NCM8 |

8.1K 496 144
                                    

Rumit. Dirga merasa kesulitan bernapas saat mengingat kenapa memilih masuk ke dalam perangkap lelaki yang ia benci. Bodohnya lagi, ia bukannya membalaskan dendam dalam waktu cepat, yang ada malah terbawa arus permainan.

“Sialan!” Dirga mengumpat kesal.

Jarum jam masih menunjuk ke angka tujuh, tapi ia memilih pulang setelah Irenne mengatakan tak ada lagi meeting atau urusan lain. Beberapa karyawan sempat keheranan saat melihat bos besar mereka pulang lebih awal dari biasanya. Namun, Dirga tetaplah Dirga. Bersikap cuek seperti biasa saat beberapa bawahan berbondong-bondong mencuri perhatian lewat basa-basi.

Mobil yang sedang dikendarai mendadak berhenti. Tanpa sengaja, si pengemudi melihat dua insan tengah dimabuk asmara baru saja keluar dari salah satu kafe temannya.

Bayangan masa lalu seolah kembali berputar. Bak kaset yang sedang diputar, tapi sulit untuk dihentikan. Saat itu, orang yang disayangi berkali-kali disakiti, tapi bukannya membenci ataupun meninggalkan, Yunita malah memilih untuk terus bertahan. Mengabaikan semua bukti akurat dari orang kepercayaan. Rahang Dirga mengeras. Kedua tangannya mencengkeram setir. Melampiaskan emosi di sana.

Dirga segera ikut meluncur. Membuntuti mobil xenia warna biru navy ke arah Jakarta Selatan. Namun, seulas senyum Arsya tiba-tiba berkelebat. Menyejukkan hati yang sedang dilanda emosi nun panas membara. Entah sadar atau tidak, ia menepikan mobil ke kiri. Berhenti tepat di seberang butik busana muslim.

“Argh! Dasar gadis bau kencur! Gadis penggoda! Gad—” Dirga tak melanjutkan ucapan, tapi dalam hati berbagai macam umpatan ia sebutkan. Bisa-bisanya ia dikendalikan oleh bayangan wajah Arsya.

Perlahan tapi pasti, Dirga menghirup udara malam untuk mengendurkan emosi yang tadi sempat mengikat hati dengan penuh kuasa. Setelah merasa lebih tenang, ia merogoh saku celana. Mengambil ponsel untuk menelepon seseorang. Ketika telepon telah diangkat, bibir tipis itu pun berkata, “Max ..., ikuti dia. Si Brengsek itu sedang melaju ke arah apartemen jalangnya.” Dirga memasukkan kembali ponselnya. Dia sama sekali enggan mendengar jawaban dari Maxime. Mau atau tidak mau, bujangan lapuk itu harus bersedia membantu. Tanpa pamrih pula.

***

Aneka kue telah dihidangkan di meja makan. Anty menyilangkan kedua tangan di atasnya. Menunggu Dirga adalah hal yang paling membosankan. Mungkin jika ia sudah terlelap, barulah om tampannya itu akan pulang. Kedua pipi tembamnya dikembungkan. Ditambah bibir mengerucut menahan kesal. Lucu.

“Tan, laper.”

Arsya melirik Yunita. Ibu beranak satu itu, ternyata sedang melempar putrinya dengan tatapan tajam. “Anty, yang sopan! Inget, kita lagi di mana!”

“Nggak papa, Mbak. Kasian Anty kalo harus nungguin Mas Dirga pulang. Lagian, kita gak tau jam berapa dia pulang, ’kan?”

Yunita menghela napas berat. Merasa tak enak hati terhadap Arsya. Sementara, di seberang sana, Anty malah tersenyum puas karena debat kecil dimenangkan olehnya.

Arsya mengambil pisau. Hendak memotong bolu pisang, tapi suara ketukan pintu dari luar terdengar. Anty segera beranjak bangun, berlari kencang untuk membukakan pintu.

“Om!”

Seperti biasa, gadis kecil itu menyambut kedatangan omnya lewat pelukan dadakan. Untung saja badan Anty tidaklah besar, jadi, Dirga masih sanggup untuk menahan.

“Anty, lepas!” bentak Dirga.

Anty melepas pelukan. Matanya berkaca-kaca, menatap takut pada wajah Dirga yang tengah merah padam karena emosi. Dalam hitungan detik, gadis kecil itu berlari ke tempat Tante dan Mamanya berada. Dapur.

Dirga mengusap wajah sambil menghela napas. Meredakan emosi dan melupakan ambisi untuk membalaskan dendam memang terasa sulit untuknya. Apalagi jika nama dan bayang keduanya sudah menetap selama bertahun-tahun di dalam hati.

Lelaki bertubuh tinggi tegap itu, langsung masuk ke dalam kamar. Biasanya, membersihkan diri terlebih dulu adalah cara yang lumayan mujarab untuk meredakan emosinya.

“Udah ada kabar dari Mas Bayu, Mbak?” tanya Dirga. Sekarang, ia sudah berada di meja makan. Mencicipi bolu pisang buatan Arsya.

Yunita menggeleng. “Mungkin sibuk. Sebelum pergi, dia bilang kalo waktu buat pegang hape cuman dikit.”

“Aku punya sesuatu buat Mbak. Nih ....” Dirga menyodorkan ponselnya kepada Yunita. “Mas Vano suka nelepon?”

Yunita yang hendak menatap ponsel Dirga langsung termangu. “Jangan nyebut nama lelaki brengsek itu lagi, Dirga!”

Anty dan Arsya mengangkat wajah. Nama Vano terasa asing di telinga Arsya. Setelahnya, Yunita malah terdiam. Selama ini, Vano memang terus menghubunginya. Entah itu menanyakan kabar Anty ataupun kabarnya.

Akhir-akhir ini pun Yunita selalu menolak panggilannya. Ada debar yang tak pernah ia inginkan kembali datang menyapa. Debar yang sama persis seperti saat mereka bertukar kabar di awal kenal.

“Dirga!” Sungguh, Yunita benar-benar geram dengan kelakuan adiknya. Potret Bayu lagi. Dia bingung, kali ini, rasanya ingin menyangkal, tapi hati dan pikirannya tidak sejalan. Hati berkata percaya dengan foto tersebut, tapi egonya tidak. “Kamu bisa gak, sih, jangan ngedit foto terus?”

Anty memeluk tubuh Arsya dengan erat. Matanya berkaca-kaca karena takut. Pasalnya, ini kali pertamanya melihat Yunita marah. Hati sang gadis memang sedang tertekan akibat bentakan Dirga tadi. Ditambah sekarang. Suara tegas disertai gemetar hebat terdengar menggelegar di telinga gadis berkuncir kuda itu.

Yunita pergi meninggalkan meja makan setelah membanting ponsel Dirga. Air matanya berlinang membasahi pipi. Ia sampai melupakan Anty yang sedang menangis karena takut akan bentakannya.

Dirga mengusap wajah. Ia melupakan sesuatu. Di meja ini, ada Anty. Apalagi gadis itu tampak ketakutan. Jika tahu akan seperti ini, lebih baik tadi diam saja.

“Anty lanjutin makannya, ya, Sayang. Nanti, kita jalan-jalan ke Mall,” ucap Dirga.

Dirga mencoba merayu keponakannya agar berhenti menangis, dan benar saja, gadis kecil itu langsung mengusap mata. Tangis pun berhenti, berganti dengan binar bahagia di kedua netra sipitnya yang basah.

“Beneran, Om?” tanya Anty.

“Yeah!” tegas Dirga. “Tapi, mamanya rayu dulu biar gak marah.”

Meski ragu, kepala gadis kecil itu mengangguk juga.

Seseorang yang sedari tadi diam sedang mengulum senyum. Mall? Bukankah ia juga akan diajak? Ah, tak diajak pun Arsya akan memaksa untuk ikut. List barang yang akan dibeli pun sudah tercatat rapi di memori ingatan.

***

Ada yang kangen author? Hueeek.
Wkwkwk
Tidak menerima protes karena part ini pendek. Maaf karena postnya lama. Kemarin selain sibuk, abis sakit juga. Gaeeees! Barangkali ada yang lagi cari novel terbitan mayor atau indie, bisa wa aku ya, di 08569839006 banyak novel paketan. 100k bisa dapet 10, 8, 5, 4.
Ah, pokoknya kamu bisa tanya-tanya lewat wa. 😉😍

Not a Contract MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang