NCM 13 || Hilang

2.5K 193 31
                                    

Sekilas Info, Gais!

Kalo misalnya cerita Arsya sama Dirga tersedia versi buku, setuju gak? Dari part awal udah aku rombak semua. Bahkan, kejanggalan-kejanggalan yang ditanyain sama kalian. Part ini ke ending masih sekitar 7 part lagi. So, puanjaaaaaaang banget. Aku sih, berharap banget supaya kalian setuju naskah aku dibukuin dan kalian semua ikutan PO entar. Hihiii

Liat respons kalian dulu.
Btw, makasih banyak, yak buat yang ngikutin cerita Not a Contract Marriage dari awal. Makasih juga buat yang suka ngasih suntikan semangat dengan kasih vote plus follow.

Yang merasa belum di-follback, sok, mangga komen.😁
Free
Wkwkwk

Cukup sekian dan terima krisan. Muehehehe
Wilujeung wengi kangge sadayana. 😘
Meut baca.

***

Yunita memejamkan kedua matanya saat mengingat masalah adiknya kemarin malam. Beberapa penginapan dan restoran di Bali terpaksa gulung tikar. Belum lagi dengan mal besar di beberapa daerah, hampir nyaris bangkrut. Satu lagi, ia baru tahu kalau Dirga ditipu Bayu dan kerugiannya pun tidak sedikit.

Adiknya itu sedang dalam keadaan kacau. Yunita jadi gemas sendiri karena yang ada dalam pikiran Dirga hanyalah Fella seorang. Ia seperti mengenyampingkan bisnis keluarga yang telah dirintis sang papa sedari dulu.

Bayu menyunggingkan senyum saat melihat raut mantan istrinya yang kacau. Ia puas karena berhasil menghancurkan kehidupan seorang Yunita Mahardhika yang terkenal angkuh. Bahkan, bukan hanya ia saja yang hancur, melainkan pernikahan mantan adik iparnya pun kandas.

“Sayang?” Bayu hendak menggenggam tangan Yunita. Namun, mantan istrinya lebih dulu menghindar. Bayu terlalu menjijikkan.

Bayu mulai berceloteh sesuka hati. Padahal, Yunita tak meminta atau menyindirnya. Ada satu surprise yang hampir membuat Yunita hampir terkena serangan jantung, separuh saham Mahardika Group telah jatuh ke tangannya. Berkat akting bak aktor papan atasnya lah, mendiang mantan papa mertuanya bisa dikendalikan dan dipermainkan sesuka hati semasa hidup. Saat situasi sedang kacau balau seperti sekarang, ia menggunakannya dengan sangat rapi, cepat, tapi teliti.

“Brengsek!” Yunita menggebrak meja kafe sampai ia menjadi sorotan pengunjung. Seorang manager datang menghampiri, tapi ia bisa menanganinya dengan santai. Mengenyampingkan emosi yang lumayan sulit dikendalikan.

Bayu tersenyum licik. “Kenapa, Sayang? Menyesal sudah meminta cerai dari suamimu yang sudah sukses ini?”

Yunita menggertakkan gigi. Ia duduk kembali, lalu meneguk espresonya yang sudah dingin hingga tandas. Berbicara empat mata dengan Bayu, ternyata butuh banyak kekuatan. Yunita sendiri belum mempersiapkan semua itu.

“Aku janji, aku bakalan bisa bahagiain kamu.”

“Aku gak bakalan sudi. Pegang ucapanku baik-baik, jika sampai aku kembali sama kamu, berarti itu artinya aku sudah menjadi seekor anjing yang menjilat ludahnya sendiri.” Yunita beranjak bangun dari duduknya. Niat untuk menggali beberapa info, malah berakhir sakit hati.

Sementara Bayu, mengeratkan kepalan tangannya. Singa betina yang susah payah dilumpuhkan, kini sudah kembali berubah seperti dulu. Sulit ditaklukkan.

***

Dirga menatap isi kulkas dengan malas. Perlahan, hidungnya mengendus aroma tak sedap dari rak bagian ketiga. Terdapat beberapa tumpuk masakan yang sudah dimasukkan ke dalam tempat makanan. Ia segera mengambil kotak makanan paling kecil, lalu membukanya.

Kedua Alisnya mengerut. Tak lama kemudian, ia terkekeh kecil saat menyadari sesuatu. Ikan asin yang ia kira ikan kembung itu, ada di sana, di kulkas. Mengingatkannya kepada Arsya. Mantan istri yang masih misterius keberadaannya.

Lamunan tentang Arsya pun harus terhenti saat ponselnya berdering. Tertera nama ‘Mbak Yunita’ di layar sana. Ia segera mengangkatnya. Sekadar berjaga-jaga jika tak segera diangkat, maka ceramah panjang kali lebar akan ia dapatkan.

“Ya, Mbak?”

“Kamu di rumah?”

“Ya.”

“Oke.” Yunita pun mengakhiri panggilan. Lagi dan lagi, kening Dirga berkerut bingung. Sekarang, ia sama sekali tak mengenali sang kakak. Otaknya seperti sudah tumpul jika dipaksa terus berpikir.

Tanpa suara bel ataupun menunggu sang adik membukakan pintu, Yunita dan Anty sudah tiba di kediaman Dirga. Ia langsung meminta Anty istirahat di kamar Arsya. Anty bilang, ia rindu aroma parfum tantenya yang cantik itu.

“Gimana Arsya?” tanya Yunita. Ia hanya basa-basi. Meskipun hatinya juga merasa cemas karena belum mengetahui keberadaan Arsya. Nomor ponselnya tidak aktif.

Dirga mengendikkan bahu acuh tak acuh. Ia mengambil duduk di seberang Yunita. Sejenak, Dirga termenung. Kursi yang diduduki sang kakak adalah tempat favorit Arsya. Ia segera menggeleng. Menepis semua bayang-bayang sang mantan yang tak penting.

“Mbak khawatir. Kalo makan, dia mana apa enggak, ya? Tidur di mana? Tinggal sama orang baik atau enggak? Duh. Pokoknya kepikiran terus.” Yunita memejamkan mata.

Dirga merogoh sakunya. Ia mengambil ponsel, lalu mulai mencari nama seseorang. Sementara ucapan Yunita, tak ia dengarkan sama sekali.

Yunita merasa diabaikan. Ia merebut ponsel sang adik dan membanting ke dekat wastafel. Tak peduli mau seberapa remuk ponsel mahal itu, yang ia mau, Dirga sadar. Ia mau Dirga mencari Arsya sampai ketemu.

***

Setelah perdebatan kemarin malam, Dirga bersedia menemani Yunita untuk mencari Arsya. Ia menganggap semuanya sebagai tanda hormat seorang adik terhadap kakaknya. Namun, Yunita mengartikan sebaliknya. Adiknya membantu karena sebuah penyesalan dan juga rindu.

Pencarian Yunita dan Dirga tak membuahkan hasil. Jakarta terlalu luas. Akhirnya Yunita memutuskan, dengan segenap keberanian, ia akan mendatangi Astri. mencaritahu keberadaan Arsya.

Setibanya di kediaman Astri, Yunita memaksa Dirga agar tak memberitahu temannya perihal status mereka saat ini. Ia tak mau Astri lebih kecewa. Ditambah saat ini Astri bilang bahwa Arsya tak pulang sesuai dengan surat yang ia tulis. Kedatangannya bukan hanya tak membuahkan hasil, melainkan menambah kecemasan pada teman kecilnya.

“Haduh. Dia ke mana dong?” Yunita memejamkan kedua matanya. Kepalanya terasa berat, berdenyut sakit.

Tangis Astri pun mulai mereda. “Aku gak tau pasti, Ta. Apa mungkin dia gak bunuh diri? Jual diri? Astagfirullah, aku mikir apa, sih?” Astri kembali menangis. Kali ini, terdengar menyakitkan karena takut kehilangan.

Dirga yang mulai gerah memilih pergi keluar. Kepalanya mulai berenyut sakit karena mau tak mau, dia juga ikut memikirkan Arsya. Gadis tak tahu diri yang bukannya mengurangi beban pikiran, ini malah menyusahkan.

“Dia gak punya siapa-siapa lagi selain aku dan rumah ini, Ta. Dari umur sembilan tahun, dia sudah tinggal sama aku. Ah, atau mungkin Arsya pergi ke ....” Astri menggantung ucapan. Dirga mencoba menajamkan indra pendengaran. Yunita sendiri tak sabar menunggu kelanjutan.

“Ke mana?” tanya Yunita. Sudah lumayan lama ia memilih bungkam. Namun, melihat Astri tak meneruskan ucapan, Yunita jadi tak sabaran.

“Ah, tapi aku ragu dia inget jalan pulang.” Astri kembali tergugu. Hatinya cemas ditambah takut. Ia ragu tebakannya benar, tapi kalau salah, lalu ke mana perginya gadis itu?

Dirga masuk ke rumah. Ia mendengkus kala melihat kedua wanita bermata bengkak itu. Masih saja betah menangis. “Sekarang katakan saja, kira-kira Arsya pergi ke mana?”

Yunita mendongak. Ia menatap tubuh tegap Dirga yang menjulang. “Ke ....”

Not a Contract MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang