Part - 5 Dale Gritson

14.5K 787 2
                                    

Mansion mewah yang terletak dipusat kota tidak pernah sepi. Bagaimana bisa sepi jika setiap hari akan selalu ada pertengkaran kecil yang terjadi. Maid yang bertugas mengurus keperluan sepasang kakak adik tersebut mendesah pasrah.

Selain sarapan yang belum habis. Rambut Anneta yang telah terkuncir terlepas kembali akibat tingkah usil sang kakak. Hal itulah yang membuat Anneta berlari mengejar sang kakak mengelilingi meja makan.

Para maid pun hanya bisa menggelengkan kepala, menghela napas panjang seraya bergumam kesabaran pada dirinya sendiri. Kalau bukan karena gaji yang dijanjikan begitu besar mereka enggan bekerja pada pengacara tampan yang membuat wanita menoleh dua kali tersebut.

Sebut saja duda tampan. Bukan hanya karena sosoknya yang begitu memikat, sikap dan loyalitas terhadap pekerjanya pun patut diacungi jempol. Meski ia dikenal sebagai bos penuh perhitungan. Namun tidak bagi para pekerja yang melakukan pekerjaannya dengan baik, mereka akan mendapat bonus lebih. Tapi itu dulu, ketika mendiang istri pria tersebut masih hidup.

Sejak kematian sang nyonya rumah, maid yang memang setia sejak dulu hanya bisa pasrah. Kepala keluarga dirumah itu tak lagi menghabiskan waktunya dirumah. Tak ada lagi bonus tambahan karena tak ada rengekan manja dari sang istri yang memaksa ia memberikan bonus untuk pekerjanya. Dia memang wanita hebat, pemurah dan penyayang, hal itulah yang membuat Dale begitu mencintai istrinya. Sampai kapanpun tidak akan pernah ada yang bisa menggantikan posisinya.

Lelaki tiga puluhan itu lebih betah tinggal dikantornya. Menyibukkan diri dengan pekerjaan. Tenggelam bersama dengan kasus-kasus yang membutuhkan konsentrasinya serta perluasan hotel miliknya juga menyita seluruh waktunya. Tak ada lagi wanita spesial dalam hidupnya. Hanya ada wanita semalam yang dibutuhkan untuk menyalurkan hasrat laki-lakinya.

Padahal dulu ia adalah tipe pria penyayang, hangat. Tidak pernah ada kata pulang terlambat jika tidak ingin mendengar omelan istrinya. Tapi kini, jangankan pulang tepat waktu, ia bahkan tidak pulang sama sekali. Dalam satu minggu, hanya beberapa hari saja ia menyempatkan untuk pulang.

Begitu juga dengan anak-anaknya, selepas sekolah pun anak-anak lebih sering pulang ke mansion utama. Rumah orang tuanya. Sehingga jangan harap disiang dan sore hari akan menemukan sang pemilik rumah.

Biasanya anak-anak akan pulang jika jam telah menunjukkan angka tujuh atau mereka akan bermalam disana. Biasanya Maria - ibu Dale - akan menelpon untuk memastikan bahwa Dale tidak akan pulang maka ia akan menyuruh cucunya menginap dirumahnya. Tidak ada lagi kehangatan di rumah mewah itu. Semuanya telah hilang sejak lima tahun yang lalu.

Memperbaiki letak jam tangannya, Dale melangkah menuruni tangga menuju sumber keributan. Semalam ia baru pulang jam 2 dini hari karena ada beberapa berkas yang tertinggal.

Pria bersetelan rapi tersebut hanya menggelengkan kepala sambil mempercepat langkahnya. Ia punya waktu satu jam untuk mengantar mereka sekolah sebelum pergi menemui kliennya. Meski jarang menghabiskan waktunya menemani mereka tapi ia akan sebisa mungkin meluangkan waktu untuk mengantar ke sekolah.

Dale berdehem. Sontak kedua pasang mata itu menghentikan larinya. Seolah mengerti dengan sifat sang ayah, dengan kepala menunduk keduanya berjalan ke kursi masing-masing. Tak ada lagi keributan, tak ada lagi teriakan, semuanya terdiam. Mengangkat sendok masing-masing guna menghabiskan sarapan secepat yang mereka bisa.

Disiplin. Itulah yang memang ia ajarkan untuk anak-anaknya. Bukan maksud untuk balas dendam karena dulu pun sejak ia pun dididik sedemikian rupa. Tapi Dale hanya ingin anak-anaknya tumbuh menjadi pribadi yang baik. Entah apa yang akan terjadi kedepannya, ia sudah menyiapkan segala kemungkinan yang akan terjadi.

Dale duduk dengan tenang, menyesap kopi panasnya sambil membaca koran paginya. Guna mengetahui apa yang terjadi hari ini, siapa tahu klien yang ditanganinya kembali berbuat masalah. Sebenarnya ia tidak perlu membaca koran jika hanya untuk mendapat informasi seperti itu, anak buahnya bahkan bisa memberikan informasi yang belum tentu bisa dicetak oleh koran.

Hanya untuk berjaga-jaga itulah yang diucapkan. Kita tidak bisa meremehkan publik figur. Sosoknya yang kerap kali muncul di media selalu menjadi sorotan pers.

Pernah suatu waktu, Dale yang dipercaya untuk memegang kasus perceraian seorang aktor yang lagi naik daun, saat itu pula ia harus berurusan juga dengan kepolisian akibat kejadian tabrak lari. Siapa yang tahu jika tersangkanya adalah aktor tersebut.

Mungkin sang aktor yang saat itu dalam masa sulit karena digugat oleh sang istri dan dia tidak mau bercerai. Terpaksa membuat keputusan buruk dengan menegak minuman alkohol secara berlebih tanpa pengawasan. Alhasil, dia yang memang sudah mabuk, menyetir dengan kecepatan tinggi yang berakibat dengan meninggalnya seseorang.

Semua bukti yang memang menjurus padanya serta pengakuan dirinya sendiri membuat Dale angkat tangan. Memang apalagi yang harus diperjuangkan dan ia tidak bisa membela orang yang salah.

Sebagai pengacara terbaik, Dale tidak serta merta menyetujui semua kasus yang masuk ke kantornya . Ia akan memilih beberapa kasus yang memang membutuhkan pembelaan. Ia akanmengusut tuntas kasus kliennya sampai mendapat keadilan.

Ini tentang hukum dan ia tidak pernah bermain-main dengan hukum. Ucapannya adalah mutlak. Jadi tak heran, jika Dale sudah angkat bicara maka akan berdampak pada status sosial ekonomi suatu negara.

"Dad..."

Panggilan itu mengalihkan pandangannya dari koran. Ia mengangkat wajahnya menatap putra pertamanya dengan alis terangkat. Tidak biasanya Dante memanggil dengan nada takut. Biasanya anak itu jika ingin meminta sesuatu bukan ekspresi seperti itu yang ditampakkan. Dale melipat korannya, meletakkan disamping cangkir kopinya dan fokus padanya. Menunggu apa yang akan dikatakannya.

Anneta yang masih menunduk, sejenak melirik. Ia yang sudah tahu apa yang akan dikatakan sang kakak. Berharap-harap cemas. Bagaimana kalau sampai ayahnya marah karena ikut campur. Namun semua ketakutan itu tidak akan ada artinya jikalau semua itu benar.

Dante menggenggam erat sendoknya. Menatap sang ayah dengan takut, tapi siapa peduli. Ia lebih takut pada kenyataan yang mungkin akan terjadi setelahnya. Meski dirinya masih dibilang anak kecil, tapi kehidupan yang mengajarkannya untuk berpikir dewasa. Kemewahan yang dimiliki bukan sebagai tolak ukur yang baik. Tidak pernah lagi ada kata manja dan menjadi anak kecil yang tidak bisa melakukan apapun. Sejak ibunya meninggal, ia berupaya menjadi lelaki kecil yang kuat. Ia tidak boleh terlihat lemah dimata adiknya. Meski merindukan ibunya, Dante tidak pernah menampakkan keinginannya.

Meskipun sebenarnya tidak harus seperti itu. Ia hanya perlu merengek, maka apapun yang diinginkan akan ada didepan mata. Dante menyadari kelebihannya itu, tapi tidak pernah sedikitpun untuk melakukan itu. Mungkin karena didikan ibunya atau memang gen yang ditinggalkan ibunya lebih melekat dalam darahnya.

"Apa yang diucapkan grandma benar, dad? Apa kalian berdua yang memutuskan hal itu? Aku - aku tidak bermaksud menguping tapi bukan salah ku jika yang kebetulan saat itu sedang bermain mendengar pembicaraan grandma." Dante menghela napas, setidaknya ia sudah mengatakan yang sebenarnya.

Merasa tak ada jawaban, Dante mendongak menatap ayahnya yang juga melihat ke arahnya dengan kening berkerut.

Mencerna kembali ucapan Dante, Dale memutar otaknya. Memang apa yang telah diputuskan ibunya. Selama ini tidak pernah ada pembicaraan serius diantara mereka berdua kecuali tentang apakah ia akan pulang terlambat?

Apa yang telah dilewatkannya. Mungkinkah saat ibunya menelpon, Dale dalam keadaan tidak fokus? Entahlah daripada menduga-duga seperti ini, nanti ia akan menanyakan sendiri pada ibunya. Dante tidak mungkin bertanya jika itu bukan sesuatu yang penting. Ia sangat mengenal watak putranya yang satu itu. Tapi sebelum mendengar dari ibunya, tidak ada salahnya ia mengorek informasi dari anaknya terlebih dulu.

"Dengar..." Dale menatap Dante dan Anneta bergantian kemudian kembali lagi pada Dante "... aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan. Tapi aku bisa memastikan bahwa selama ini aku beIum pernah membuat suatu keputusan dengan grandma."

Napas yang sejak tadi ditahan Dante segera meluncur lega. Ia melirik Anneta, ternyata adiknya juga merasakan hal sama. Sendok yang sejak tadi menjadi penguatnya perlahan mengendur.

"Aku percaya padamu dad. Kau memang yang terbaik" ucapan Dante disertai dengan senyum lebar.

BASTARD LAWYER [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang