Jennie menangkap pergerakan ibunya dari balkon lantai dua, sedang mengaduk gelas yang ia duga berisi susu coklat hangat seperti yang disediakan kala hujan salju tiba. Sejenak ia menghela napas, sebelum akhirnya Jennie melangkah kaki menuruni tangga.
“Ibu, di mana Sungjae?”
Suara Jennie mencuri atensi beliau, terperangah ringan menoleh pada sumber suara. Dengan sigap, ibunya mendorong Jennie menuju meja makan sembari berkata, “Sungjae bilang mau tidur di apartemen ayahnya untuk hari ini. Ayo, kita duduk dulu.”
Bahkan sebelum ibunya menghidangkan segelas susu coklat hangay, Jennie sudah tahu hingga tanpa sadar wajahnya terpasang ekspresi masam. Hanya sedikit yang ia sesap, sementara ibunya di seberang meja sedang berbicara panjang tentang bagaimana respon tetangga perihal jajanan yang dibuatnya kemarin.
“ ... Ibu kira mereka tidak tertarik, tapi Bibi Jung menawarkan jajanan Ibu untuk dijual di tokonya. Jelas saja Ibu merasa bahagia sepanjang hari ...”
Benar. Jennie baru ingat, kenyataan bahwa ibunya baru saja dipecat dari pekerjaan, yang berarti keadaan ekonomi mereka kini tidak dapat dibilang baik. Gadis itu tahu, tabungan milik mendiang ayahnya sudah habis dari lama untuk keperluan ini itu, juga gaji pensiunan yang hanya dapat memenuhi makan sehari-hari jelas tidak cukup untuk membayar biaya kuliah.
Mendadak dirinya begitu menyesal. Bagaimana bisa dalam keadaan begini dirinya justru santai-santai saja. Bukankah seharusnya Jennie merasa sadar diri dengan belajar lebih giat, mendapatkan beasiswa, sehingga hal itu bisa mengurangi pengeluaran keuangan? Dengan grafik indeks prestasinya yang seperti ini, mana mungkin Jennie menawarkan diri pada penyelenggara bantuan biaya kuliah? Sial, sial!
Jarinya mengenggam erat sisi gelas kuat-kuat. Matanya berair, hingga membuat hidungnya tersumbat. Jennie melipat bibirnya, berusaha sekuat tenaga menyembunyikan dirinya yang hampir menangis.
Kepalanya tertunduk. Dia menghapus segala pikiran negatif yang muncul mengerubunginya, tetapi tiap suara ibunya terdengar, Jennie kembali terjatuh dalam kesedihan.
Bukankah aku kurang ajar? Durhaka? Atau apapun itu namanya.
Apa yang sudah aku berikan sebagai anak?
Mengapa aku begitu tidak berguna?
Perasaan itu kembali lagi. Terus datang dan merundungnya. Semakin wajah ibunya jelas terlihat lewat kedua mata, semakin menyedihkan saja hati Jennie.
Kenapa hidup jadi mengerikan ketika ia menyadarinya? Mendadak dia begitu ingin kembali pada dunia di mana Jennie kecil hidup. Tidak ada tangisan menyedihkan seperti ini, terlebih segalanya seperti berjalan lancar saat keluarga berkumpul menjadi satu.
Kapalnya sedang cedera, tapi memaksakan diri untuk terus berlayar. Sehingga penumpang merasa begitu terganggu, juga terancam termakan ombak.¹
Jennie sangat takut, bagaimana lamaran pekerjaan sebagai penulis bebas kemarin ditolak? Tidak, itu hanya akan menjadi kabar buruk tentunya. Tanpa itu, Jennie harus mencari lowongan part-time lainnya, kemudian ia berakhir kebingungan membagi jadwal sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Colour
FanfictionLee Taeyong X Kim Jennie "Aku kuning Dia biru Kuning dan Biru merupakan warna primer, kan? Warna utama yang bisa menghasilkan banyak warna nanti. Namun, bagaimana jika warna merah suatu saat nanti datang?" - Kim Jennie Apa kau dapat menebak endingny...