Tanya Hati

2.3K 105 0
                                    

Aku heran, Kak Zaini itu waras gak sih? Setelah berlaku kasar, malamnya dia malah spam chat minta maaf. Awalnya hatiku terenyuh sih, hampir aja mau maafin. Tapi ingat lagi kejadian sore itu, langsung kesel. Bawaannya mau ngedumel. Untungnya saat kejadian itu Mama dan Bapak lagi gak ada di rumah coba kalau ada? Beh, jadi rempeyek si Kak Zaini! Atau malah ayam penyet, ayam geprek, tempe geprek? Ya itulah pokoknya. Malah jadi bahas makanan, hadeh.

Hari ini, rencananya aku mau curhat sama Mama. Walaupun aku tau ujung-ujungnya bakal nyuruh aku nerima lamaran Mas Antares. Tapi, aku harus membagi beban berpuluh-puluh ton di hati ini. Aku tuh anaknya gak bisa kalau ada masalah diam doang. Pasti aku langsung curhat sama Mama, mau aku yang salah atau yang bener.

Eh, aku sudah pernah kasih tau gak sih apa kerjaan Bapak dan Mama? Belum kan? Bapak itu Lurah di kelurahan kami. Lumayan disegani masyarakat di sini. Kalau Mama itu dulunya pegawai asuransi, tapi pas aku umur sepuluh tahun Mama resign. Katanya mau ngurus anak sematawayangnya.

Ada yang ingat gak Mas Antares pernah bilang dia suka aku karena aku ke ibu-ibuan terus dia liat aku main sama adikku. Dia bukan adik kandung, cuma keponakan yang selalu aku panggil Ade. Karena namanya Ade Restu Wijaya. Makanya jangan sok tau, malu kan jadinya.

"Ngapain ngelamun di situ?" tanya Bapak yang mengagetkan ku.

"Lho, kok Bapak udah pulang?" tanyaku balik.

"Bapak gak enak badan, Siska bisa buatin Bapak teh hangat? Mama mana?" Memang Bapak hari ini berbeda, matanya sayu banget.

"Mama ngumpul sama Ibu-Ibu PKK, tunggu bentar Siska buatin teh." Aku menuju dapur. Kalian jangan ketawain aku! Aku memang menolak nikah muda, tapi aku bisa kok bedain gula dan garam.

"Nih, Pak." Aku menyodorkan secangkir teh hangat.

"Duduk dulu sini, Bapak mau bicara," kata Bapak. Haduh ini jantungku berdebar-debar.

Bapak ngajak bicara = habislah aku!

"Kenapa Pak?" tanyaku cengengesan. Bapak menatapku lekat, tuh kan kayak orang mau baca pikiran.

"Ini kenapa?" Bapak menunjuk mataku yang kayak habis disengat tawon gara-gara nangis.

"Gak papa kok, Pak," jawabku.

"Bapak mau kamu jujur, jangan menutup-nutupi. Bapak bisa tanya Antares atau tetangga, tapi Bapak mau dengar dari mulut anak Bapak sendiri," kata Bapak tegas. Nyaliku menciut, jujur mungkin lebih baik.

"Aku sakit hati Pak ditinggal tunangan sama Kak Zaini, yang malam itu Mas Antares jemput aku nah disitu kejadiannya. Terus aku ngerasa dikhianati, aku marah dong! Aku siram dia pake es jeruk terus aku ditarik Mas Antares keluar, baru deh nangis. Kemarin Kak Zaini datang lagi, dia kasarin aku Pak! Untung ada Mas Antares, kalau gak bisa terkilir tanganku!" Dan aku menceritakan semuanya, gak ada yang aku tutup-tutupin biar Kak Zaini dibikin geprek sama Bapak!

Bapak tertawa kecil, lha Bapak gak kasian sama anaknya?

"Kamu tuh lucu ngatain orang pengkhianat, seharusnya mikir. Dia itu siapanya kamu? Suami? Bukan kan? Ya gak perlu kamu ngatain pengkhianat." Bapak tersenyum kecil. Pak, anakmu ini sakit hati karena ditinggal tunangan, kok Bapak gak ngebelain sih!

"Dia janji mau nikahin aku Pak!" kataku kesel.

"Laki-laki sejati tidak pernah mengubar janji, tapi membuktikan dengan aksi," balas Bapak.

"Maksud Bapak Mas Antares?"

"Bapak gak bilang itu dia, kamu yang bilang," elak Bapak.

"Ya tapi kan siapa lagi selain Mas Antares?" gerutuku.

Nikah Muda Itu RIBET! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang