Ar

37 8 0
                                    

"Eh, itu...aduh aku gugup sekali! Bagaimana bilangnya ya? Eh, maaf!" Erina sontak berdiri membungkukkan badannya berulang kali.

Sera menaikkan alisnya. Perasaan baru saja mereka berkenalan tapi sifat asli Erina sudah terlihat jelas di matanya.

Ryo tersenyum kikuk, sedangkan Asra? Masa bodoh dengan senyuman, sudut bibir yang ditarik keatas seinci pun tidak.

"Boleh, kami bergabung?" Tanya Ryo ramah.

Erina membulatkan matanya lebih lebar kali ini disertai mulut setengah terbuka. Siapa sangka dua primadona yang didambakan setiap perempuan di muka bumi mau bergabung untuk makan bersama mereka.

Berakhir dengan mereka duduk bersama dikelilingi hawa canggung. Sera memakan makanannya dengan santai tanpa terganggu hawa canggung di sekitar meja mereka.

Erina berdeham mencoba mengurangi rasa gugupnya. "J-jadi, maaf dengan perilakuku yang tadi."

"Kami memaafkanmu." Kalimat pendek bernada datar seperti biasanya diucapkan dengan konsekuensi mendapat tendangan di tulang kering dari sang kakak. Asra mengeluh pelan, agak kesal dengan tendangan yang didapatkannya.

"Nona Erina, yang tadi kamu bilang kalau kami, kenapa?" Asra berulah lagi dengan ucapan tanpa saringannya, Ryo kembali menendang tulang kering Asra.

Erina bersemu merah menahan malu di depan kedua sosok yang dikaguminya secara diam-diam--sebelum kejadian lima menit yang lalu. Erina menggeleng keras,.

"Bukan apa-apa." Sargahnya cepat lalu berdeham. "Dan jangan panggil aku dengan formalitas aneh itu. Cukup panggil Erina atau yang lainnya, terserah saja." Lanjutnya.

"Kupanggil 'terserah' bagaimana?"

Erina kebetulan sedang menyeruput minumannya tersedak, hampir saja memuncratkan isinya dan tidak jadi karena lebih dulu tertelan.

"Kau kenapa?" Tanya Sera.

Erina mengerutkan alisnya, kenapa katanya? Apa dia tidak sadar? "Heh, tupai terbang! Kenapa kalian berdua begitu mirip?!"

"T-tupai terbang?" Geram Sera, ingin rasanya bertindak sesuai suasana hatinya saat ini.

Tapi, sesaat dia tertegun. "Mirip?"

"Hehe, iya. Pertama tupai terbang, kau melompat dari ketinggian lima meter tapi masih utuh." Ryo tersedak sambil melirik Asra yang  saat ini memasang ekspresi meringis dan mengerutkan alis balik menatapnya.

Jari telunjuk dan tengah Erina terangkat mengisyaratkan angka dua. "Kedua, kau juga memanggilku 'terserah' saat pertama kali bertemu denganku."

Sera menerawang kejadian pagi ini. "Bukan soal mirip, Erina. Penataan kalimatmu saja yang salah. Seharusnya kau tidak perlu menambahkan 'terserah' dalam kalimat perkenalan dirimu."

Erina cemberut. "Argh! Terserah." Gumamnya.

Hening sesaat dengan makanan masing-masing. Sera menganggap suasana tenang ini merupakan surga dunia disaat makan siang berlangsung, sampai keributan kembali menyesakkan telinganya oleh pekikan lancip anak-anak perempuan menyebalkan.

Sera mendecakkan lidahnya kesal. "Kenapa lagi sih ini?!"

Pemuda dengan warna rambut aneh berjalan kearah meja yang ditempati Sera dan yang lain lalu berdiri di samping Asra dengan tatapan tajam.

Mata Sera dan Erina terbuka kaget dengan pemandangan rambut dengan warna khas. Yang berada di depan mereka saat ini, pemuda dengan rambut berwarna aneh tapi asli. Rambutnya berwarna putih dengan efek warna biru muda seperti berlian, namun warna birunya sangat tipis hampir tak terlihat.

Orang-orang mengenalnya dengan nama 'Serigala Putih'.

"Sepertinya aku pernah melihatnya di suatu tempat. Tapi dimana?" Inner Sera dan Erina berseru sama saat melihat pemuda itu.

"Ar?" Ryo tersenyum memandang pemuda yang dipanggilnya Ar. "Sudah lama aku tidak melihatmu. Dari mana saja kau?" Garis sabit belum hilang dari wajahnya, seperti memang sudah menunggu kehadiran kawan lama.

"Tidak kemana-mana. Kalian saja yang mengunci diri di dalam ruangan emas kalian." Sindir Ar tanpa menghilangkan tatapan tajam tersebut, terutama memandang tajam Sera dan Erina.

"Siapa mereka?"

"Angkatan baru." Asra menjawab dengan singkat. Ia menyapa Ar dengan kepalan tangan dan tinjuan pelan dibalas oleh Ar.

Raut wajah mereka sama saja. Tidak ada perubahan. Membuat Erina berpikir mungkin senior mereka kebanyakan merupakan spesies arogan.

Ryo mengerti arti tatapan Erina. "Kau bisa menganggap satu spesies. Tapi kalau kau sudah dekat dengan mereka, mereka akan sangat berbeda." Ryo tersenyum, Erina membalas dengan senyum canggung.

Ar melirik Sera dan Erina bergantian seperti sedang menyelidiki sesuatu. "Kalian belum memperkenalkan diri." Ucap Ar tanpa permisi duduk di antara mereka.

"Kau sendiri belum menyebutkan namamu." Lirikan mata Sera seimbang dengan kalimat sinisnya. Enak saja duduk tanpa permisi, tidak punya tata krama, menurutnya.

Ar mengangkat bahu santai. Sepertinya Ar merupakan sosok cuek dan selalu bertindak santai dalam setiap hal. Terbukti dari caranya berkenalan saat ini.

"Bukankah tadi Ryo sudah menyebutkan namaku?"

Sera tahu, tahu kalau orang ini merupakan pemuda menyebalkan tingkat dewa pertama yang ditemuinya. "Terserah. Aku tidak peduli." Ar tetap mengangkat bahu dengan tanda sama tidak pedulinya dengan Sera.

Hawa yang terasa dingin dan canggung seperti menusuk-nusuk jiwa Erina dan Ryo. Sepertinya tidak ada yang peduli dengan hawa tersebut selain mereka berdua. Ketiganya sibuk dengan makanan yang hampir dingin karena ditelantarkan beberapa lama.

"Aku selesai." Sera berdiri kemudian beranjak dari tempat duduknya, hampir meninggalkan Erina kalau tidak cepat-cepat disusul.

"A-aku juga sudah selesai. Terimakasih atas makanannya." Erina membungkukkan badannya lalu berlari menyusul Sera.

Ar mendecakkan lidah, sepertinya sama sebalnya dengan Sera. Mereka sama-sama merasa sebal satu sama lain. Ar beralih memusatkan perhatiannya pada Ryo dan Asra. Ia menopang dagunya di atas meja.

"Semua perempuan itu menyebalkan."

Asra bergumam mendukung argumen tersebut. Meskipun alasannya berbeda tapi kenyataannya bagi mereka berdua memang perempuan itu menyebalkan.

Ryo terkekeh kecil menanggapi. "Jangan begitu, Ar. Jaga sikap tubuhmu juga, aku tidak pernah melihatmu seperti ini."

Ar memasang wajah masam, tetap tidak menegakkan badannya. Maksud Ryo yang 'tidak pernah melihatnya seperti itu' sudah lewat waktu dua tahun yang lalu. Terakhir kali mereka bertemu.

"Dua tahun bukanlah waktu yang singkat, Ryo. Banyak hal yang terjadi. Dan satu hal lagi. Apa dia yang kalian maksud?" Tanya Ar tiba-tiba.

Ryo dan Asra tersenyum kecil bersamaan. "Ya. Dia orangnya." Kata Ryo kalem.

"Merepotkan dan menyebalkan. Itu yang aku tahu. Tapi, aku akan membantu kalian." Ar kembali mengangkat bahunya.

Ryo tersenyum tulus mewakili kata terimakasihnya. Ia membuka mulut hendak mengucapkan kata itu sendiri lewat mulutnya. Tapi Ar sudah lebih dulu menatap Ryo tajam.

"Tidak. Aku melakukannya juga untuk diriku."

Tanpa menghilangkan senyumannya, Ryo kembali membuka mulutnya. "Tetap saja. Terimakasih."

Ar tidak menghiraukan Ryo dan memilih memandang di luar kaca cafetaria.

Asra menatap Ar yang sedang menoleh keluar kaca. Pandangan Ar terjatuh pada rerumputan hijau segar taman. Sorot mata Asra berubah, kali ini memancarkan kesayuan. Yang melihat matanya akan mengerti ucapan terimakasih tanpa suara dalam matanya.

"Terimakasih."

•••

әлем•älem•earthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang