Entah sudah berapa lama Tasa tidak bertemu dengan Jeno, yang pasti, ia tak peduli.
Minggu ini, Tasa ingin menikmati home alonenya karena Taeyong pergi sendiri ke rumah orang tuanya, Tasa tidak bisa ikut karena tugas-tugas lama yang belum ia kerjakan harus ia selesaikan paling lambat besok lusa.
Tapi hari ini ia memilih santai dan menyelesaikan semuanya kemarin, benar-benar satu hari setelah ujian akhir selesai.
Baru saja Tasa ingin menidurkan badannya di atas sofa, tiba-tiba pintu rumahnya diketuk seseorang.
"Siapa?" Tanyanya dan langsung membuka pintu tanpa pikir panjang.
"Tasa" ucap seseorang yang sedari tadi dibalik pintu dengan lirih.
BRAKK
Tasa langsung membanting pintu rumahnya, tak mengizinkan seseorang itu masuk atau bahkan melihatnya sekalipun.
"Tasa.. tolong gua" lagi lagi ucapannya terdengar lirih.
Tasa memutar bola matanya jengah,
Mau dia apalagi? Batin Tasa.Baru saja ia membuka pintunya sedikit, tiba-tiba sang tamu terjatuh lemas, tapi masih sadarkan diri.
"Lu kenapa Jen??" Jengahnya seketika berubah menjadi kekhawatiran.
Ia pun membopong Jeno menuju sofa ruang tamu, membantunya agar bisa berposisi tidur, dan juga mengambilkan bantal.
"Lu sakit?" Tanya Tasa melihat Jeno yang pucat.
"Darah rendah? Gua ada obat darah rendah di kotak p3k, mau gua ambilin?" Tawarnya.
"Gak usah, gua gak papa" tolak Jeno.
"Gak papa gimana?! Gua ambil teh manis anget ya" Tasa langsung bergegas pergi menuju dapur.
Tasa kini amat benci dengan Jeno.
Tapi sejujurnya rasa pedulinya tak akan bisa hilang sepenuhnya, hatinya pasti akan tergerak jika sesuatu yang buruk menimpa Jeno. Walau rasa pedulinya tak akan sama dengan rasa pedulinya yang dulu.
Jeno kini merasa tak tau diri. Ia seakan-akan pergi dan datang sesukanya. Apalagi jika berimbas kepada hubungannya dengan Tasa. Ia tak mau kembali seperti dulu, walau di sisi lain ia belum juga mematikan rasa cintanya kepada Tasa.
Apalagi sekarang penyakitnya sudah tak dapat lagi tertolong. Bahasa kasarnya, ia hanya menunggu waktu.
Tapi kepedulian Tasa menyadarkannya bahwa air mata Tasa tetap akan tumpah di hari dimana Jeno pergi nanti.Ia ingin Tasa membencinya sepenuh hati, tapi disisi lain ia juga ingin menunjukkan bahwa ia mencintai Tasa juga dengan sepenuh hati.
"Ini diminum dulu" Tasa menyodorkan teh hangat kepada Jeno seraya sedikit membantunya duduk.
"Tolong telepon bang Jaehyun" ucapnya sambil menerima segelas teh dari Tasa.
"Iya" jawabnya dan bergegas menelpon lewat telpon rumah.
Kini saat yang tepat untuk mengungkapkan semuanya.
Tasa kembali setelah menelpon Jaehyun, ia duduk di pinggiran sofa sambil mengecek suhu Jeno menggunakan punggung tangannya.
"Kak Jaehyun masih ada urusan tapi katanya dia bakal kesini. Katanya lu lupa minum obat ya?"
"Iya, tadi gua mau ke apotik. Tapi pas pulang gua udah gak kuat apalagi dirumah gak ada orang, jadinya gua mampir" jelasnya.
"Lain kali diminum obatnya, nyakitin orang juga butuh tenaga, ya kan?" Sindir Tasa, sementara Jeno hanya tersenyum kecil dan menaruh tehnya di atas meja.
"Yaudah, gua ke dalem ya" pamit Tasa, tapi ditahan oleh Jeno.
"T-tunggu" ia menarik Tasa dan membuatnya terduduk kembali.
"Kenapa?" Tanya Tasa bingung.
"Sa.." Jeno memegang tangan Tasa.
"Jen? Ini apa maksudnya?" Tanya Tasa lagi.
Jeno hanya bisa menatap Tasa. Kata-kata yang sedari dulu ingin ia ucapkan, tak kunjung terucap. Ia juga memikirkan segala sebab-akibat karena ucapan atau perbuatannya ini.
"Jen?" Panggil Tasa yang makin bingung dengan kondisi ini.
Tatapan Jeno semakin serius, wajahnya semakin dekat. Hingga akhirnya bibir Jeno menyentuh bibir Tasa, hanya sebuah kecupan sesaat, tapi sukses membuat Tasa berani melukai si laki-laki yang sedari tadi ia rawat.
PLAKK
Sebuah tamparan, sukses membuat Jeno tersenyum. Ini yang ia mau.
"Gila! Gua gak nyangka lu setega ini! Maksud lu apa?!" Tanya Tasa sambil memegang bibirnya yang kini sudah 'ternodai'.
"Gua masih SMA dan gua udah punya Renjun, Jen!!" Air matanya semakin lama semakin deras. Baginya, Jeno sudah kehilangan akal sehat. Ia pun langsung bergegas pergi ke kamarnya, dan menangis tersedu-sedu di atas kasur.
Jeno tersenyum, tapi matanya membendung. Ada rasa puas karena telah mengungkapkan rasa cintanya —walau dengan cara yang salah. Ada pula rasa puas karena kini Tasa membenci dirinya.
Tapi, ia sedih karena telah melukai hati seorang perempuan yang selama ini telah membuat dirinya bahagia, yang selama ini hatinya telah ia coba untuk jaga.
Tetap saja, baginya ini yang terbaik.
Ia tak perlu lagi cemas akan dunianya, teman-temannya, ataupun keluarganya. Tak perlu ada air mata yang tumpah di hari nanti.
Iya, dia memang egois.
Tbc