Pelanggaran

7 1 0
                                    

Arena sangat ramai dengan bunyi gesekan senjata dan beberapa suara peluru yang ditembakkan terselip di antaranya. Penduduk bersorak-sorai mendukung favorit masing-masing.

Di tempat duduknya, Ar menatap naas ke semua penduduk kota maupun turis yang datang di bangku penonton. "Apa mereka buta?" Tanyanya dalam hati.

Pangeran itu hanya bisa melihat pertumpahan darah sebangsa di dalam arena. Apa yang menyenangkan dari itu semua?

Mengingat sang adik dan juga temannya dalam arena itu hanya bisa membuatnya menghela nafas pasrah. Ar hanya bisa mendoakan agar keduanya baik-baik saja.

"Hei, Nak!" Panggil seseorang di depannya.

Ar sedikit kaget. Orang di depannya berada sedikit di bawahnya, mendongak ke atas demi melihat Ar. Ar menarik tudung agar kepalanya semakin masuk ke dalam.

"Apa kamu tidak menikmati pertandingannya? Berkali-kali aku mendengar helaan nafasmu. Jujur aku juga tidak menyukai kekerasan, aku melihat acara ini sudah berlebihan. Tapi bukannya ini festival untuk Raja dan Ratu tercinta kita? Tidak ada salahnya untuk bersorak melihat pemenang yang pantas mendapatkan kehormatan." Ucapnya.

Ar tidak merespon dengan kata-kata. Dia hanya mengangguk. Orang tadi kembali menatap ke depan.

"Bagus Nona! Kejar dia! Kami mendukungmu!" Serunya.

Ar kembali menghela nafas. Tindakannya itu secara tidak langsung mengundang perhatian Rox, panglima kerajaan mereka.

"Nak?"

Hati Ar berdesir pelan. Jantungnya berdegup takut-takut. Tidak berani melihat ke belakang.

"Hei," Panggil Rox lembut. "Apa kamu sakit? Tidak perlu memaksakan diri untuk merayakan."

Ar menelan ludahnya. Ia tidak menoleh ke belakang, hanya mengangguk.

"Kamu baik-baik saja?" Tanya Rox memastikan. Ar kembali mengangguk.

Semakin lama Rox mengajaknya bicara, degupan jantung Ar semakin kuat. Sudah lama Rox tidak bicara dengannya.

"Ataukah ada alasan lain?" Tanya Rox ramah. Sepertinya dia ingin mengalihkan perhatiannya dari arena.

Meski diajak untuk mengobrol tatapan mata Ar masih tertuju pada Sera dan Erina. Mata birunya membulat dan sedikit membesar melihat Erina hampir tertusuk secara tidak sengaja oleh salah satu petarung. Begitu pula saat kepala Sera terhantam pukulan dari genggaman tangan yang besar dari lelaki berbadan bongsor.

Giginya menimbulkan bunyi gesekan saat melihat seseorang kehilangan nyawanya di arena. Telinga Rox yang sangat tajam mendengarnya. Rox tersenyum.

"Kamu pemuda yang baik."

Ar terbelalak. Kini dia menoleh ke belakang. Sayangnya matahari tidak dapat menyinari wajah tampannya membuat hampir semua bagian kepalanya tertutup bayangan.

"Akhirnya kamu memperhatikanku." Rox tertawa.

Di balik bayangan, wajah Ar bersemu tipis. Dia malu. Ar menunduk, masih menghadap belakang. Rox bisa melihat bibir Ar.

"Kamu tersenyum? Sudah kuduga kamu orang yang baik."

Orang yang duduk di sebelah Ar gusar. "Ada panglima Rox! Ada panglima Rox! Ayolah aku ingin minta tanda tangannya!" Jeritan hatinya keluar.

"Kalau panglima kita sudah menilainya begitu, berarti benar adanya." Sang Ratu menyahut. Dia tersenyum lembut.

Bibir Ar terbuka sedikit. "Ibu...?" Lirihnya pelan.

"Ibu?" Tanya Rox. Pendengarannya sungguh tajam.

Ar gelagapan. Buru-buru ia mengatakan, "Ibuku yang baik. Aku penuh dosa."

әлем•älem•earthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang