Etheranos

6 4 0
                                    

Kota Etheranos terlihat ramai walau sang surya belum menampakkan dirinya. Bangunan-bangunan menjulang tinggi seakan mencakar cakrawala. Letak bangunan-bangunan itu acak, cahaya dari lampu yang tersebar bersinar terang.

Pucuk bangunan paling tinggi berada di ujung kota, terlihat bendera kerajaan di pucuk bangunan tersebut. Bangunan tersebut sudah tampak mewah, modern, dan megah dari pucuknya saja. Sudah dipastikan bangunan terbesar dan tertinggi di Etheranos adalah istana. Sayang hanya pucuknya saja yang tertangkap oleh mata karena lokasinya yang terbilang cukup jauh.

"Itu istanamu?" Tanya Sera.

Kedua mata Ar langsung menyipit tajam. "Bukan milikku." Seolah pertanyaan Sera mengandung kata kepemilikan sehingga membuatnya kesal.

"Sebaiknya kita mencari hotel. Aku rasa kalian sangat lelah." Cetus Ryo mengamati bangunan-bangunan yang tinggi.

Saat ini mereka berada di tengah kota. Sebenarnya tadi mereka mendapat tumpangan umum, tapi karena mereka seperti hilang arah sehingga dengan cepat Ar memutuskan turun di taman tengah kota daripada menumpang di tumpangan umum dan hanya duduk menunggu tumpangan berhenti.

"Ar, ini kotamu. Setidaknya beri panduan kepada orang-orang asing ini!" Seru Zeff kesal.

Ar hanya menggaruk pelipisnya. Ia sendiri tidak tahu akan pergi ke mana. Terakhir kali ia menginjakkan kakinya di Etheranos yaitu pada saat dia pergi meninggalkan kota ini pula. "Aku tidak tahu, kota ini seperti berubah drastis." Ar tertawa canggung.

"Ah, kamu ini payah sekali!" Sindir Asra mengeluarkan ponselnya dan mencari hotel terdekat yang layak mereka tempati untuk beberapa hari ke depan. Sepertinya kalau di kota seperti ini tidak ada kata tempat yang tidak layak.

Tidak terima dikatakan payah, Ar mengeluarkan protesnya. "Hei! Salahkan siapa yang menyihir kota ini menjadi kota yang asing bagiku! Kemana perginya bangunan yang dulu? Aku harap restoran favoritku tidak tergusur bangunan-bangunan ini." Ar menggumam di akhir kalimatnya.

"Restoran?" Beo Erina.

"Kita ke sana saja dulu. Lagipula aku sudah lapar!" Usul Sera, lebih tepatnya disebut mendesak.

Ar langsung menampilkan ekspresi keberatan. "Tidak, tidak! Bagaimana kalau pemilik restorannya masih mengenalku?"

"Ayolah, aku juga sudah lapar!" Seru Zeff dengan air liur yang hampir menetes.

Sera tersenyum penuh kemenangan saat Zeff mendukungnya.

"Perhatikan liurmu itu! Menjijikan!" Ar memandang Zeff dengan jijik.

"Aku setuju! Kamu ingin kita tidak makan berhari-hari ke depannya?" Erina ikut memojokkan Ar.

Wajah Ar tampak benar-benar kesal meskipun samar, terhalang oleh tutupan tudung di kepalanya.

"Mengalah saja, Ar. Aku juga masih belum menemukan hotel yang tepat." Asra benar-benar membuat kepasrahan Ar menjadi akhir perdebatan mereka.

Ryo tertawa. "Hey, Ar! Pasti kamu juga ingin memakan makanan dari restoran itu, kan? Dasar tukang gengsi!" Tukasnya sarkastik.

"Baiklah, aku menyerah! Tapi jangan salahkan aku kalau kenyataannya restoran itu sudah ditendang bangunan mengesalkan ini!" Ar mendengus sedangkan teman-temannya hanya tertawa melihat kelakuan Ar.

Mereka berjalan mengekori Ar di jalan yang dikhususkan untuk pejalan kaki. Bahkan jalan yang ada sepertinya ikut bercampur dengan teknologi. Warna hitam neon digunakan sebagai alas kendaraan dengan cahaya berwarna hijau muda berchaya lembut sebagai pembatas jalan.

Kendaraan-kendaraan berada lima puluh milimeter di atas jalan canggih saling menyelip dan berlalu. Desisan dan dengungan kendaraan canggih melintasi mereka dengan membawa angin lembut tiap kali lewat.

"Memangnya saat itu tempat ini berbeda?" Tanya Sera dalam perjalanan.

"Tidak juga. Mereka masih banyak menerapkan prinsip teknologi yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Yang berbeda hanya letak bangunan, banyaknya bangunan yang sudah bertambah, dan revolusi model arsitekturnya." Jawab Ar mengamati sekitarnya.

Sera membentuk mulutnya menjadi bulat sebagai tanda mengerti akan penjelasan yang dilontarkan Ar.

"Apa masih jauh?" Tanya Zeff. Pemuda itu dapat merasakan perutnya mengamuk minta diisi.

"Sebentar lagi."

"Sungguh sebentar lagi? Dari tadi kamu hanya mengucapkan sebentar lagi?" Ryo meneliti pemuda di depannya yang berjalan memunggunginya.

"Jangan-jangan..."

Asra memotong asumsi yang akan diucapkan Ryo. "Kamu...tidak, kita tersesat, ya?" Matanya menyipit kala Ar berhenti. Otomatis mereka ikut berhenti.

Ar membalikkan badannya. Tangan kanan pemuda itu terulur untuk menggaruk tengkuknya di balik tudung jubahnya. Ia terkekeh kecil.

Sera, Erina, Zeff, Asra, dan Ryo serempak memandang masam pangeran plin-plan itu. Mereka saling bertatapan kemudian menghela napas bersamaan sambil menepuk jidat masing-masing.

"Ahaha..." Ar masih nyengir polos melihat teman-temannya.

Begitulah turis asing kita yang datang ke kota orang. Seandainya kalian tahu bagaimana rasanya tersesat--ralat, disesatkan.

•°•°•°•

Setelah olahraga pagi, matahari mulai memunculkan seluruh tubuhnya di ufuk timur. Untungnya usaha membuahkan hasil. Dengan ingatan seadanya, Ar menuntun mereka hingga sampai di tujuan. Sekali-kali mereka kembali ke jalan yang sama dan berputar lagi karena salah jalan.

Beruntung restoran itu masih ada, tidak digusur, bahkan lebih mewah dibanding ingatan lalu. Ar dapat menemukan restoran itu hanya dengan mengandalkan namanya saja.

"Dulu kamu makan di sini?" Erina membuka mulutnya lebar. Restoran di depannya sangat mewah, berbeda dari cerita Ar saat di perjalanan tadi.

Ar tadi bercerita dulu restoran itu hanya sebuah bangunan kecil di antara bangunan lainnya. Meski demikian, restoran tersebut sangat laris. Karena reputasi Ar, rakyat semakin mengenal tempat langganan favorit sang pangeran. Pemilik restoran adalah sepasang suami istri, mereka sangat dekat dengan Ar. Ar sudah menganggap pemilik restoran itu sebagai paman dan bibi kandungnya.

"Kamu yakin ini tempatnya?" Tanya Ryo. Bukan berarti mereka tidak memiliki uang untuk makan di restoran mewah. Tapi dia ragu dengan restoran tersebut karena tidak sesuai yang diceritakan Ar.

"Kamu meragukanku, ya? Ini tempatnya! Aku hafal sekali, di pojok tulisan nama restorannya pasti ada gambar kepala sapi yang menjulurkan lidahnya." Ujar Ar sedikit kesal.

"Lah, ambigu."

"Baiklah, kami percaya. Kita masuk saja." Komentar Asra dengan intonasi datar mendahului mereka masuk ke dalam restoran.

•••

әлем•älem•earthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang