3

2.8K 165 3
                                    

Tap.

Tap.

Tap.

Suara langkah sepatu kets paduan warna pink-putih itu berhasil memudarkan lamunan Langit. Disusul suara pintu cafe MATOS yang berderit mau tak mau membuat Langit mendongakkan kepalanya yang sedari tadi tertunduk. Perlahan namun pasti, pemilik langkah sepatu kets itu kian mendekat dan kini persis berada di depan Langit.

“Hai, kau pasti Langit, maaf aku sudah telat lima menit dari waktu yang dijanjikan”, sambil mengangkat lengan kirinya yang mungil, Silfin memperhatikan jam tangan kecil berwarna putih metalik yang melingkar di pergelangan tangannya,

“Kenalkan, namaku Silfin, mahasiswi semester pertama di kampus ini, senang bisa mengenalmu.” Kini silfin berganti mengulurkan tangan kanannya sebagai bentuk perkenalan sambil tersenyum.

Rambut keriting sebahu, mata sedikit sipit, tubuh putih mungil dengan senyum yang super manis, di salah satu telinganya terselip headset berwarna putih.

Kaos berwarna pink dengan lengan pendek yang dilipat dua kali dan sengaja dimasukkan ke dalam rok lipit putih bergesper setinggi lutut. Tas punggung motif bunga-bunga sakura campuran biru laut dan pink membuat tampilannya hari ini semakin sempurna.

Pantas saja, sedari tadi Silfin melangkah, ada saja sepasang mata memperhatikannya. Tak pelak, itu juga yang kini dirasakan Langit. Cantik. Satu kata dalam hatinya yang mewakili semuanya.

“Halo…kenalkan namaku Silfin”, ucapnya sekali lagi.

Langit masih diam saja, entah apa yang ada di pikirannya saat ini.

Kalau diperhatikan, ini mirip dengan adegan di film Manga JepangShigatsu wa Kimi no Uso, adegan pertama saat Kousei Arima bertatap muka dengan Kaori.

Hanya hembusan angin musim semi dan suara cericit burung yang kian merdu di telinga yang dirasakan Kousei waktu itu. Mungkin ini juga yang dirasakan langit, entahlah, bisa iya, bisa juga tidak.

“Langit, hai..halo…kau bisa mendengarku bukan?” kali ini Silfin menaruh telapak tangan kanannya hanya beberapa inci dari wajah Langit lalu menggerak-gerakkannya.

“I..iya…aku bisa mendengarmu kok.” Langit membenarkan posisi duduknya.

“Oh syukurlah, kukira kamu agak…” Silfin tak melanjutkan perkataannya, lalu memutuskan untuk duduk.

 “Jadi, to the point saja. Mari kita mulai dengan pertanyaan, kenapa kamu mau jadi pacarku padahal kamu belum mengenalku sama sekali bukan?” gaya Langit kali ini persis seperti pak polisi yang sedang menginterogasi .

“Mmmm, karena aku suka.” Silfin menjawabnya singkat.

“Kenapa bisa suka?” Tanya Langit lagi.

“Haruskah rasa suka memiliki alasan?” Kali ini Silfin terlihat seperti orang yang sedang menawar harga.

“Haruslah!” Langit lebih ketus lagi.

“Oke…mmmm…alasannya adalah karena namaku Silfin, nama Silfin yang berasal dari kata Silfi artinya adalah kayu atau hutan. Tahukah kau kalau segundul apa pun hutan, ia masih tetap bisa menumbuh lagi selama masih ada hujan?”

“Iya aku tahu itu, lalu apa hubungannya dengan perasaanmu, nona?”

“Makanya dengarkan dulu, jangan memotong di tengah, aku kan belum selesai bicara,” Silfin kembali melanjutkan,

“Hujan itu hanya bisa datang dari Langit. Itu sebabnya Silfin harus bersatu dengan Langit, hehe.”

“Uhuk..uhuk…uhuk…uhukk..”
Langit hampir tak kuasa menahan tawanya sendiri, namun syukurlah karena ia segera bisa menutupinya dengan kedua tangannya. Gadis yang lucu. Pikirnya. Tapi, perasaan aneh itu sepersekian detik membuat alter ego Langit kembali bertemu Endah. Endah yang juga tak kalah cantik, tak kalah menarik dan tak kalah genitnya namun bisa membuatnya sangat trauma.

Pria Bernama Langit Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang