7. Kehilangan

65 8 71
                                        

"Salah satu hal paling berat dalam hidup yang hampir-hampir tidak bisa kamu tanggung adalah.. kehilangan orang tua. Kamu mungkin hebat mengatasi perkara lain, tapi tidak dengan kehilangan."

**********

"Nak, semua harta kita habis. Papah ditipu habis-habisan, Nak. Selama ini Papah berpikir bagaimana cara menyelamatkan kamu, tapi ...."

Sejenak, Tuan Riadi menghentikan kata-katanya. Ia berusaha sekuat tenaga menarik napas, meski nyatanya oksigen yang masuk ke dalam tubuhnya hanyalah sedikit. Dadanya semakin sesak, ia merasa sudah tidak kuat lagi. Jangankan untuk bercerita, untuk menarik napas saja ia sudah tidak sanggup.

Tapi tidak, ia tidak boleh menyerah dulu. Ia harus menceritakan setidaknya sedikit saja tentang apa yang dialaminya. Agar putrinya mengerti, agar putrinya tidak bertanya-tanya sepeninggalnya. Ia harus menjelaskan, meski ia sendiri tidak tahu sampai dimana ia akan berhenti bercerita.

Sementara Sery semakin bingung. Sudah shock mendengar papahnya yang tiba-tiba sakit tanpa sepengetahuannya sedikit pun, kini papahnya mengatakan hal yang tidak ia mengerti lagi. Ditipu? Ditipu habis-habisan? Apa maksud papahnya?

"Maksud Papah apa kita ditipu habis-habisan? Aku nggak ngerti, Pah." Sery memeluk Papahnya seraya menangis. Cobaan apa ini? Dirinya serasa mendapatkan kesedihan yang beruntun. Kenapa? Kenapa seperti ini? Padahal baru kemarin semuanya baik-baik saja.

"Papah ditipu oleh rekan bisnis Papah. Semua harta kita habis, termasuk warisan yang akan Papah berikan pada kamu. Semuanya habis ... Diambil mereka semua." Tuan Ariadi reflek menarik napas panjang begitu selesai cerita.

Penderitaannya semakin menjadi-jadi sewaktu oksigen sudah tidak dapat lagi masuk ke dalam tubuhnya sedikit pun. Namun, Tuan Ariadi tetap berusaha, berusaha mengambil napas walau terengah-engah.

Sery semakin bingung dan tidak mengerti. Siapa yang papahnya maksud dengan kata 'mereka' itu siapa? Dirinya selama ini selalu dikenalkan dengan rekan kerja papahnya dan selama ini menurut pandangan Sery, semuanya baik. Termasuk Om Riyan, papahnya Kenzie, yang merupakan rekan kerja papahnya juga. Ia mengenal betul, lalu siapa orang jahat itu?

Tidak... Ia menggelengkan kepalanya keras-keras. Siapa pun yang telah menipu papahnya tidak penting. Yang terpenting saat ini adalah papahnya sendiri. Ia harus sembuh, setidaknya masa kritis itu lewat. Papahnya tidak boleh berpikir yang macam-macam. Ia harus tenang agar penyakitnya tidak semakin parah.

"Pah, aku nggak peduli siapa yang udah nipu kita, Pah, aku nggak peduli. Yang sekarang aku peduliin itu Papah. Papah harus sembuh, Pah, ayo kita ke rumah sakit." Sery mengusap-usap pipi Papahnya yang terkena air matanya sendiri.

Namun papahnya hanya menggeleng, tanda ia menolak ajakan Sery.

"Papah harus pergi. Papah udah nggak kuat tahan sakit ini. Rasanya sakit sekali. Sery, Papah minta maaf ya, maaf kalau Papah ..."

Tuan Ariadi semakin terengah-engah. Seolah alat oksigen itu sama sekali tidak berfungsi. Sery semakin frustasi, ia tidak tahu harus bagaimana lagi.

"Dokter Sendy ayo kita bawa Papah ke rumah sakit. Ayo sebelum terlambat, dok, kita harus nyelametin Papah." Tiba-tiba tangannya ditarik meskipun tarikan itu sangat lemah.

Sery yang tadinya menatap ke arah Dokter Sendy langsung menoleh ke arah papahnya. Papahnya tidak mengizinkannya membawa ke rumah sakit. Ia tahu dari tatapan papahnya meski saat ini papahnya sudah susah berkata-kata lagi karena terlalu sesak dadanya.

SerenityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang