An Ask

40 6 0
                                    

Ombak di tepi pantai mengelus secara perlahan sampai di mata kaki. Rambut khas miliknya terbelai lembut mengikuti semilir angin, bergerak sesuai arah perginya angin.

Ar, pemuda itu menjejalkan kakinya semakin dalam ke arah lautan luas. Tanpa segan mendudukkan dirinya di atas pasir dan tidak peduli celananya kotor dan basah. Ia menampung air sebanyak yang bisa ditampung dalam tangan kanannya. Ia mendesah pelan saat tanpa sengaja membekukan air laut menjadi padat.

Mata tajamnya memandang sinar jingga kemerahan yang dipantulkan air laut. Ar mendecih kemudian menggunakan sarung tangan hitam yang tidak menutupi ujung tiap jarinya. "Menyebalkan."

Malas berlama-lama, Ar memutuskan pergi tanpa memedulikan celana kotor dan basah yang digunakannya saat ini.

Dalam perjalanan, ditatap, dihina walau hanya dengan bisikan namun, dia tetap mengetahuinya. Sampai ia menabrak pohon dan membuat pohon tersebut seperti kekurangan semangatnya. Layu, dedaunan mulai mengering lalu perlahan mencium tanah. Batang-batangnya hampir saja keropos dan bernasib sama dengan daun-daunnya jika tidak segera Ar menjauhi pohon itu.

Lagi-lagi ia mendecih. "Seharusnya aku mengabaikan perasaanku!" Ia menggeram sendiri dalam pikirannya tanpa mau membaginya pada siapa pun.

•°•°•°•

"Pemuda tadi namanya Ar, bukan?" Sera memain-mainkan benda bulat bening satu kali lebih kecil dari ukuran genggaman tangan orang dewasa.

"Kenapa kau menanyakan itu?" Erina balik bertanya.

Sera memutar badannya yang tadi menghadap tembok. "Tidak. Hanya ada yang aneh saja dengan dirinya. Bukannya kau bisa merasakannya?"

Erina berpikir kemudian mengangkat bahu. "Tidak tahu, deh. Semua orang di sekolah ini memiliki aura yang aneh. Tapi, mungkin sikap pria itu yang aneh, Ra."

"Di mataku semua pria itu aneh." Datar Sera. Erina meringis mendengarnya.

"Sudahlah! Buat apa aku membahas dia? Ini sudah malam sebaiknya aku keluar." Ucap Sera beranjak dari kasurnya.

Erina menolehkan kepalanya. "Memangnya mau kemana? Ini sudah malam dan jam makan malam juga sudah lewat."

"Apa salahnya, kan? Tidak ada larangan keluar dorm di malam hari. Yang penting tidak melewati tembok maupun gerbang yang membingkai sekolah ini." Sera bersiap-siap dengan jaket dan sepatunya. "Saat makan malam dia tidak ada, ya?" Kalimat dengan suara pelan terlontar dari bibirnya namun tidak bisa mencapai pendengaran Erina.

"Kenapa, Ra?"

Sera menggeleng pelan. "Tidak ada. Hanya ada yang ingin aku tanyakan pada pemuda itu."

"Eh?" Kemudian pintu tertutup tanpa menyisakan suara dengan Erina yang terbengong-bengong di dalamnya.

•°•°•°•

Sera menapaki beton-beton yang sudah disusun rapi membentuk jalan dengan lebar tiga meter. Jalanan yang dikhususkan untuk pejalan kaki lengang karena sudah malam dan todak banyak yang ingin menghabiskan malamnya di luar ruangan yang dingin.

Sera menikmati perjalanannya dan melupakan tujuan awalnya untuk mencari Ar. Seperti bisa mengeluarkan cahayanya sendiri, beton-beton menerangi tiap jalannya tanpa menyilaukan mata. Sera sangat yakin, penyusunan beton juga ditambahkan fosfor. Ditambah teknologi di zamannya sudah sangat maju sehingga pencahayaan tidak remang dan sedap dilihat mata.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Suara berat mengagetkan Sera.

Sera mengenal suara itu, suara menyebalkan dan sangat mengganggunya. Pemuda yang dicarinya--tidak, pemuda itu menemukannya. "Hanya jalan-jalan. Ah, tidak, tadinya aku ingin mencarimu."

әлем•älem•earthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang