3

308 49 16
                                    

2018




Jennie membanting tubuhnya pada sofa empuk dengan tubuh yang terkulai lemas. Gadis berambut hitam nan panjang tersebut menghirup napas banyak-banyak, meraup semuanya seakan egois dengan kehadirannya di tempat baru ini.

Ia baru saja selesai menandatangani kontrak untuk tempat tinggal sampai lulus dari kuliah beberapa tahun mendatang. Kakinya begitu lelah sebab terlalu lama berjalan mencari tempat yang nyaman seperti ini, beruntung ada seorang ibu-ibu memberitahu bahwa kontrakan pada jalanan yang cukup menanjak ini cukup menarik. Walau memang jalurnya tidak mendukung dalam keadaan lelah setelah pulang kuliah, setidaknya ada sebuah tempat yang dianggap surga oleh Jennie.

Setelah menerima sebuah pesan dari Ibu Kim mengenai pengiriman barang-barang milik anaknya sebagai pelengkap kontrakan baru, Jennie mematikan ponselnya dengan malas–ia tahu itu tak sopan karena tidak memberikan balasan terhadap hati lembut ibunya, tapi bagaimanapun juga rasa lelah terlalu mendominasi tubuhnya. Ia bahkan hampir melempar ponselnya pada kursi empuk lain sebelum sebuah notifikasi masuk mendadak.

Sebuah pemberitahuan dari grup kakaotalk yang asing, bahwa ia baru saja dimasukkan oleh seseorang untuk menjadi anggota. Ibu jari Jennie terarah pelan pada grup yang dimaksud, lantas membaca namanya dan ia paham kenapa gadis itu dimasukkan secara mendadak. Grup kelas.

Beberapa detik seusai Jennie memperkenalkan diri seperti anggota baru lainnya, isi grup langsung dibanjiri dengan chat-chat tidak penting. Maklum, ketika manusia sudah dewasa dan menemukan teman-teman baru yang lebih menarik, maka akan lebih terbuka untuk berkenalan dan mengenal lebih dalam orang lain. Tapi jelas, Jennie tidak suka akan hal itu. Ia punya hak untuk memiliki privasi dan karena itulah sampai sekarang ia menjadi sosok yang pendiam.

Dengan segala kehormatannya, Jennie mematikan ponselnya tanpa peduli dengan isi topik yang tengah dibicarakan. Jennie sedang lelah, ia tidak mau seorang pun mengganggunya kini. Tatkala keningnya mengendur perlahan seiring dengan kelopak mata yang menurun, gadis itu telah berada di ambang batas kesadaran. Ia tidur dengan nyenyak, melepaskan segala kelelahan yang membebani bahu sempitnya.

***

"Eoh, Eomma ...."

Pagi-pagi sekali Ibu Kim menghubungi anak semata wayangnya. Ia terlihat begitu khawatir kalau-kalau Jennie terlambat saat mendaftar ulang pada kampusnya. Wanita yang sudah memiliki beberapa kerutan jelas di wajahnya itu bahkan sudah mengirimkan daftar untuk Jennie penuhi setiap pergi kuliah, takut jika gadisnya kelupaan sesuatu.

Namun, perlakuan seperti ini membuat Jennie agaknya kesal sedikit. Ia ingin mandiri seperti anak lain, menghadapi dunia dengan konsekuensi masing-masing tanpa peringatan berlebihan. Lagipula gadis itu sudah cukup besar untuk mengurus segala keperluannya, itu yang setidaknya ingin Jennie katakan pada beliau. Yah, walau begitu ia masih punya hati untuk memberikan larangan yang kelewat kasar itu.

"Aku tidak apa-apa, sungguh. Jangan khawatirkan aku. Aku akan sarapan dengan baik, berangkat dengan bus, lalu bertemu dengan teman yang lainnya. Sudah, ya. Busku sudah datang."

Jahat memang menutup panggilan secara sepihak setelah berbicara panjang lebar. Jennie jadi takut jika ibunya mengira ia sedang kesal terhadap sikap beliau–kendati demikian memang itulah kenyataannya. Ibunya hanya ingin membantu Jennie menghadapi kerasnya dunia 'orang', tapi jelas berlebihan. Hei, apa Jennie baru saja mengeluh tentang suatu hal untuk berkali-kali?

Selama perjalanannya menuju Universitas Seoul, Jennie hanya menatap ponselnya yang layarnya terus bergerak, menampilkan betapa ramainya chat di grup kelas hari ini. Mereka semua membahas di mana akan bertemu dan mengobrol nanti, yang jelas Jennie tidak mau ketinggalan info. Dia tidak ingin berdiri sendirian memandangi mahasiswa baru lalu lalang bersama teman barunya.

ColourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang