Prince&ss

27 6 1
                                    

Sudah satu minggu semenjak ia bertemu dengan Sera. Hari ini hari Minggu. Seperti minggu sebelumnya, Ar menapakkan kakinya di pasir hangat sehabis ditatap seharian oleh Sang Mentari.

Sebentar lagi Mentari tersebut akan tenggelam dilahap lautan. Walau begitu Mentari tetap memberi keindahan dengan warna semburatnya yang memancar kemana-mana. Laut biru memantulkan cahaya hangat dan lembut ke permukaan.

Ombak berseru pelan mengikuti arah angin lalu menapaki pasir kuning keemasan, tidak sengaja cairan dinginnya menyentuh ujung kaki pemuda yang menatap turunnya matahari menuju ufuk barat.

"Aku tidak menyangka ada pantai sebagus ini."

Ar tidak terkejut dengan kedatangan seseorang. Suara dari tapakan kaki yang bertubrukan dengan pasir sudah terdengar olehnya sejak tadi. Tapi dia tidak menyangka yang datang adalah seorang gadis

"Hai, kak. Bagaimana kabar kakak?", yang bukan lain adalah adiknya.

"Kenapa kamu di sini?" Intonasi dingin itu terasa menusuk kulit.

Gadis yang memanggil Ar dengan sebutan 'kakak' menunduk dalam menatap pasir putih keemasan. Ar membelakanginya sehingga tidak dapat melihat kesedihan yang diperlihatkannya pada pasir yang diinjaknya.

"Kapan kakak akan kembali?" Tanya gadis itu cepat. Kira-kira umurnya lebih muda empat tahun dari Ar.

Ar membalikkan badannya untuk melihat adiknya. Terakhir ia melihat adiknya, ketika ia masih berumur dua belas tahun. Saat itu adiknya masih berumur delapan tahun. Tepatnya, ketika satu tahun setelah ulang tahunnya yang ke tiga belas, karena suatu sebab Ar melarikan diri dari Istana.

"Kenapa di sini?" Kembali suara itu terdengar menggertak.

"Aku mohon kakak kembali." Aira menunduk tidak berani menatap Ar.

"Apa hakku untuk itu? Ingat Aira, orang yang sudah meninggalkan tanggung jawabnya tidak layak mendapatkan tempatnya kembali."

Aira semakin menunduk. Rambutnya yang terurai jatuh beberapa helai ke depan, mengenai wajahnya yang ayu.

"Aira, apa seorang Putri pantas untuk menunduk seperti itu? Apa yang dipelajari selama ini di luar negeri, hm?" Kali ini Ar tersenyum kecil. "Tidak ada alasan untukku kembali, Aira. Jangan mencariku dan pulanglah."

Ar kembali membalikkan badan ke arah hamparan air yang luas dan membelakangi Aira. Matahari semakin jatuh ke arah barat.

Aira diam-diam menangis. Ia sangat merindukan sosok kakaknya. Setelah enam tahun lamanya ia pergi dan baru bisa menjumpai Ar sore ini. Itu pun karena kebetulan dia lewat dan menemukan siluet kakaknya. Aira sangat bahagia namun, ia menutupinya.

"Kak, apa kakak tidak merindukanku? Bagaimana dengan Ibu?"

Ar hampir refleks menoleh, ia mengepalkan tangannya dengan erat. Menahan diri. Aira harus bisa menerima kalau ia telah pergi selama Aira tidak berada di sisinya beberapa tahun lalu. Ia harus belajar untuk tidak mencarinya lagi seperti saat mereka bermain petak umpet atau saat Ayah atau Ibu marah pada gadis kecil itu.

"Bilang pada Ibu aku baik-baik saja. Pulanglah, Aira." Kali ini Ar melirik Aira dari ekor matanya.

"Angkat kepalamu, Aira...dan pulanglah." Kali ini Ar menjauhi tempatnya tadi berdiri.

Aira memandang semdu jejak kaki Ar. Jejak kaki yang sudah berbeda dari saat terakhir mereka menginjakkan kaki di pasir putih bersama di suatu tempat. Ar seperti menjadi orang yang berbeda. Tidak, dalam masa-masa seperti ini Ar merupakan sosok yang gagah di depan mata Aira. Sayangnya sudah sejak lama waktu memberi jarak dengan punggung tegap itu

әлем•älem•earthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang