19

76 10 0
                                    

Langkah Jennie jadi semakin pelan kala disadarinya bahwa kawasan ini benar-benar asing baginya. Masih di wilayah kota Seoul yang tenang, berada sekitar sepuluh kilometer dari kampusnya berada.

Rasanya ia berjalan sedari tadi seperti dimanjakan dengan beberapa pemandangan yang begitu menenangkan. Kanan kiri menjulang beberapa pohon dari balik pagar rumah. Cat-cat yang menghiasi jalanan begitu cocok dengan atmosfer musim gugur.

Ada taman kecil di samping kanan dengan beberapa anak di dalamnya, bermain penuh riang satu sama lain. Suasana sudah hampir sore, hingga orang tua berkumpul dalam satu batu besar untuk saling mengobrol sambil menunggu cahaya meredup dan membawa pulang anaknya satu per satu. Yah, setidaknya itulah yang Lee Ahjumma ini katakan tadi.

Sampailah ia pada suatu rumah berpagar tembok dekat persimpangan. Sekat tembok biasa dengan warna putih, tapi bersih. Selepas Lee Ahjumma membuka pagar besi, Jennie dapat melihat jelas isinya.

Rumah sederhana dengan tipikal warga Korea seperti biasa, tapi menyiratkan akan kenyamanan keluarga. Di sudut-sudut terdapat pohon-pohon bonsai yang Jennie kenali sebagai hobi dari seorang Lee Taeyong. Pijakannya satu arah menuju rumah dengan batu-batu pipih, dikelilingi rumput pendek mengiringi rasa kebersamaan keluarga yang erat.

Sekalipun hanya menilik dari halaman depan, tapi Jennie dapat merasakan bahwa keluarga ini menaruh perhatian untuk membuat hunian penuh surga; dalam arti lain Home Sweet Home. Ini hampir seperti masa-masa kecilnya di mana keluarga gadis itu turut andil dalam menciptakan suasana indah yang sering dirindukan Jennie.

Hingga kini ia melupakan fakta bahwa sesuatu yang disebut ‘keluarga baru Lee Taeyong’ olehnya begitu berbeda dengan ‘keluarga lama Lee Taeyong’. Satu-satunya hal yang sama adalah bonsai. Tidak dengan keramahan seorang ibunda, tidak pula kenakalan saudara sendiri. Ah, kepalanya pusing kalau memikirkan masalah ini. Lagipula bukan urusannya.

Mungkin.

Lee Ahjumma membukakan pintu setelah mengatakan bahwa ia ingin cepat-cepat meletakkan barang belanjaan dan meminum air setelah lelah dalam perjalanan. Jennie hanya mengangguk sambil membatin bahwa bahunya juga mulai pegal sebab tas belanja yang berada di kedua tangan sungguh menguras tenaga.

Gadis itu mendadak berhenti mendengar teriakan dari dalam rumah. Dengar-dengar bibi itu sedang memanggil kedua anaknya, entah untuk apa. Namun sejenak hening, lantas tergantikan dengan ketukan pada lantai yang begitu ramai.

Matanya memincing, menyadari bahwa sosok pertama yang muncul adalah Lee Donghyuck. Awalnya wajah itu begitu ceria, sebelum akhirnya dia juga sadar bahwa orang di ambang pintu juga tidak asing.

Bukan sapaan sopan seperti yang biasa orang lakukan, anak itu justru menggumam kata ‘hyung’ dengan ragu dan menghentikan langkahnya. Mata yang dilemparkan Dongyuck tidaklah sinis seperti dulu, tapi terkesan sungkan. Entah kenapa.

Kehadirannya disusul dengan sosok anak muda Lee yang lain. Wajah itu juga begitu berbeda dari apa yang diterima Jennie hari-hari lalu. Agak terkejut dengan langkah memelan, pun lantas ia menyunggingkan senyum sederhana.

“Oh, kau Jennie.” Gadis itu hanya diam saja. Menatap lurus pada Taeyong dengan pakaian kasual dan, oh, lihat potongan lelaki itu yang baru – model pendek biasa, meninggalkan rambut mullet-nya dulu – tapi rasanya cocok terlebih musim hampir berubah entah apa hubungannya.

“Ibu menyuruhku untuk membantumu membawa barangnya.”

Mata Jennie bergerak kembali melepaskan stagnan yang terjadi sebentar, lantas menundukkan kepala sambil mengangkat sedikit tas belanjaannya. “Oh, ya.” Dengan ragu ia serahkan satu yang ada di tangan kanan. Kemudian setelah diterima oleh lelaki tersebut, Jennie melepas sepatunya dan mendengar perintah dari Taeyong.

ColourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang