Arsya sedang duduk di ruang televisi. Dia ingin sekali merebahkan diri di kamar, tapi diurungkan karena ada salah satu acara televisi kesukaannya. Sepulangnya dari kantor tadi, ternyata dia sudah ditunggui oleh seorang ibu dan seorang anak. Yunita memperlihatkan beberapa katalog pakaian hasil perancang terkenal di Indonesia. Tentunya dengan harga yang fantastis. Perkiraannya, uang sebanyak itu bisa mencukupi kebutuhan Arsya dan keluarga di kampung selama satu bulan.
“Liat deh, Sya.” Yunita menunjuk salah satu dress berukuran mini pada Arsya tadi. “Yang ini bagus, kan? Warna merah itu warna kesukaan Mbak. Wah, jadi gak sabar,” lanjutnya.
Arsya melihat salah satu dress yang membuatnya malu. Tak pernah terbayang sekali pun jika pakaian yang kekurangan bahan itu, melekat pada tubuhnya. Merasa diperhatikan Yunita, dia segera menanggapi dengan senyum karena tak mengerti dunia fashion.
“Malam minggu besok kita jalan, yuk!” ajak Yunita, tadi sebelum pulang.
Terlihat binar di kedua mata Arsya. Jalan? Bukankah jalan keluar itu artinya sama saja dengan jalan-jalan ke mal? pikir Arsya. Senyum manis pun semakin mengembang di bibir tipisnya. Membayangkan hal yang selalu dia impikan ketika masih tinggal di Desa.
“Aku sih hayu aja, Mbak. Cuman, ’kan harus izin dulu sama—” Arsya melipat kedua bibirnya ke dalam. Bingung, mau memanggil suaminya apa di depan Yunita.
“Nanti, Mbak yang bilang,” jawab Yunita tadi. Dia pikir, Arsya canggung untuk meminta pada Dirga.
Arsya pun menganggukkan kepala dengan antusias. Andai saja ada di rumah sebesar ini ada Astri dan Deden, mungkin rasanya tak akan kesepian seperti sekarang.
Terdengar deru mesin mobil dari luar sana. Arsya segera beranjak dari duduk. Akan membukakan pintu untuk suaminya, tetapi Dirga lebih dulu masuk dan melewatinya begitu saja. Membuat gadis berhijab ungu itu menggerutu kesal.
“O, Mas ....”
Dirga menghentikan langkah, lalu menoleh ke belakang dan memberi tatapan tajam untuk istrinya. “Apa?” tanyanya.
“Apa?” Arsya malah balik bertanya.
“Tadi apa?” tanya Dirga lagi.
“Tadi?”
Melihat ekspresi polos yang ditunjukan Arsya, membuat Dirga gemas bukan main. Lelaki bermata tajam itu, membuka jas yang tadi melekat di tubuhnya, lalu memberikannya kepada Arsya. Dia pun segera membuka mulut, hendak berbicara. Namun, ternyata kalah cepat dengan sang istri.
“Perasaan, aku belum ngomong apa-apa deh.” Arsya tampak terus berpikir, takut ada yang terlupakan dan malah membuat suaminya murka.
“Tadi, kamu manggil aku apa?” tanya Dirga dengan kata-kata yang ditekan. Dia menggulung lengan kemejanya sampai siku, tapi matanya sama sekali tak lepas dari Arsya sedikit pun. Seakan sedang mengunci agar istrinya itu tak beranjak walau selangkah.
Hati Arsya pun kembali berdebar tak menentu. Mengingat kata yang baru saja dia ucap ketika memanggil suaminya dengan sebutan Mas. Rona merah di wajah pun sudah membuktikan bahwa dia sedang tersipu malu.
“Mas,” jawab Arsya dengan suara yang terdengar lirih. Jujur, dia malu ketika memanggil Dirga Mas.
“Bukan itu!” seru Dirga.
Kepala Arsya pun mendongak. Menatap bingung pada suaminya yang tengah memejamkan kedua mata. 'Sebenarnya sedang membicarakan apa sih?' pikir Arsya.
“Terus yang mana?” tanya Arsya tak tahu. Dia benar-benar pusing mendapat pertanyaan yang susah untuk dijawab.
Tak kunjung mendapat jawaban, Arsya lebih baik menutup pintu utama dan berencana akan segera kembali ke ruang televisi. Namun belum sempat melangkahkan kaki, sebuah tangan kekar menahan pergelangan tangannya.
“Jangan pernah menyebut huruf 'O' ketika kamu akan memanggilku Mas,” ucap Dirga tepat di telinga kirinya.
Gadis cantik itu masih termangu di dekat pintu. Dia syok. Jarak sedekat tadi ternyata sukses membuat jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Belum lagi embusan napas Dirga yang menyapu permukaan kulitnya, masih terasa dan membuat bulu kuduknya meremang.
Perlahan tapi pasti, senyum di wajah cantik itu kian mengembang. Sekarang, dia mengerti dengan ucapan Dirga tadi dan tahu penyebab suaminya marah.
Arsya pun langsung tertawa. “Omas,” ucapnya di sela-sela tawa.
Dirga segera melangkah lebar meninggalkan Arsya yang sedang menertawakannya. 'Istri yang tak patut dicontoh. Suaminya pulang bukannya segera dibuatkan teh, kopi, atau minuman hangat yang lainnya. Eh, dia malah tertawa di bawah sana,' batin Dirga.
Omas? Ya Tuhan, yang benar saja. Dirga tahu, istrinya itu tak ada maksud memanggilnya Omas. Namun tetap saja, telinganya tak nyaman ketika mendengarnya. Kadang dia bingung sendiri, kenapa setelah menikah dengan Arsya dia seperti seorang gadis yang sedang datang bulan?
Punggung tangannya menghapus peluh yang mengucur dari dahi. Masalah kontrak dengan salah satu kolega bisnisnya masih memutar di dalam memori ingatannya. Ah, sebenarnya masalahnya bukan itu. Namun, nama besar CEO yang tertera di selembar kertas itu lah yang menjadi penyebabnya. Padahal, dia sudah berada di rumah, tapi emosi dalam hatinya tak bisa diredam begitu saja.
Dirga membuka satu persatu kancing kemeja dan melemparnya asal. Sungguh, dia ingin segera mandi lalu istirahat. Akan tetapi, belum sempat dia masuk ke dalam kamar mandi, seseorang dari luar mengetuk pintunya.
“Shit!” Dirga mengumpat kesal. Kemeja yang sempat dibuang asal, kembali dipakai lagi.
Dirga menekan gagang pintu. Betapa kagetnya dia ketika mendapat pelukan dari seorang perempuan secara mendadak, dan yang membuat dia lebih syok, perempuan itu bukanlah Arsya.
***
Pendek, ya? Iya deh, maaf karena cuma ngetik 700+ world. Yang penting update deh. 😅
Tapi eh tapi, ada yang kangen Arsya sama Dirga enggak? Kira-kira, yang meluk siapa, ya? Hayo tebak! Wkwkwk
Penebak pertama yang jawabannya tepat aku kasih hadiah. 😆 Tapi kalo belum ada yang bener nebak mau di efbi atau di wp, aku gak lanjut. Mau revisi sama ngetik kelanjutan cerita yang lain.
Satu akun cuman boleh jawab satu kali. Gak boleh lebih.Selamat malam senin. 😘😘😘
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not a Contract Marriage
Romance"Sya, ada satu pertanyaan yang harus kamu jawab sebelum pergi." Dirga berkata sambil mengambil ponselnya. "Harus?" "Ya!" Dirga mengusap layar ponselnya. "Kamu mau nikah sama aku dengan alasan apa? Apa karena terpaksa, uang, atau-" "Aku bersedia ni...