Lelaki bertubuh tinggi tegap itu, menggulung kemeja lengan panjangnya sampai siku. Dialah Dirga Mahardika, lelaki tampan mirip keturunan Cina. Beralis tebal, hidung bangir, bibir berwarna merah bata, dan jangan lupakan kedua matanya yang sipit, tapi akan tajam saat memandang.
Dirga menghela napas panjang dan menatap ke belakang melalui kaca spion. Perjalanan ke desa yang akan dituju ternyata memakan waktu sekitar enam jam lebih, lumayan jauh. Keluarga kecil di belakangnya tampak bahagia ketika sedang bercengkerama. Sesekali, mereka mengambil gambar jika ada pemandangan indah dengan kamera digitalnya. Sedangkan dia sendiri, seperti sopir baru yang terus dipandu oleh Yunita-Kakak perempuannya. "Kita belok apa lurus, Mbak?"
"Belok kiri di belokan kedua." Perempuan bertubuh sintal dengan warna kulit putih itu, meneguk air minum dalam kemasan botol. Netra sipitnya meneliti setiap bangunan yang dilewati. Bertahun-tahun tak berkunjung ke rumah temannya, semuanya sudah berbeda. Namun, meski sudah lama tak berkunjung, dia masih ingat jalanan di sekitar yang sedang dilalui.
Rasa kesal Dirga sedari Jakarta, kini mulai mereda saat melihat hamparan padi yang menguning. Daunnya meliuk-liuk tertiup angin. Berbagai macam burung mengepak-ngepakkan sayapnya di udara diikuti suara merdu yang bersiul memuji Sang Pencipta, mengagumi indahnya alam semesta. Beberapa petani sedang berjalan kaki menuju sawah masing-masing.
Pemandangan indah dan udara sejuk seperti ini, jarang sekali Dirga dapatkan. Ketika libur semester dulu, dia memang pernah beberapa kali memijakkan kaki di beberapa gunung. Mengingat semua itu, membuat bayangan seseorang kembali terbayang.
Shit!
Dirga memukul setir karena kesal. Gara-gara melamunkan masa lalu, mobil keluaran terbarunya malah meluncur di jalanan berlubang. Belum lagi cipratan air hujan sisa semalam yang masih menggenang, mengotori mobilnya. Akhirnya mobil melaju sedikit pelan dikarenakan takut terpental kerikil tajam.
"Kenapa, Ga? Udah gak sabar, ya?" Lelaki berpostur tinggi besar bernama Bayu itu-suami Yunita-berniat menggodanya. Alis tebalnya sengaja dinaik-turunkan.
Bukannya menjawab, Dirga malah mengerlingkan mata. Apa pun yang diucapnya, selalu disangkutpautkan dengan pernikahan. Menyebalkan, bukan?
Bayu menyunggingkan senyum karena dia menyukai ekspresi Dirga saat digoda, terlihat masam. Merasa tak mendapatkan respons, lelaki berdarah Jawa itu, kembali fokus menatap layar tipis di pangkuan. Menyelesaikan pekerjaan kantor yang sempat tertunda sambil membetulkan letak kacamata baca.
"Astagfirullah ...." Yunita menepuk dahi.
"Kenapa?" tanya Bayu.
"Aku lupa alamat lengkap Astri. Terus kemarin gak nanyain lagi. Aku telepon bentar, ya." Perempuan berwajah cantik itu, meraih ponselnya di dalam tas. Ia menggigit bibir berlapiskan lipstik merah terang untuk mengurangi rasa panik. Namun, yang menjawab panggilan bukanlah Astri, melainkan operator yang mengatakan bahwa nomor tersebut sedang tidak aktif.
Dirga kembali fokus pada kemudi. Tak mau mendengar dan melihat keresahan Yunita. Seluas-luasnya kampung, tak mungkin mengalahkan luasnya Ibu Kota. Jadi kesimpulannya adalah, mereka tinggal menanyakan rumah perempuan bernama Astri itu di mana. Mudah bukan?
Setelah melewati turunan dan jembatan, mobil hitam itu menepi ke kiri. Dia mengajak Yunita turun untuk menanyakan alamat pada si penjaga warung. Setelah membeli beberapa bungkus rokok, Dirga pun menanyakan alamat Astri.
"Si Teteh sama si Aa lurus aja. Nanti ada pertigaan, ambil kanan. Nah, ada pertigaan lagi, belok kiri yang ada turunan. Gak jauh dari sana ... eh, gini aja. Saya kasih patokan, pokoknya berhenti di dekat rumah tingkat warna ijo."
Penjaga warung menjelaskan sambil menunjuk ke jalan. Dirga mengangguk. Keduanya langsung pamit untuk melanjutkan perjalanan setelah mengucapkan terima kasih.
Sesampainya di sana, Dirga turun lebih dulu. Ia akan berjalan ke rumah yang ukurannya mewah untuk di perdesaan. Cat rumah warna hijau sesuai petunjuk, halaman luas, terparkir satu buah mobil Agya warna merah di garasi. Namun, Yunita malah mencekal pergelangan tangan besarnya.
"Rumahnya yang itu!" Tunjuk Yunita pada rumah kecil yang hampir keseluruhannya terbuat dari bambu dan papan. Halaman bersih dari sampah, pun dedaunan. Beberapa pot bunga berjejer rapi di sana. Mulai dari bunga mawar, asoka, melati, sampai tanaman herbal pun ada.
"Ayo, Ga!" ajak Bayu sambil menepuk pundaknya. Menuntun anak gadis berusia delapan tahun yang baru saja terbangun dari tidur. Dirga menghentikan langkah. Sepatu mahal yang tadi ringan saat melangkah kini, malah terasa berat. Namun, akhirnya ia mengangguk. Mengekor di belakang tubuh sepasang suami-istri itu.
Tuan rumah menyambut tamunya dengan kedua tangan terbuka. Berbagai macam jamuan telah dihidangkan. Hamparan karpet berbulu yang warnanya sudah memudar sedang diduduki. Dirga sendiri malah mengamati ruang tamu dengan mata menyipit. Meski bersih dan rapi, tapi bangunan ini tidak pantas disebut rumah. Jika disebut gubuk, mungkin barulah pantas.
"Yun, aku panggil Arsya dulu, ya?" Perempuan berkulit sawo matang itu tersenyum hangat pada Yunita. Terlihat sekali pancaran kebahagiaan dari sorot matanya. Dia adalah Astri, salah satu perempuan yang merawat Arsya sedari kecil.
Yunita mengangguk. Lalu menatap punggung besar teman kecilnya yang mulai menjauh. Mereka pun langsung terlibat obrolan ringan dengan lelaki bertubuh jangkung yang tak lain adalah suami Astri. Sedangkan Dirga, dia seperti tak ada minat bergabung untuk sekadar mengobrol. Bahan yang dibicarakan hanya masalah pekerjaan di sawah.
Jamuan di depan pun tak ada yang menarik. Tape ketan dibungkus daun jambu air, rengginang terasi, opak singkong, lontong isi oncom, gorengan bakwan, ah ... benar-benar makanan kampung!
Pikirannya jadi menerawang jauh. Seperti apakah gadis yang akan dinikahinya nanti? Apakah seorang perawan tua? Gadis desa buruk rupa? Janda anak lima? Atau ... tak jauh beda dengan penampilan dan wajah Astri? Ya Tuhan, membayangkannya saja jadi gerah sendiri. Dia meminta izin ke kamar mandi. Padahal, itu hanya alasan semata. Mungkin dengan merokok, segala kepenatan dalam dirinya akan berkurang.
"Om, ikut!"
Dirga memejamkan kedua mata saat mendengar suara cempreng Anty. Langkahnya terhenti. Rokok yang tadi sempat dikeluarkan kini, dimasukkannya kembali. "Ngapain? Om mau merokok. Jangan deket-deket!"
Anty mengerucutkan bibir mungilnya. Namun, itu hanya berlaku untuk sesaat karena sekarang, dia kembali tersenyum. Anty melangkah mendekati Dirga sambil berkata, "Om, 'kan mau pipis. Anty juga, tapi nanti tungguin, ya!"
Dirga mengembuskan napas berat. Dia menyugar rambutnya sedikit asal karena merasa gagal merokok. Akhirnya Dirga hanya bisa mengangguk lemah, buang air kecil tak akan lama, 'kan?
"Om, takut," lirih Anty. Mata bulatnya mengedar ke segara arah.
Dirga mengedarkan pandangan. Di belakang rumah yang ditunjukkan Deden, tak terdapat kamar mandi sama sekali. Hanya terdapat sebuah bilik kecil di dekat pohon mangga. Pintunya pun hanya dihalangi tirai berwarna merah marun. Tak kuat lagi, anak gadis berpipi tembam itu menarik pakaian Dirga karena sudah tak bisa menahan pipis.
"Kayaknya itu kamar mandinya, Ty. Sana gih!" Dirga mendorong pelan punggung Anty. Namun, yang didorong bukannya berjalan ke sana, tapi dia malah mundur selangkah dan memilih berdiri di belakang tubuh tegap Omnya.
Merasa gemas, Dirga pun berkata, "Om yang cek. Kamu tunggu di sini."
Dirga melangkahkan kaki dengan lebar ke bilik itu. Sesampainya di sana, tirai penutup pintu langsung disingkap. Kedua matanya terbuka lebar. Terkejut karena melihat seorang perempuan sedang melilitkan handuk pada tubuh polosnya disertai suara teriakan nyaring.
Merasa sudah tertangkap basah, Dirga segera beranjak pergi sambil menarik tangan mungil Anty ke ruang tamu.
***
Gais, aku revisi. Wkwkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
Not a Contract Marriage
Romance"Sya, ada satu pertanyaan yang harus kamu jawab sebelum pergi." Dirga berkata sambil mengambil ponselnya. "Harus?" "Ya!" Dirga mengusap layar ponselnya. "Kamu mau nikah sama aku dengan alasan apa? Apa karena terpaksa, uang, atau-" "Aku bersedia ni...