Kamu Milikku #10

76.1K 4.1K 60
                                        

Pov Rasika

Hari ini aku pindah ke kantor pusat, seperti biasa Dinal menjemputku. Bisa dibilang sebelumnya aku ke kantor pusat tak sampai 5 kali selama aku kerja, jadi masuk kantor ini seperti masuk dunia lain. Semua mata melihat ke arahku, tapi aku merasa pakaianku sopan dan normal-normal saja. Aku naik menggunakan lift khusus, aku melirik Dinal yang berdiri santai di sampingku.

"Kenapa?" Tanya Dinal menarik bahuku mendekat.

Aku menggeleng, aku merasa gemetar takut orang-orang di sini tak menyukaiku. Apa lagi hari pertama saja aku sudah menggunakan lift yang hanya khusus buat petinggi-petinggi kantor.

"Tak perlu kuatir, ada aku." Kata Dinal sambil mengedipkan sebelah matanya.

Lantai tempat Dinal hanya ada ruangannya, ruangan petinggi-petinggi kelas direktur dan segala fasilitas untuk mereka.

Mejaku tepat di depan ruangan Dinal, ruangannya di kelilingi kaca yang dari luar tak bisa dilihat tapi orang yang di dalam bisa melihat dengan jelas orang yang berada di luar.

Bu Sandra memberi arahan padaku apa yang harus kukerjakan dan Dinal juga ikut membantuku sepanjang hari ini. Maklum aku ini mantan admin bukan sekretaris jadi aku merasa asing dengan pekerjaan baruku. Kupikir tugas sekretaris hanya menjadwal apa yang akan dilakukan bos tapi ternyata pekerjaannya banyak.

Seminggu menjadi sekretaris membuatku lebih lihai dengan pekerjaanku. Orang-orang di kantor masih sama saat memandangku, ada yang memandang dengan wajah menyepelekan, benci tapi ada juga yang tersenyum ramah padaku. Kebanyakan wanita di sini memandangku seperti mau menerkamku. Tapi Dinal selalu di dekatku jadi tak ada yang perlu kukhawatirkan bahkan sekarang aku sudah punya teman makan siang saat Dinal tak bisa menemaniku karena sedang meeting atau saat ada urusan kerjaan di luar. Namanya Ara, dia sekretaris salah satu direktur di kantor. Dia lebih tua dariku setahun, orangnya manis dan tinggi.

"Selamat siang ibu, ada yang bisa saya bantu?" Tanyaku pada wanita yang sepertinya sudah berumur 40an.

"Kamu Rasi?" Tanyanya balik dengan senyum mengembang.

Aku mengangguk bingung, kok ibu ini bisa tahu namaku.

"Jangan pasang muka bingung begitu nak. Saya mamanya Dinal, mau makan siang dengan saya? Dinal sedang di luar kan?"

Aku membelalakan mataku sempurna, mati aku di datengin mamanya Dinal. Menolak juga nggak mungkin, akhirnya aku mengangguk mengiyakan dan membatalkan janji dengan Ara.

"Sudah lama kenal Dinal?"

"Belum bu, baru sebulan juga belum ada." Jawabku jujur sedikit menunduk.

Beneran aku takut dimarahin atau dihina seperti sinetron-sinetron jaman sekarang yang suka menindas kaum rakyat jelata sepertiku. Walaupun dia terlihat baik tapi ada rasa takut juga, misal aku diminta menjauhi Dinal aku sungguh sangat berterima kasih dari pada harus dipandang sebelah mata. Aku juga nggak miskin-miskin amat, punya lah aku cuma kalau dibandingin sama Dinal sih memang jauh.

"Jangan panggil bu, mama aja. Kamu pacar Dinal kan?"

"Mama?" Tanyaku mengerutkan dahi, ini tak sesuai pikiranku.

Mama Dinal mengangguk dan menepuk punggung tanganku.

"Ayo dimakan dulu." Kata mama Dinal.

***

"Dari mana? Kenapa telponku nggak diangkat, sms, line, bbm nggak dibaca?" Rentetan pertanyaan memenuhi telingaku saat aku kembali ke kantor dan mendapati Dinal sudah ada di ruangannya.

"Dari makan dan ponselku ketinggalan." Jawabku singkat.

Memang benar aku nggak bohong, baru makan dan ponselku ketinggalan karena tadi terlalu kaget didatangi mama Dinal.

"Makan dimana? Dengan siapa? Kenapa lama?" Tanya Dinal dengan mata tajamnya.

Aku menghembuskan nafas panjang, harus sabar meladeni diktator satu ini.

"Kamu udah makan belum?" Tanyaku balik, aku malas ribut dengannya.

"Aku tanya Rasi." Ucap Dinal penuh penekanan

"Itu udah nggak penting, yang penting sekarang kamu udah makan belum? Jangan sampai telat, setelah ini kamu masih harus mengunjungi proyek." Kataku tak mau kalah, aku yakin diktator satu ini belum makan siang.

"Tunggu aku pesankan makan siang." Kataku lagi tanpa meminta pendapatnya.

Kubuatkan lemon tea ice untuknya, kepalanya yang berasap perlu di dinginkan. Biar tak marah-marah tak jelas begitu.

"Minum ini dulu dan makan siang dulu sebelum pergi lagi."

Dinal hanya menatapku diam, aku tahu dia masih marah. Tapi aku juga nggak paham dengan sikapnya yang marah tak jelas hanya karena aku makan siang tanpanya. Dia sendiri yang menyuruhku makan siang duluan sementara dia rapat.

"Nanti pulang tunggu aku."

"Nggak usah, kamu jadi putar arah kalau harus balik ke kantor lagi. Biar aku pulang sendiri aja."

"Ini perintah."

Ya Tuhan, tuan diktator satu ini emang ya nggak bisa banget sama penolakan.

"Ya terserah. Cepat makan, minum dulu ini obat maghmu. Kamu sudah telat makan siang lebih dari sejam." Kataku seraya menyendokan cairan putih kental ke mulut Dinal.

***

Pov Radinal

Rasanya gelisah bukan main saat aku kembali ke kantor tak mendapati Rasi, kutelpon berkali-kali tak ada jawaban. Sudah pukul 1 tapi wujudnya masih belum nampak, rasanya geram. Berani-beraninya dia mengabaikanku setelah beberapa hari ini dia begitu manis padaku.

Dia datang tanpa rasa bersalah mengatakan baru makan siang, aku curiga dia pergi dengan Ramon. Ah monyet satu itu ingin sekali kulempar ke kantor cabang di luar pulau saja. Rasi membuatkanku minum dan memesankanku makan siang, tak tahukah hatiku masih berasp marah. Wajahnya datar dan malah bertingkah seperti mama sama anaknya. Menyuruhku makan siang secepatnya.

"Nanti pulang tunggu aku." Kataku tegas.

"Nggak usah, kamu jadi putar arah kalau harus balik ke kantor lagi. Biar aku pulang sendiri aja." Tolak Rasi.

Jangan harap dia bisa pulang dengan monyet itu, dia pikir aku bodoh setelah dia makan siang berdua monyet itu lalu kubiarkan pulang bersama.

"Ini perintah."

"Ya terserah. Cepat makan, minum dulu ini obat maghmu. Kamu sudah telat makan siang lebih dari sejam." Katanya seraya menyendokan obat magh ke mulutku.

Kalau sudah begini amarahku tadi menguap seketika, perhatian kecil seperti ini membuatku tak bisa marah lagi padanya. Aku sepertinya mulai tak waras, bisa jadi murka seketika dan mendadak jadi penurut hanya oleh kata-kata wanita di depanku ini.

***

"Habis ini ayo kita kumpul, sudah lama kita nggak ngopi-ngopi bareng." Seru Ferdinan salah satu temanku yang juga menangani proyekku.

"Sorry aku harus buru-buru balik ke kantor." Kataku sambil memencet ponselku untuk mengirim pesan pada Rasi.

"Kenapa bro? Biasanya kamu yang paling punya banyak waktu."

"Wah wah, kamu nggak update banget Fer, bos kita ini sudah punya pacar. Sekretaris pribadinya bro, yang mungil-mungil menggemaskan. Jangan harap dia punya waktu buat kita." Celetuk Bimo di sampingku sambil menepuk-nepuk bahuku.

"Syukurlah kawan kita akhirnya kenal wanita. Jadi kamu menjilat ludah sendiri Nal? Katamu wanita hanya buang-buang waktu dan merepotkan. Tapi sekarang bahkan kamu seperti kerbau yang dicocok hidungnya, mau saja kembali ke kantor buat jemput pacarmu itu." Ucap Ferdinan yang mengolok-olokku habis-habisan karena biasanya Ferdinanlah yang menjadi bahan hinaanku karena dia selalu menuruti apa kata istrinya. Bagiku waktu itu wanita hanya membuat waktu pria habis tanpa manfaat dan merepotkan. Tapi sekarang aku merasa tak pernah terbebani atau terepotkan karena Rasi. Malah menikmati setiap harinya berdua dengan Rasi.

"Diamlah, tutup mulutmu. Aku yang memaksanya bukan dia yang memintaku menjemput." Desisku yang disambut tawa lepas kedua sahabatku. Sialan!

"Dunia benar-benar sudah tebalik rupanya Bim." Seru Ferdinan.

Maaf ya dikit, saya rada buntu hihihihi

You are MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang