Meyakinkan Hati

1.9K 110 0
                                    

Mulut berkata siap, tapi hati masih ketar-ketir. Mikir ulang lagi, sudah benar gak sih keputusan aku untuk menikah? Nanti kalau aku gak bisa bagi waktu antara tugas kuliah dan ngurusin suami gimana ya? Kalau aku malah suka sama cowo lain didunia perkuliahan gimana?

Mungkin saat ini sendiri lebih baik. Tapi kalau aku memilih sendiri, berapa hati yang akan aku sakiti? Pasti banyak. Terutama Bapak dan Mama. Memilih sendiri jelas baik untuk kehidupanku. Aku bisa memperbaiki diri, tapi jika mengingat lagi tentang hati yang akan aku sakiti. Aku jadi ragu lagi.

Nikah atau sendiri?

Sulit.

Pikiran ini selalu menghantui aku. Lagi enak-enaknya makan, eh kepikiran. Lagi baca Al-Qur'an kepikiran. Ada sekelumit di dalam hati yang masih ragu akan diri sendiri. Jangan katakan ini labil, semua orang yang mau menikah pasti punya pikiran kayak gini. Entah dia menikah muda atau menikah sesuai umur yang ditetapkan negara.

Aku bingung harus curhat kemana lagi. Kalau curhat ke Bapak rasanya aneh, Bapak mana pernah sih galau kayak gini? Bingung mau nikah apa gak. Mama? Lagi sibuk sama Ibu-ibu komplek. Bikin agenda buat satu bulan ke depan. Yang lurah Bapak, tapi jadwal Mama jauh lebih sibuk.

Daripada aku mumet, mending aku jalan-jalan. Kayaknya minum es cendol di siang hari enak nih. Aku memakai jilbab berwarna hitam. Kalau di rumah gak ada siapa-siapa aku gak makai jilbab. Kasian rambutku nanti lepek. Aku mengambil kunci motor matic. Kalian pada kepo kan sama motor aku ini?

Setelah kejadian waktu itu Mas Antares ternyata nelpon anak buahnya. Gak tau, ya, mungkin Mas Antares itu Bapak buah. Dia suruh anak buahnya nganter motor aku ke rumah. Motorku kembali dengan selamat, tanpa goresan sedikitpun. Malah bensinya full, hebatkan!

Kok kayaknya aku ini memalukan banget sih? Mau nelpon eh keceplosan pulsa habis. Ada musibah, bensin motor juga habis. Ada lip cream yang unyu, lupa bawa uang. Seakan-akan aku tuh gak punya uang. Padahal ada! Cuma gak sebanyak dia, sih. Dan waktunya aja yang kurang tepat.

Aku menjalankan motorku menyusuri jalanan komplek yang sepi. Yang jualan es cendol deket kok, cuma akunya aja yang males jalan. Akhirnya sampai juga!

"Bang, es cendolnya satu dibungkus!" ucapku lalu menyerahkan selembar uang sepuluh ribuan.

"Abang bikinin dulu," balas Abang es cendol.

"Eh, si Anita minggu depan nikah lho!" Aku mendengar obrolan dua perempuan yang juga menunggu es cendol. Sekalian nguping gak papa kali ya?

"Yang bener? Dia kan baru lulus SMA, ihh gak sayang apa masa mudanya direnggut oleh pernikahan," balas yang satunya.

"Bahasa kamu! Direnggut segala. Gak tau sih, katanya dijodohin sama orangtuanya. Kok masih ada ya orangtua kolot banget pemikirannya. Zaman sekarang masih jodoh-jodohin anaknya,"

"Padahal Anita itu cantik banget, primadona di sekolah. Mirip sama Mbak ini!" Yang berjilbab pink menunjuk aku. Lha kok jadi ke aku sih? Emang muka aku pasaran banget ya! Aku pun tersenyum membalas senyuman mereka.

"Nih, Neng!" Abang es cendol menyerahkan sebungkus plastik. Setelah mengatakan terima kasih aku langsung tancap gas ke rumah.

Sampai di rumah aku duduk di ruang tamu sambil meminum es cendol. Lumayan bikin otakku mendingin. Siap berpikir untuk kelanjutan hidup. Kok aku pikir-pikir Desy gak ada gunanya banget ya kalau aku curhat soal ini. Daripada bingung, mending aku nelpon orangnya aja langsung. Kali aja dia bisa meyakinkan aku, aku kan mau membina bahtera rumah tangga sama dia. Iya, dia, Mas Antares.

Aku menelpon Mas Antares. Panggilan pertama ditolak, panggilan kedua ditolak. Yang ketiga harus dijawab!

"Assalamualaikum, apa sih Siska? Mas lagi meeting. Jangan ganggu!"

Nikah Muda Itu RIBET! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang