasa dibawa untuk mengajar. Pun demikian dengan kemeja rapi yang ia kenakan. Pria dewasa itu jelas akan pergi mengajar.

"Ternyata ada Nak Fanya di sini." Riandra menyapa. Kemudian disambut baik dengan salam. Fanya mencium tangan Riandra sopan.

Gadis itu tersenyum semringah.

"Iya, Om. Aku boleh kan main di sini?" ujar Fanya berbasa-basi.

Galaska cuma mampu menyaksikan kedua manusia yang tampak akrab di hadapannya. Ia sudah paham pembahasan mereka. Hingga membuatnya terasingkan.

"Papa, jangan lupa ada jadwal ngajar sekarang," desis Galaska pelan penuh sindiran.

Akhirnya Riandra pun mengalah. Memotong waktu diskusinya bersama gadis yang menyenangkan ini.

"Ah, ya udah. Nanti kita teruskan ya, Nak. Di lain kesempatan, syukur-syukur kamu jadi menantuku. Jadi, kita bisa diskusi tiap hari."

Fanya yang mendengar penuturan Riandra pun terkikik. Mana mungkin ia jadi menantu sehebat Rindra, bisa-bisa anaknya yang sudah membelo ini memanteknya dengan palu.

"Oke, sampai jumpa. Jaga rumah, Gal. Ingat jangan nakalin calon menantu Papa!" perintah lelaki itu sambil lalu.

Kemudian menaiki Honda Jass yang dikemudikan sampai kampus tempat ia mengajar.

Masih mendengar guyonan, ia lirik sinis gadis itu.

"Mau bantuin gue, apa ketawain gue, hah?" gertaknya galak.

"Habisnya, Papa lo lucu. Sebegitu ngebetnya jadiin gue mantu." Fanya sebentar menjeda ucapannya. "Tapi, tunggu deh. Kalau pun beneran, kayaknya waktu gue buat lo justru bakal lebih sedikit ketimbang ngobrol sama Papa lo, haha."

Galaska hanya melempar bantal kecil tanpa membalas perkataan Fanya. Baginya itu tak lebih dari omong kosong, tak lebih!

"Lha, tuh anak malah ngambek."

Dengan terpaksa Fanya mengekor di belakang Galaska.

Saat masuk rumah ini, ia seperti memasuki dunia yang berbeda. Banyak sekali lukisan abstrak di beberapa titik dinding ruang tamu. Banyak penghargaan juga, apalagi hasil garapan karya sastra. Pria itu memang idolanya kalau sudah menginspirasi begini.

Biang OnarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang