PAGE 5

1.1K 59 0
                                    

Allison menarik nafas dengan lega, saat itu dia sedang duduk di sebuah kelas yang tidak terlalu besar untuk menghadiri mata pelajaran terakhir di hari itu: psychology and character.

Sepertinya peminat kelas tersebut tidak terlalu banyak sehingga kelas itu hanya memiliki lima baris dan empat kolom dengan meja dan kursi yang menempel untuk tiap dua orang. Allison sendiri sebenarnya tidak memiliki latar belakang pendidikan psychology tapi sebagai lulusan marketing communication, dia merasa skill untuk membaca karakter orang lain sangatlah diperlukan.

Program 6 bulan ini lebih menekankan kepada praktek daripada teori dan dia sangat bersyukur untuk hal itu. Di kelas creative writing, para mahasiswa diminta untuk membuat tulisan bebas baik itu jurnal, blog, ulasan, cerita fiksi atau non-fiksi dengan ide-ide orisinal mereka dalam waktu dua minggu.

Allison diam-diam merasa langkahnya untuk hanya mengambil 12 mata pelajaran sangat tepat, sebab dia masih bisa memiliki waktu luang untuk menyelesaikan semua tugas yang diberikan. Saat ini dia penasaran mengenai tugas praktek apa yang akan diberikan untuk kelas psychology ini, mungkin sebuah permainan, tes kepribadian atau membentuk kelompok lagi pikirnya.

"Aku tidak pernah menyangka kita bertemu lagi disini, sweetheart."

Allison berjengit dan melonjak kaget. Dia mulai mengenali suara ini.

Dia memutar kepalanya dengan kaku dan menatap Damian Weiss yang berjalan ke arahnya dan langsung duduk persis di sebelahnya tanpa mau repot meminta izin lagi.

"Kau mengambil kelas ini juga?"

"Yap, apakah aku terlihat seperti orang yang tidak bermoral?"

"Mungkin saja."

"Apa?"

"Stop memanggilku seperti itu, Damian."

"Seperti apa, sweetheart?"

"Seperti itu..."

"Kenapa? Itu panggilan khusus untukmu."

"Kita tidak berpacaran dan aku bukan kekasihmu."

"Oh, jadi kita harus berpacaran dulu baru aku bisa memanggilmu seperti itu?"

"Dam, kau bisa memanggil wanita lain sesukamu tapi tidak untukku!"

"Kenapa, Allie?"

Allison berkedip dan mendadak pikirannya kosong, dia benar-benar tidak tahu harus menjawab apa untuk membuat pria ngotot ini mengerti.

"Karena...aku bukan fans-mu, aku tidak suka padamu bahkan aku tidak tahu apa-apa tentangmu kecuali kamu cowo yang pandai merayu dan memiliki banyak fans yang agresif dan menyedihkan diluar sana."

"Hanya itu yang kau tahu tentangku?"

Pandangan mereka bertemu dan kali ini Allison dapat melihat sedikit kesedihan dan kekecewaan pada mata Damian dan sejujurnya dia tidak siap untuk itu.

Apakah ada sesuatu yang Damian ingin dia ketahui? Tapi mengapa harus dia? Tapi ketika dia tersadar, Damian sudah tersenyum kembali dan pandangan mengibakan tadi sudah sirna.

"Buang gengsimu, sweetheart."

"Sudah kubilang jangan memanggilku seperti itu!"

"Lalu kau mau dipanggil apa? Honey? My lovely wife?"

"Damian!"

"Damian Weiss, Allison Travers?"

Mereka berhenti dan menoleh, menatap seorang wanita separuh baya yang gemuk dan besar di hadapan mereka.

Wanita itu memiliki rambut yang ikal berwarna merah yang sangat cantik, matanya berwarna hijau dengan hidung bulat dan senyum ramah menghiasi wajahnya. Dia juga mengenakan dress putih selutut dan sepatu wedges berwarna khaki. Meski bertubuh cukup besar, wanita ini terlihat sangat ramah, baik dan menarik.

Rupanya inilah Miss Prewett, dosen kelas psychology yang terkenal baik tapi tegas itu.

"Sepertinya kalian asik sekali sampai tidak sadar bahwa kelas sudah dimulai, hmm?"

Miss Prewett bertanya dengan nada menyindir dan tidak membutuhkan jawaban.

Allison hanya menunduk dan merasakan pipinya memanas karena malu, dia sedikit kesal karena di hari pertamanya dia sudah mendapatkan teguran sedangkan Damian hanya tersenyum kecil tanpa menjawab apapun.

"Baiklah, kalau begitu kalian akan menjadi pasangan tetap di kelasku selama sekolah ini berlangsung. Tugas apapun yang kuberikan harus kalian kerjakan bersama, ok?"

"Maafkan kami, Miss Prewett."

Damian akhirnya menjawab dosen mereka dengan suara yang tenang; "Kami berjanji akan menjadi partner yang baik dan kami akan mengerjakan tugas kami dengan excellent."

"Bagus, saya sangat menghargai tekadmu, Mr. Weiss."

Miss Prewett tersenyum sekali lagi sebelum dia kembali berjalan ke depan kelas.

Tampaknya Allison mulai mengerti apa yang membuat Damian begitu populer dan disukai banyak orang, dia tidak hanya memiliki wajah tampan dan senyum yang manis, tapi kata-kata yang diucapkannya bisa begitu sopan dan memikat lawan bicaranya.

Dia baru saja akan mengambil catatannya ketika dirasakannya Damian mencondongkan tubuhnya mendekat dan berbisik di telinganya; "Sudah kubilang kan, kita akan mengenal satu sama lain lebih jauh, sweetheart."

***

THE UNEXPECTEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang