"Hai sepupuku."
Kulirik Nando yang sudah berdiri diambang pintu disusul Rasi yang memasang wajah khawatir.
"Maaf pak, saya sudah meminta pak Nan."
"Sudah tak apa." Ucapku memotong ucapannya.
"Kenapa masih di situ? Keluarlah. Tenang saja aku tak akan membuat pria yang kamu cintai babak belur." Ucapku sedikit geram melihatnya masih berdiri ditegak belakang Nando dan memasang wajah penuh khawatir. Sebegitu khawatirkah dia aku akan melukai Nando.
Kupijit pelipisku setelah Rasi benar-benar menutup pintu ruanganku kembali. Baru saja aku meminta maaf tapi aku membuat kesalahan lagi. Ucapanku mungkin tadi terlalu keras tapi entah kenapa saat melihatnya menyusul Nando membuat emosiku tersulut lagi. Damn!
"Kamu benar-benar tak tertolong Nal."
"Apa maksudmu?" Tanyaku malas lalu bediri menghadap jendela yang memamerkan ramainy jalanan kota.
"Nanti malam di cafe Palazo?" Tanya Nando menepuk bahuku.
"Ok. Sorry waktu itu." Ucapku akhirnya.
"It's ok, kalau itu bisa membuatmu paham dengan perasaanmu itu tak masalah."
Nando meninggalkanku yang masih terdiam menatap luar. Aku paham perasaanku tapi sepertinya terlambat. Kudial nomor sambungan ke meja Rasi untuk memastikan sesuatu.
"Masuklah."
"Ada yang bisa saya bantu pak?"
***
Pov Rasika
"Ada yang bisa saya bantu pak?" Tanyaku lirih.
"Kamu sudah terima bungaku?" Tanya Dinal yang berjalan mendekatiku.
Semakin dekat semakin cepat pula jantungku berpacu.
"Rasi."
"Ah, iya pak terimakasih." Ucapku gelagapan.
Aku mendadak seperti abg SMA padahal umurku sudah 25 tahun. Mencoba mengontrol perasaan dan syaraf-syaraf pergerakan yang ingin sekali memeluk pria diktator di hadapanku.
"Apa kita masih pacaran?"
Sontak mataku melebar dan mulutku menganga mendengar pertanyaan konyol ini. Ya Tuhan, Dinal ini makhluk ajaib dari mana sih. Kukira dia akan meminta maaf langsung atau bilang cinta tapi malah mengajukan pertanyaan yang sunggu diluar prediksiku. Aku nyaris terbahak, tapi melihat momennya yang tak pas dan melihat wajah Dinal bertanya serius aku hanya bisa membelalakan mataku takjub dan menutup mulutku yang reflek membuka.
"Kenapa diam? Aku tanya apa kita masih pacaran?"
Aku masih tak sanggup berkata-kata, sumpah ini konyol. Sedih dan gugupku berganti tawa yang tertahan. Dinal benar-benar pria ajaib.
"Hei, apa yang kamu tertawakan? Apa kita sudah putus?"
Putus? mendengar kata putus aku reflek menggeleng lalu menunduk malu dengan reaksi bodohku ini.
"Benarkah?" Dinal memelukku dan seketika tubuhku menegang lalu kembali rileks saat menghirup aroma yang tiga hari ini kurindukan.
Dinal mengangkatku membuat kakiku bertumpu di atas sepatunya. Aku memang terlalu pendek dan Dinal terlalu tinggi untuk ukuran orang Indonesia. Wajahku kini tepat di depan dadanya. Mataku kembali panas, akhir-akhir ini aku sangatlah cengeng.
"Maaf." Ucap Dinal seraya mengeratkan pelukannya. Tanganku yang sedari tadi diam akhirnya kulingkarkan memeluk Dinal.
"Apa ini pernyataan cinta?" Tanyaku lirih.
Dinal masih diam, lagi-lagi aku melakukan kesalahan pada hatiku.
"Ya."
Aku mendongak melihat reaksi Dinal yang berkata ya. Dia menunduk dan mencium keningku.
"Kamu konyol!" Seruku gemas dengan Dinal.
"Maaf aku lama menyadari dan aku benar-benar tak tahu harus melakukan apa."
"Kamu tak tanya perasaanku pak Dinal?"
"Tak perlu, dari jawaban sekretarisku yang bilang kami masih pacaran aku yakin dia juga mencintaiku."
"Anda pede sekali pak."
"Jangan panggil aku Radinal kalau aku minderan. Pasti itu bukan aku." Ucapnya sembari menarik helai rambutku dan menciumnya.
"Apa kita akan seperti ini terus? Kakimu bisa sakit karena kuinjak."
"Hatiku lebih sakit melihatmu ke pantai bahkan kencan di La Pergola dengan Dinal."
"Kamu tahu?" Tanyaku kembali mendongak melihat wajahnya.
"Aku rasa mama berhasil membuatku uring-uringan di kamar dan mengataiku seperti gadis patah hati. Aku disamain dengan anak gadis, hilang sudah martabatku. Mama memintaku menjemput Jen di La Pergola dan aku melihatmu tertawa dengannya." Ucap Dial lalu mencubbi hidungku.
Aku tak bisa menahan tawaku lagi, Dinal benar-benar pria langka. Dia polos atau bodoh sebenarnya. Dia memang sangat butuh belajar dengan Nando tetang bagaimana memperlakukan dan memahami wanita.
"Ngomong-ngomong siapa itu Jen huh?" Tanyaku memicingkan sebelah mataku.
"Pacarku selain kamu tentunya."
Reflek kudorong tubuhnya dan membuatku limbung karena pijakanku di kakinya pindah ke lantai.
"Hei aku bercanda, Jen itu adikku." Dinal kembali menarikku.
"Ehem."
Aku menoleh ke belakang mendengar deheman wanita. Aku menahan nafas melihat gadis cantik sedang menatap kami. Reflek kulepas pelukan Dinal, aku malu dan penasaran siapa gadis manis ini.
"Tak bisakah kamu mengetuk pintu dulu nenek lampir, mengganggu saja." Dinal berdecak sebal.
"Mungkin bom juga tak akan bisa membuat kakak sadar sudah ada aku sedari tadi di sini. Dasar perjaka tua."
Aku bergantian melihat gadis itu dan Dinal bergantian. Apa yang sedang mereka bicarakan.
"Sayang, kenalkan dia Jen. Nenek lampir di rumah."
"Enak saja. Hai kak Rasi, aku Jen adik perjaka tua ini." Kata Jen seraya menunjuk Dinal dengan jempolnya.
"Hei, berhentilah mengataiku perjaka tua. Umurku masih 28 tahun."Seru Dinal tak mau kalah menarik rambut Jen yang digerai sebahu.
"Ish.. sakit tahu." Jen menabok lengan Dinal.
Ya ampun ini membuatku ingin tertawa lagi.
"Hai Jen, aku Rasi." Ucapku.
"Pacarku dan calon istriku." Lanjut Dinal yang menarikku ke dalam pelukannya dan seketika membuat mataku berpaling dari Jen ke arah Dinal.
"Kalian kenapa? Tak percaya? Kamu mau kan jadi istriku?" Tanya Dinal lalu menatapku.
"Ya ampun ka, kamu benar-benar tak tertolong." Ucap Jen seraya geleng-geleng kepala.
"Apa maksudmu, kenapa ucapanmu sama dengan Nando?" Tanya Dinal dengan alis menyatu.
Jen berdecak sebal dan memukul lengan Dinal sekali lagi.
"Dasar perjaka tua! Tak bisakah kakak bersikap manis saat melamar wanita. Bukan asal ceplos seperti itu." Cerocos Jen sebal menarik dasi Dinal.
"Kak, ayo ikut denganku. Tinggalkan saja kakakku ini." Ucap Jen lagi seraya menarik tanganku. Aku masih speechless di sini.
waduhhh makin gaje ceritaku hihihi *tepok jidat
harap maklum ya ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
You are Mine
RomanceBertemu dengan pria songong bin sombong rasanya memuakan! Jangan pikir aku tergiur dengan pria berwajah tampan. _Rasika Vahya Binara Bertemu dengan karyawan tak disiplin dan menghancurkan harga diriku rasanya geram. Lihat saja nanti! _Radinal Gandra...