“Ngomong-ngomong, terima kasih sudah repot-repot mengantarkanku sampai ke halte bus.”
Kalau boleh jujur, Jennie sendiri tidak menyangka bahwa dirinya mendapat perlakuan khusus dari pria di hadapannya. Mungkin hal ini terbilang sepele mengingat Taeyong hanya berjalan di belakangnya, seperti penjaga pribadi milik gadis itu. Bukankah memang dalam drama, lelaki kebanyakan mengantarkan si wanita sampai ke tujuan dengan selamat? Jennie rasa, itu wajar, tapi tetap mengejutkan.
Si pria Lee mengembangkan bibirnya pelan, membentuk lengkungan manis di antara aura jantannya yang kuat. “Sebenarnya aku juga saat ini juga sedang menunggu bus.”
“Eh?” Memang terlalu percaya diri itu terkadang memalukan. Kembali kedua pipi pucat tersebut berangsur merah, hingga si empu mengalihkan pandang. Berharap embusan angin mampu membawa rasa malunya pergi.
Berusaha Jennie mencari topik pembicaraan lain dengan segera, mencoba menghilangkan perasaan canggung yang sungguh tidak enak di hatinya. “Tidak naik kendaraanmu sendiri?” Ya, pertanyaan tersebut masuk akal menurut gadis itu. Walau memang orang Korea lebih menyukai naik transportasi umum, tapi apa salahnya bertanya.
“Sebenarnya aku tidak pernah mengendarai mobil atau motor sendirian.”
Tidak pernah? Entah kenapa rasanya jadi janggal, apalagi mengingat ucapan Sungjae tadi pagi. Mengenai si lelaki Lee ini yang mengantarkan ia sampai ke rumah. Lalu dengan apa ia pulang tadi malam?
Hatinya tidak kuasa menahan pertanyaan yang mendadak berkecamuk tersebut, kemudian berakhir dengan mulutnya bergerak sendiri dengan reflek. Pun lantas dijawab oleh lelaki itu dengan nada entengnya, “Dengan taksi.”
“Tidak dengan kendaraanmu sendiri? Mungkin motor atau … mobil?”
Rasanya pertanyaan itu cukup membuat Taeyong memunculkan gelagak tawa. Bukan tawa mengejek, melainkan semacam menertawakan diri sendiri bersama ekspresi tidak nyaman. “Aku sebenarnya punya mobil milik ayahku di rumah.”
“Lalu kenapa tidak naik itu untuk menjemputku?”
“Karena aku tidak bisa.”
“Kenapa tidak mencoba belajar?”
“Karena aku tidak punya surat izin.”
“Kenapa tidak membuat surat izin?”
“Karena aku tidak bisa.”
Baik, Jennie mengalah. Ia tahu percakapan ini tidak akan berhenti, hanya akan berputar dalam jawaban yang sama. “Sudahlah, lupakan,” tuturnya singkat, lantas mendongak kala mendapati setetes air jatuh dari langit. “Eh, hujan?”
Tak terasa dirinya telah sampai pada halte, beruntung sekali memang. Kedua insan tersebut lantas melangkahkan kaki cepat guna bersembunyi dari air yang jatuh dari langit.
Menyusul hal itu, sebuah bus melaju tepat dari arah kanan, menembus butiran air yang semakin lama semakin deras kucurannya. Gerak bus itu perlahan melambat dengan pasti, tepat berhenti di hadapan mereka berdua. Pintunya mulai terbuka, selayaknya mempersilakan salah satu dari mereka untuk masuk ke dalam.
“Aku tidak bisa menemanimu lebih jauh lagi, maaf. Duluan, ya.” Selepas mengatakan hal itu – yang bahkan belum sempat Jennie cerna sepenuhnya – Taeyong mengenakan topinya dan berjalan keluar dari halte dengan langkah buru-buru.
Jennie masih bisa melihat bagaimana siluet Taeyong dari balik kaca bus yang tengah melambaikan tangan kepadanya bersama senyuman manis kendati keempat roda itu telah berputar kembali. Entah dia yang terlalu berlebihan atau bagaimana, kejadian tersebut justru berputar terus-menerus dalam memorinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Colour
FanfictionLee Taeyong X Kim Jennie "Aku kuning Dia biru Kuning dan Biru merupakan warna primer, kan? Warna utama yang bisa menghasilkan banyak warna nanti. Namun, bagaimana jika warna merah suatu saat nanti datang?" - Kim Jennie Apa kau dapat menebak endingny...