PAGE 15

735 48 1
                                    

"Lalu apa yang harus kita lakukan bersama?"

"Tidak ada yang aku tidak sukai, well tentu saja aku tidak suka didiamkan."

"Aku sudah berbicara padamu."

"Maksudku aku tidak suka kalau aku tidak dianggap ada."

"Memang tidak ada yang suka diperlakukan seperti itu kan?"

"Lalu apa yang harus kita, ah ya, aku tidak suka makan pakai sumpit."

"Lalu? Kita harus makan bersama sampai kau terbiasa dengan sumpit?"

"Konyol."

"Yeah."

Allison dan Damian duduk bersebelahan di coffee shop tempat mereka mengadakan tugas kelompok pertama mereka. Seperti biasa Damian mengambil kursi di pojok ruangan yang terpencil. Mereka memegang kertas jawaban partner-nya sambil memikirkan apa yang harus mereka lakukan bersama untuk tugas kali ini.

"Sudahlah, mulai dari yang kita suka dulu."

"Kau suka makan." Allison menatap Damian, menggelengkan kepalanya dan berdecak.

"Yeah, a lot."

"Jadi kita harus makan bersama?"

"I guess so."

"Bagaimana kalau kita makan ramen bersama tapi kau harus pakai sumpit?"

"Itu langsung berubah jadi hal yang tidak kusukai."

"Setelah itu kita bisa makan yang lain yang kau sukai."

"Dan kau suka baca buku. Membaca bersama itu membosankan, Allie."

"Dan kau suka...tidur?? Aku tidak mau tidur bersamamu!"

"Yeah, I'm king of sleep."

"No way."

"Why not? Kita bisa tidur siang bersama tanpa ada apa-apa."

"Tidak mungkin, kau kan mesum dan sudah biasa melakukan itu. Jangan-jangan nanti kau pegang-pegang aku."

"Lalu kau takut tidak bisa menolakku begitu kan?"

Tiba-tiba wajah Damian mendekat. Allison mematung karena sangat terkejut.

Nafas hangat Damian sudah terasa di wajahnya.

Mata pria itu mulai terpejam.

Bibir mereka nyaris bersentuhan ketika...

"Ouch, sakit Al!"

Allison melayangkan tamparan yang lumayan keras ke pipi Damian.

"Kau apa-apaan?"

"Sweet... Allie, aku cuma bercanda!"

"Jadi ini caramu untuk meluluhkan para wanita itu?"

"Al..."

"Kau merayu mereka, membuat mereka semua terjebak dengan ucapan manismu sampai mereka mau menyerahkan tubuh mereka? Dan mereka cuma alat untuk memuaskanmu kan...hmmph..."

Damian membekap mulut Allison karena yakin wanita itu sudah mulai berteriak dan dia tidak ingin memancing rasa ingin tahu pengunjung yang lain. Tanpa disadari air mata kemarahan Allison mulai mengalir. Damian tertegun, baru kali ini dia melihat seseorang yang menangis karena marah dan dialah penyebab emosi yang memuncak itu.

"Allie, please...tenang dulu, oke?"

Allison tidak melawan tapi air matanya tetap mengalir.

"Kau tidak mau kita terlihat seperti pasangan yang sedang bertengkar kan?"

Allison mengangguk lemah.

"Jangan teriak lagi ya. Kita bicarakan ini baik-baik, ok?"

Damian melepaskan Allison dengan hati-hati. Gadis itu langsung mengambil tissue dan menyeka air matanya.

"Allie, aku minta maaf."

"Bercandamu keterlaluan, Dam."

"Iya aku tahu, please forgive me."

Allison terisak dalam diam.

"Boleh aku tanya, Al?"

"Hmm?"

"Kenapa kau sangat marah kalau aku memperlakukan para wanita yang menyukaiku seperti itu? Kau benar-benar peduli pada mereka?"

"Entahlah."

"Pasti ada alasannya, Allie."

"Aku tidak tahu."

"Aku tahu aku brengsek tapi diluar sana termasuk di tempatmu dulu pasti banyak pria yang seperti aku, bahkan lebih parah mungkin. Kenapa kau hanya marah padaku?"

"Karena kau temanku."

"Aku temanmu?"

Damian mengangkat alisnya dengan terkejut. Jawaban yang sungguh tidak diduga begitu menusuknya. Dia merasa aneh, ada perasaan hangat, senang tapi juga kecewa.

"Kau lebih suka kita musuhan?"

"Bukan begitu, aku hanya tidak menyangka..."

"Kita teman kan, Dam?"

"I-iya."

"Mungkin aku yang terlalu peduli padamu, sebagai teman. Aku tidak suka temanku mempermainkan wanita seperti itu. Aku pasti tidak senang kalau suatu saat kau kena karma. Tapi aku rasa kau benar bahwa aku tidak pantas menghakimi-mu, bukan berarti aku setuju dengan perbuatanmu ya."

"Allie..."

"Hmm?"

Damian terdiam. Allison menunggu. Pandangan mereka bertemu, perasaan mereka campur aduk.

"Thanks."

"You're welcome."

"I want to do something, as a friend, but please don't scream again."

"What is that?"

Damian mendadak menarik tangan Allison sehingga gadis itu terhuyung ke arahnya. Dia melingkarkan lengannya dan memeluknya dengan erat.

"Thanks, Allie."

Allison terdiam. Dia merasa aneh, dia tidak bisa marah dan sebaliknya merasa nyaman berada di dalam lengan Damian. Dia ragu-ragu tapi tubuhnya mulai bergerak. Menyandarkan kepalanya ke bahu pria itu.

Mereka terdiam. Jantung Allison mulai berdebar lebih cepat. Damian menunduk, menempelkan dahinya pada kepala Allison perlahan. Allison tersentak dan akhirnya mereka melepaskan diri.

"A-aku mau pesan kopi lagi." Allison mendadak bangkit berdiri.

"Matamu masih sembab."

Allison mengusap matanya sekali lagi.

"Sudah mendingan?"

"Lumayan."

"Kau mau pesan apa?"

"Tidak usah, sudah cukup"

"Oke, tunggu disini."

Allison membalikkan tubuhnya dan berjalan menuju counter. Damian menatap punggungnya, jantungnya sendiri pun berdebar-debar. Dia menggelengkan kepalanya dan bergumam.

"Sebenarnya aku ingin lebih dari teman, sweetheart."

***

THE UNEXPECTEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang