Kedatangan bos besar dan seorang gadis cantik menjadi sorotan semua orang yang berada di kantor. Mereka berbisik, saling bertanya mengenai siapa gadis yang dibawa bosnya barusan. Biasanya, yang datang ke kantor itu gadis-gadis seksi dan terlihat seumuran dengan Dirga. Namun, kali ini berbeda. Perempuan berbalut gamis longgar, hijab panjang dan lebar membungkus tubuh mungilnya. Gadis belia yang dimaksud semua orang di sana adalah Arsya.
Arsya tak berani menatap wajah orang-orang yang menyapa mereka penuh hormat. Di hanya menunduk. Sesekali melirik sambil tersenyum. Dia lebih memilih menatap dasi motif salur yang dipakai suaminya, lalu mengeratkan pegangan tangan pada leher Dirga.
Semua ini gara-gara Dirga. Andai saja lelaki itu tak langsung menggendongnya ke dalam mobil, mungkin dia tak akan semalu ini. Baru kali ini Arsya keluar rumah tanpa membawa alas kaki. Benar-benar memalukan bukan? Belum lagi tadi sewaktu akan turun dari mobil, kaki, pinggul, punggung, bahkan hampir seluruh tubuhnya masih terasa sakit. Alhasil, dia kembali digendong secara paksa.
"Selamat pagi, Pak?" sapa sekretaris Dirga seraya menunduk hormat.
Dirga hanya menoleh, lalu mengangguk. "Irenne, tolong bukakan pintu!" titahnya pada sekretaris yang bernama Irenne.
"Baik, Pak." Irenne langsung membukakan pintunya. Dirinya juga tak kalah penasaran dengan gadis yang berada di dalam gendongan Dirga. Setelah meminta Irenne untuk menutup pintu, dia mendudukan Arsya di sofa.
Arsya mengedarkan pandangan. Suasana di ruangan Dirga jauh dari kata cantik. Semua barang yang ada di ruangan Dirga berwarna hitam putih, tanpa terkecuali barang yang ada di meja kerjanya. Dia menggelengkan kepala. 'Benar-benar warna duka,' pikir Arsya.
"Mau sampai kapan kamu berdiri di sana, Irenne?"
Arsya menoleh. Di ambang pintu sana, gadis berparas cantik yang sedang tersenyum dengan mata menerawang, masih berdiri. Dia langsung melihat ke arah Dirga dan Arsya secara bergantian.
"Eh, i-iya ... ma-maf, Pak, Bu. Bukan maksud saya—"
Dirga mengangkat sebelah tangannya. Seolah melarang Irrene untuk melanjutkan ucapannya.
"Siapkan semuanya. Bukannya sepuluh menit lagi meeting akan berlangsung?"
Irenne langsung gelagapan. Kenapa dia bisa melupakan senuanya? Oh Tuhan ... selamatkan dia dari amukan Dirga. Irenne langsung pamit dan kembali keluar.
Fokusnya buyar gara-gara melihat sosok Arsya.Sekarang, Arsya yang bingung sendiri. Dia tak tahu harus bagaimana di ruangan seluas ini. Sementara ponselnya tertinggal di rumah. Apa dia harus meminjam ponsel suaminya untuk mengobati rasa jenuh? Sepertinya itu bukanlah ide yang baik. Membaca Al-qur'an? Itu juga tidak mungkin. Dia yakin, di dalam rak buku sebesar dan seluas di dekat sofa yang didudukinya, tak ada seselip ayat Al-qur'an pun.
Tak lama kemudian, Irenne mengetuk pintu. Memberitahu pada Dirga bahwa meeting akan segera dimulai.
"Jangan pergi ke mana-mana!" seru Dirga, tegas. Arsya hanya mengangguk patuh. Dia malas berdebat. Dia hanya inginkan hanya ingin dipijat, lalu beristirahat.
***
Sudah satu jam lebih, Dirga tak kembali ke ruangan. Selama itu juga Arsya tertidur di sofa empuk tersebut. Seorang pemuda bertubuh mirip atlet menerobos masuk ke dalam ruangan sahabatnya—Dirga. Betapa kagetnya dia saat melihat seorang perempuan tangah tertidur pulas di sofa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not a Contract Marriage
Romance"Sya, ada satu pertanyaan yang harus kamu jawab sebelum pergi." Dirga berkata sambil mengambil ponselnya. "Harus?" "Ya!" Dirga mengusap layar ponselnya. "Kamu mau nikah sama aku dengan alasan apa? Apa karena terpaksa, uang, atau-" "Aku bersedia ni...