"Nya!" Galaska agak kikuk memanggil sahabatnya sendiri.
Setelah tahu siapa lelaki bersama Fanya tadi, ia pun meminta agar mengobrol di depan teras. Suguhan teh hangat dan biskuit kelapa turut serta menyaksikan kekakuan di antara keduanya.
Fanya sudah memasang wajah datarnya. Uh, gemas!! Ia tak pernah membayangkan Galaska berwajah kaku seperti ini sebelumnya. Ingin hati tangan ini mencubit pipinya. Hihi.
"Sejak awal gue emang enggak pernah mau dengar perkataan lo. Gua pengecut banget." Tak kuasa dengan perkataannya barusan, Galaska merentangkan kedua tangannya. Biar sebentar ia ingin memeluk Fanya dengan benar.
"Semua kebaikan yang lo punya gue kira akan selalu ada setiap gue minta. Ternyata gue salah, kebaikan itu justru untuk orang yang menghargai lo. Dan itu bukan aku."
Diam-diam gadis itu mengunci rapat kesedihannya di balik pelukan. Ia tidak mau Galaska semakin tertekan.
"Maaf atas segala kesalahan gue di masa lalu," bisiknya penuh sesak penyesalan.
"Lo mau kan terima permintaan maaf dari gue?" Galaska langsung melepas pelukannya. Kemudian, menerka raut wajah gadis itu.
Ya, Fanya mengangguk. Tanda memberi pengampunan atas masa lalu yang terasa menjengkelkan.
Tahu bila akhirnya dimaafkan, Galaska pun menjentikkan jidat gadis itu pelan.
"Gue nungguin lo di parkiran tadi. Bisa-bisanya lo main kabur-kabur aja! Temen nggak ada akhlak!!" gertaknya mengerutkan bibir.
"Ya ampun, gue lupa. Gu-gue diculik pacar gue sendiri hehe. Maafin ya, ya, ya?" Fanya menangkupkan kedua tangannya ke depan sambil mengedipkan mata.
Galaska menggeleng.
"Yaks!!"
"Sialan lo main toyor-toyor kepala gue hah!" pekik Galaska memprotes perlakuan Fanya yang seenak jidat.
Ternyata sesakit ini ya, Nya. Kalau chat dikacangin :(
-Alfan bergegas menyusul Fanya ke rumah. Ia mendapat kabar bila Galaska mencoba menikungnya. Sebenarnya ia kurang yakin dengan perkataan Oliver di telpon barusan. Mengingat betapa mengerikannya Galaska ketika Fanya memperjuangkan perasaannya. Kekasihnya diabaikan. Bahkan dimaki-maki tanpa simpati. Shit! Itu sangat horor untuk dibayangkan.
Sekarang yang harus ia pikirkan adalah nasibnya. Ia sedang dihadapkan dengan seorang lelaki yang mengaku kakak dari kekasihnya. Bukankah itu lebih horor dari persoalan Galaska? Ia tidak tahu harus bersikap bagaimana.
Fanya, sebenarnya kamu di mana?
"Sudah menghubungi adikku?" tanya pemuda itu bernada dingin. Matanya bulat menyalang. Ia berdiri tegap di depan pintu seolah mengatakan tidak ada yang mudah bertemu dengan Fanya sebelum menghadapiku.
Alfan cuma garuk kepala.
"Bang, saya sudah coba whatsapp tapi nggak diangkat. Jadi, terpaksa menyusulnya ke sini." Sial, sejak kapan suaranya cemen begini.
"Nama lo Alfan kan? Biang onar di sekolah dan orang yang terlibat di kecelakaan itu?" Alfan menganga mendengar pertanyaan tersebut. Mengapa ia tahu masa lalunya? Mungkinkah Fanya sudah menceritakan semua hal tentang dirinya pada pemuda di depannya ini? Sial, tamat riwayatku!
"Lo bisa angkat kaki dan jauhi adik gue atau rasakan ini!"
BUG! Bogem mentah tanpa perlawanan menggores wajah Alfan yang mulus tanpa cela.
KAMU SEDANG MEMBACA
Biang Onar
Teen Fiction"Kamu nggak mau jadi saudara aku?" Oliver melempar pertanyaan ini kembali. "Jangan panggil aku dengan sebutan menjijikan itu, Oliver. Aku yang dulu atau sekarang masih jadi pacar kamu," kata Alfan sambil merebut paksa buku cokelat yang ada di gengg...