NCM 16 || Akhir dari Sebuah Kisah

2.2K 220 85
                                    

Arsya sudah selesai berkemas. Ia hanya membawa beberapa pakaian yang dulu pernah dibawa dari kampung. Meskipun Yunita bersikeras memaksa agar semua barang yang pernah dimilikinya dibawa pulang, Arsya tetap tak mau.

Bukan tanpa sebab Arsya menolak semua itu. Jika melihatnya nanti, ia pasti akan teringat Dirga. Mantan suami yang diam-diam berhasil menawan hati. Semua yang bertentangan dengan Dirga, akan membuat Arsya sulit move on.

Arsya diam termangu. Pandangannya tertuju lurus pada lantai. Seharusnya, sewaktu akad malam itu, ia meminta Dirga mengucap kalimat ‘qobiltu nikahaha wa latazwijaha’, bukan ‘qobiltu nikahaha wa tazwijaha bi mahrin madzkur wa roditu bihi’. Supaya hati Arsya tak perlu terluka saat sadar bahwa ia tak bisa menarik perhatian Dirga. Pun tak hancur karena putusnya ikatan tali pernikahan yang baru seumur jagung dibina.

Tanpa sengaja, matanya menangkap pada satu barang yang masih terpajang di meja kecil dekat ranjang queen size-nya. Sebingkai foto berukuran 3×4 yang diberikan Yunita tanpa sepengetahuan Dirga. Menampilkan gambar sepasang pengantin baru yang sedang tersenyum memperlihatkan dua buah buku kecil berwarna hijau dan merah.

Melihat foto itu, tubuh Arsya terkuai lemas seketika. Kedua matanya yang sembap kembali memanas. Tanpa dapat ditahan, bulir bening itu menerobos keluar dari sudut matanya. Arsya ingin berteriak saat itu juga. Mengatakan kepada seluruh dunia bahwa ia tak ingin berpisah dari Dirga. Cinta di hatinya sudah tumbuh sejak lama. Kemudian, ia merasa tak akan sanggup mengubur semua kenangan singkat nun manis yang pernah mereka ciptakan.

Tak tahan melihat Arsya yang bersikap seolah sedang dalam keadaan baik-baik saja—terus tersenyum, padahal kedua matanya sembab dan sekarang kembali menangis—Yunita beranjak bangun dari duduknya. Meninggalkan Astri yang sedang menemani keponakan angkatnya.

“Dirga!”

Sekali, dua kali, tiga kali, hingga berkali-kali lamanya Yunita mengetuk pintu kamar Dirga, tapi tak kunjung mendapatkan jawaban. Merasa kesal sendiri, ia kembali ke kamar Arsya. Hampir saja akan bersimpuh jika Astri tak sigap menahan.

“Sya, Mbak mohon ... pertahankan rumah tangga kalian.”

Astri segera membuang pandangan. Suasana di kamar yang selama ini ditempati Arsya terasa mengharu-biru. Sakit dan segala rasa yang dipendam Arsya, seolah bisa dirasakan kedua wanita dewasa di dekatnya.

Sejujurnya, Arsya juga ingin tetap tinggal. Namun, kehadirannya seolah tak berarti apa-apa jika bukan Dirga yang memintanya. Lelaki yang Arsya pikir sudah dewasa itu, tak mengucap sepatah kata pun semenjak pertemuannya di kediaman Fella kemarin

Ah, Arsya baru mengingat sesuatu. Dirga pernah mengucap kata ‘terima kasih’ saat beberapa menit lagi akan sampai rumah. Tentu saja Arsya hanya menjawabnya dengan anggukan dan senyuman. Semua kata yang susah payah ingin ia ucap, seperti kembali tertelan di tenggorokan.

Arsya mengartikan terima kasih Dirga dengan berbagai macam arti:
Terima kasih karena sudah mau lepas.
Terima kasih karena mau memahami.
Terima kasih karena mengabulkan apa yang ia inginkan.
Terima kasih yang lainnya pun masih banyak. Rasanya, Arsya tak sanggup mengucapnya.

Arsya mengerjapkan mata. Tidak. Ia tak boleh menangis lagi. Ada hati yang sudah lama dan rela menderita. Fella. Ia mungkin lebih pantas mendampingi mantan suami yang sekarang entah di mana.

Arsya bertekad bahwa ia harus menunjukkan kalau hatinya sekuat baja. Tak akan malu meskipun menyandang status janda. Namun nyatanya, air mata luruh. Tak kuat menahan sakit yang sedang mengoyak rongga dadanya.

“Sayang, Arsya tau, kan, kalau Allah tak suka sama pasangan yang berpisah? Allah benci perpisahan.” Yunita mencoba bernegosiasi. Barangkali, perempuan berhijab peach itu mau tetap tinggal. Mempertahankan rumah tangganya bersama sang adik. “Maka dari itu, kembali sama adik Mbak, ya, Sayang.”

Arsya ingin sekali mengangguk. Namun, jika itu dilakukan, Arsya seperti sudah siap dengan segala konsekuensi pernikahannya nanti. Misalkan, Dirga tak kunjung mencintainya atau bahkan, tak bisa menerima kehadirannya.

“Mbak, mungkin Allah udah gak ngebolehin aku sama Mas Dirga bersama. Talak udah terucap.” Arsya berkata dengan lancar. Ia ingin memberitahu kepada dunia bahwa ia bisa tegar. Tak lupa seulas senyum pun terpancar. Senyum yang begitu menyayat saat dilihat.

Yunita menggenggam tangan Arsya. Kemudian, meremasnya. Seperti sedang memberi kekuatan agar bisa melihat senyum yang terpancar tulus penuh kebahagiaan di wajahnya lagi.

“Gak papa. Kalian bisa rujuk. Kan, Dirga baru satu kali mengucap talak.”

Secepat kilat, Arsya menggeleng. Membuat Astri yang sedari tadi terdiam mengamati, mengerutkan dahi. Pun dengan Yunita.

“Harus ada pernikahan kedua lagi, Mbak.”

Satu kalimat yang dijelaskan Arsya, bagai sebuah pecut yang menyambuk tubuh Astri hingga berkali-kali. Sakit, perih, lalu hancur karena tak menyangka bahwa pernikahan Arsya akan semenderita ini. Ia sekarang paham dengan berbagai masalah yang menimpa keponakan angkatnya.

Yunita menggenggam tangan Arsya lebih erat. “Sayang, setahu Mbak, talak satu dan dua bisa kembali rujuk tanpa mengadakan akad lagi. Tanpa terkecuali kalau sudah jatuh talak ketiga. Misal, kamu harus menikah dulu dengan orang lain. Lalu jika Allah menakdirkan kalian kembali bercerai, kamu boleh menikah lagi dengan Dirga.”

“Maksud Arsya bukan itu, Ta.” Kini, Astri yang angkat bicara karena sedari tadi, Arsya hanya menundukkan kepala. “Mungkin Arsya belum pernah digauli Dirga. Dalam surat Al-Ahzãb ayat 49 Allah sudah menerangkannya dengan jelas: ‘Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan mukmin, kemudian kamu ceraikan sebelum kamu mencampurinya maka tidak ada masa iddah atas mereka yang perlu kamu perhitungkan. Namun berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.’ kira-kira, isi ayatnya seperti itu.”

Yunita tercengang. Kedua kelopak matanya ditekan kuat sebab baru mengerti ke mana arah pembicaraan Yunita dan Arsya. “Jadi, kamu belum pernah disentuh Dirga?”

Arsya masih terisak. Ia belum sanggup bersuara. Kedua bahu ringkihnya kini terguncang akibat tangan Yunita yang tak sabar menunggu jawaban. Akhirnya, ia hanya mampu menganggukkan kepala.

Ketiga perempuan itu pun menangis tersedu. Ada sesal yang menyeruak di hati Yunita karena sudah berani melamar Arsya untuk Dirga. Seketika, rasa bersalah menjalar di relung hatinya, berkali-kali lipat.

Ada yang masih nungguin Arsya?

Not a Contract MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang