15

110 10 0
                                    

Ada satu yang Jennie temukan saat matanya terbuka secara perlahan. Kamar tidurnya bersama cahaya samar dari balik gorden jendela.

Kemudian keadaan asing mulai menggerayangi tubuh. Kepalanya mendadak pusing berat, pandangannya sulit fokus, bahkan perutnya sungguh mual tidak tertahankan.

Segera saja Jennie berlari menuju wastafel, memuntahkan seluruh isi perutnya yang terasa asam. Kemudian ia mengingat lagi apa yang terjadi tadi malam hingga membuatnya lemas saat ini.

"Sial, aku terlalu banyak minum semalam."

Hal itu jelas tidak disadari penuh olehnya sebab kerakusan dalam meneguk alkohol lebih mendominasi dari akal sehat. Walau begitu rasanya tidak buruk. Menyadari bahwa Sungjae terlebih dahulu mengantarkannya ke surga sesaat ternyata memiliki sisi positif. Setidaknya ia bisa tenang untuk sekarang dalam keadaan yang rumit.

Hanya saja sesuatu yang indah tidak selamanya memiliki akhiran yang indah pula. Terbukti kini ia tersiksa dengan rasa mual dan pengar tanpa henti.

Beruntung pintu kamar lebih cepat diketuk dari harapan gadis Kim ini. Benda kayu itu lantas terbuka dari luar juga menampilkan sesosok lelaki dengan tubuh segar secara perlahan. Tangannya menggenggam saatu bungkus permen yang kemudian dilemparkannya pada Jennie.

“Kasian sekali Adikku ini. Bangun-bangun seperti orang susah saja.”

Gadis itu merengut pada si lawan bicara setelah berhasil menerima lemparan permen. Dilihatnya sejenak bungkus benda itu. Permen pereda mabuk. “Hei, Yook Sungjae. Beraninya kau, ya, masuk ke kamar gadis.”

Pernyataan tersebut dibalas dengan bahu yang terangkat dari Sungjae. Rautnya jelas menampilkan akan keacuhannya kala berkata, “Memangnya aku peduli?” Lantas ia melangkah dan menyibak tirai jendela dengan cepat. “Nan neoui oppaya,” tambahnya seraya mengulas senyum. (Aku ini kakakmu)

“Cepat turun ke bawah. Ibu sudah membuatkan sup. Nanti kuantar kau kuliah.”

“Hei!” Jennie agak melonjak terkejut ketika ia mendapat lemparan bungkus permen lagi. Hal itu berlalu dengan cepat, hingga refleksnya tidak dapat menangkap dan justru menimpuk kepalanya.

Dengan bersungut-sungut Sungjae mengomel, “Kubilang panggil aku Oppa!” Setelahnya ia pergi dari kamar bersama langkah panjangnya.

“Memaksa sekali.” Jennie meraih permen yang dilemparkan Sungjae baru saja kemudian memasukkan kedua benda itu pada saku celananya.

Eh? Ia baru sadar bahwa sampai saat ini dirinya bahkan belum berganti pakaian. Terlihat lusuh sekali ditambah dengan rambut berantakan dan wajah kusamnya. Seperti gembel saja, pikirnya.

Tubuhnya kemudian pergi menuju lemari coklat yang terletak dekat dengan pintu kamar mandi. Selepas ia membuka pintunya, kini kedua netra coklat tersebut dimanjakan dengan lipatan baju yang rapi dan berwarna-warni. Baju baru, tentunya. Yang sampai saat ini tidak disentuh sama sekali olehnya, padahal ia sudah membeli pakaian ini kala liburan lalu bersama Jisoo.

Ada satu pakaian mendadak menangkap perhatian Jennie. Dress pendek gelap yang sengaja digantung olehnya waktu itu mengingatkan ia pada ucapan Jisoo.

"Dress ini padukan dengan jaket levis, pasti bagus. Cobalah. Dijamin kau tidak akan menyesal."

Irisnya lantas berpindah pada tumpukan celana berbagai model di samping kanan. Itu kumpulan bajunya selama ini, dengan warna monoton dari hitam, putih, dan perpaduan keduanya.

Agaknya ia ragu melihat pakaian rekomendasi dari Jisoo. Bukan apa, tapi ia terbiasa menggunakan sesuatu yang panjang, menutupi kaki jenjangnya. Rok terpendek yang pernah ia pakai saja ketika mengenakan seragam sekolah. Terdengar aneh memang bagi gadis Korea seperti Jennie tidak menyukai bawahan yang pendek. Sayangnya, itu kenyataan.

ColourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang