BAB 9 [Terkunci di Gedung Teater]

178 18 5
                                    

BAB 9 | Terkunci di Gedung Teater

"Hhh, di mana Arka sama Galaska?" tanya Fanya pada dirinya sendiri.

Sudah keliling ke tempat yang sama dua kali, tapi nihil. Mereka seperti hilang bersama embusan angin.

Kalau sudah tak ada gairah begini mending ke gedung teater. Mungkin Arka dan Galaska ada di dekat lapangan. Selain itu ia juga bisa latihan buat penampilannya di hari Kartini.

Suara kret yang bergema membuat Fanya berkesimpulan jika ruang ini kosong. Padahal biasanya ruangan ini ramai teriakan para tokoh yang bertajuk kostum yang lucu. Mungkin karena hari ini ada perlombaan antarkota membuat mereka bahkan tak sempat membenahi ruangan.

Fanya naik ke atas panggung. Perlahan-lahan melangkahkan kakinya bak Juliet yang berlatih monolog dengan wig merah muda yang nyentrik.

"Dum ..., dum ..., dum ...," bunyi intro monolognya.

"Dum ..., dum ...," suaranya melantang.

"Dum ... ohok ...." Fanya terjeda batuknya sendiri.

Fanya tak mau ribet oleh kostum yang berserakan di hadapannya. Pikirnya, ia cuma latihan sebentar. Sepuluh atau lima belas menit mungkin. Jadi, setelah itu ia bakal kabur dari sini.

"Romeo ...," ujarnya dengan nada genit Juliet yang ia tonton di Youtube. Ah, ia juga pernah menonton iklan yang ada Romeo-nya. Duh, iklan yang mana?

"Siapa di dalam?"

Sontak Fanya memundurkan kakinya beberapa langkah. Ia harap gorden teater mampu menutupi tubuhnya.

Ayolah ... Bukan maksud tak ingin menyahuti suara di luar sana. Selepas kejadian tadi ia cuma butuh ketenangan untuk dirinya sendiri.

"Fanya."

Fanya? Menunjuk dirinya sendiri.

Dia manggil aku?

Eh, bukannya itu suara Galaska?

"Fanya, Fanya, percuma ngumpet. Dari sini gue udah bisa lihat lo sembunyi di balik gorden teater. Coba lo nunduk ke bawah, kaki lo keliatan, haha ...," kikikan tawa Galaska membuat Fanya membuka gorden merah itu.

Ia merengut duduk di atas panggung. Kakinya yang menjuntai ke bawah sesekali diayun-ayun secara bergantian.

Tidak ada yang lebih menarik selain teks di tangannya.

Galaska lagi nggak menarik, nyebelin!

"Gue muter sana-sini. Ternyata lo ngumpet kayak marmut," tukas Galaska menoleh ke kanan dan kiri, "oh, iya. Mana Arka?" katanya memborong.

"Gue nggak tahu, tadi dia udah nggak ada di ruang loker."

"Soal bunga gimana?" tanya Galaska antusias.

Senyum itu? Cih, bukan buat gue!

Bunga? Fanya mengerlingkan mata pada Galaska. Membingkai wajahnya dengan senyuman yang khas. Nyengir kuda.

Galaska, bunga yang lo kasih buat Oliver dibuang Alfan. Terus gue pungut. Masa begitu? Lha, anak Pak dosen bakal ngambek nanti.

"Galaska," tukasnya.

"Lo jelek kalo nyengir begitu, Nya. Udah cepet bilang kalau lo berhasil ketemu Oliver kan?" Glek. Fanya menelan ludahnya susah payah.

Berhasil sih. Tapi, ...

"Gal."

Galaska tidak lagi menatap Fanya. Pemuda itu sudah turun panggung mengamati kerlap-kerlip merah yang ada di meja samping pintu.

Biang OnarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang