NCM 14 || Ke mana?

2.2K 185 20
                                    

Dirga tak bisa mengantar Yunita dan Astri mencari Arsya. Ia mengatakan ada meeting dadakan di kantor pusat. Padahal, ia belum siap untuk bertemu mantan istrinya itu. Lebih baik, ia istirahat barang sebentar saja sebelum kembali bekerja.

Ponsel Dirga kembali berdering untuk yang kedua kalinya. Ia segera beranjak bangun dari tidurnya. Kedua matanya menatap malas ketika membaca nama Irenne yang tertera di layar sana. Dirga mencoba mengatur napas. Ia berharap agar emosinya tak meledak secara tiba-tiba.

“Ya, Ren?”

“Bapak sudah sampai mana?”

Dirga mendengkus kasar. Baginya, pertanyaan Irenne terlalu bertele-tele. “Satu jam lagi saya sampai kantor. Saya baru sampai rumah setengah jam yang lalu.”

“Aduh. A-anu, Pak.”

Dirga memijat kening. Ia jenuh dengan obrolan tak jelas sekretaris yang seusia Arsya itu. Sedari bekerja di Mahardika Group, Irenne selalu saja ragu jika akan mengucapkan sesuatu.

“Kalau tidak ada kepentingan, saya akhiri panggilannya. Lebih baik kamu telepon pacar kamu saja supaya tidak kesepian.”

“Eh, tunggu, Pak!” Irenne buru-buru bersuara. “Pokoknya kalau bisa Bapak segera ke sini. Keadaan kantor kacau balau.”

Dirga berdecak kesal. Ia segera mengakhiri panggilan. Padahal, pekerjaan baru ditinggal satu hari, tapi masalah baru malah datang lagi. Masalah dengan Bayu saja belum ia anggap selesai.

***

Dirga memijat keningnya. Sesekali ia mendengkus sambil membaca berkas-berkas di meja dengan teliti. Wajah dinginnya bertambah masam saat hasil yang dibaca beberapa kali itu, tetap sama.

Dirga membuka kacamata bacanya. Ia menatap Irenne dengan tajam. Kemudian, mengambil napas dalam dan mengembuskannya secara kasar. Emosi yang ditahan sekian lama ingin ia tumpahkan saat ini juga. Namun, mengingat semua ini bukanlah kesalahan Irenne, ia jadi berpikir dua kali.

“Sejak kapan si brengsek itu bergerak cepat?”

“Ya, saya tidak tahu, Pak.” Irenne semakin menundukkan kepala. Jantungnya berdetak cepat. Akhir-akhir ini, hari-harinya selalu saja apes. Kena omel Dirga.

Dirga mengepalkan kedua tangannya dengan gemas. Hampir saja ia akan meninju sekretaris tak berdosanya itu. Seketika, senyuman Fella berkelebat dalam ingatannya. Dirga bagaikan menemukan oase di padang pasir.

Tak lama setelahnya, bayang-bayang Arsya yang sedang menangis menggeser bayangan Fella. Hatinya bagai dihujam anak panah. Sakit. Dirga yang sedang tenang terbuai halusinasi, seakan ditampar lagi ke dunia nyatanya yang begitu rumit.

“Saya baru tahu informasi ini tadi pagi, Pak. Pihak Pak Bayu bersikeras mengklaim bahwa perusahaan ini sudah menjadi miliknya sepenuhnya. Bukti semakin memperkuat mereka dengan adanya tanda tangan Pak Djordi Mahardika di atas materai sana.” Irenne masih menunduk. Belum berani mengangkat wajah.

“Kamu masih ingat, kan? Kamu masih ingat sewaktu pekan lalu, saat Bayu keluar dari Mahardika Group, saya sudah menandatangani semua kesepakatan di depan notaris, kan?” Dirga mengendurkan ikatan tali dasi. Dirga kira, semua itu bisa membuatnya lega. Namun nyatanya, masih sesak dan semua ini terlalu rumit.

“Tapi, Pak ....” Irenne melirik Dirga ragu. “Minggu itu, Bapak tidak datang saat sidang pertama dimulai. Ditambah kemarin.”

Dirga menggebrak meja. Semua berkas yang berada di meja jatuh berserakan. Seketika, Irenne menyesali ucapannya yang kelewat jujur. Ia segera pamit kembali bekerja. Namun, Dirga masih menahannya.

“Kamu sudah melakukan tindakan apa, Irenne?” Dirga menatap Irenne. Kali ini, tudak terlalu tajam.

Irenne mendongak, lalu menunduk lagi. “Maaf kalau saya lancang, Pak. Saya sudah menghubungi pengacara handal untuk mengurus kasus ini.”

Not a Contract MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang