"Mau jadi pacarku, tidak?"
Daripada Jennie melempar kursi yang tengah didudukinya saat ini, maka ia lebih suka bersikap kalem dan melempar tatapan sinis pada sosok di hadapannya. Jennie tahu, lelaki menyebalkan di hadapannya ini tidak akan berhenti bertanya selagi Jennie masih bisa bernapas.
"Kubilang tidak, Sungjae-ya!"
Dengan mencebikkan mulutnya dan disusul oleh decakan sebal, Sungjae mengajukan protes secara keras pada orang yang sebentar lagi menjadi saudaranya, "Inilah alasan kenapa kau tidak bisa mencari pacar. Kita ini sudah dewasa, ayolah, Jennie-ya. Tidak mau sepertiku yang dikejar banyak wanita, huh?"
Sungguh, hampir saja tangan Jennie melayang pada bagian kepala lelaki di hadapannya. Mencoba memukulkan kenyataan dengan tamparan atau cubitan rasa gemas sampai otak penuh hayalan pemuda itu tergeser sepenuhnya. Entah kenapa, suasana panas yang hampir meledak dirasakan sepenuhnya di ruang makan kali ini.
"Dikejar wanita apanya. Satu-satunya perempuan yang mendekatimu itu hanya aku." Sembari menyendokkan sup di mangkok bersama sungutan sinis, Jennie berusaha menusukkan kata-kata tajam agar lelaki ini sadar–pesonanya bahkan tidak sebanding dengan mahasiswa di jurusannya, yang sempat digadang-gadang sebagai 'flower boy' idaman seluruh wanita di dunia ini.
Lewat sudut mata, maka Jennie tahu ada sesuatu yang akan dikatakan Sungjae kendati rasanya susah diucapkan sampai pemuda ini tidak bisa berhenti bergerak. Dan dengan sesegera mungkin gadis itu mencoba mengalihkan pembicaraan. "Sudahlah. Jangan bahas hal ini lagi. Pendidikan lebih penting."
"Kim Jennie! Ayolah, ikuti apa kataku. Kita mencari kekasih masing-masing, lalu perlihatkan ke Ibu agar bahagia."
Lagi-lagi Jennie mendelik kesal. Ia membanting sendoknya pada permukaan meja sampai suara nyaring memenuhi rungu. Tangannya bergetar seiring dengan netra coklat si gadis terlihat tidak fokus. "Ibu siapa yang kaumaksud?"
Melihat emosi calon saudara di hadapan Sungjae ini rupanya membuat senyuman merekah sempurna di bibir lelaki menyebalkan itu. Membuat rasa marah yang meledak pada Jennie merupakan salah satu hiburan di hidupnya. Itulah alasan kenapa Sungjae begitu suka menerima kenyataan orang tua mereka berdua menjalin kasih bersama, karena bonekanya sangat menggemaskan seperti ini. "Ibu kita, tentunya."
Menahan hasrat untuk menarik rambut Sungjae itu sulit. Jennie sampai meremat ujung bajunya hanya untuk menghindari niat buruk itu. Tidak, dia tidak boleh bertindak brutal. Nanti lelaki di hadapannya ini jadi kebiasaan mempermainkan ia terus-menerus.
"Terserah, aku tidak peduli lagi!" begitu ucapnya dengan gertakan gigi keras, lantas meraih sendok dan kembali menghabiskan sup pereda mabuk buatan lelaki ini. Persetan, batinnya. Selama ia masih bisa bernapas dengan lega dan kebahagiaan, Jennie akan terus hidup bersama rasa sabar menghadapi si anak nakal ini. Itu tidak apa-apa, sungguh.
Kalau boleh jujur, sebenarnya Jennie merasa risih terhadap presensi calon saudaranya. Bahkan, sedari tadi ia terus menyuap sesendok demi sesendok dengan cepat dan habis begitu saja. Bagaimanapun juga, ia wanita. Dan orang yang berkunjung ke tempat tinggalnya yang kedua ini adalah lelaki. Tentu kau tahu ke arah mana yang sedang dimaksud Jennie saat ini. Apalagi tetangga juga tidak mengerti hubungan yang sebenarnya di antara mereka berdua, bukankah itu bisa mengundang tanda tanya?
Maka dari itu, setelah menghirup napas sebanyak-banyaknya, Jennie berusaha mengucapkan sesuatu dengan tatanan kalimat yabg sopan, "Kau tidak mau keluar?"
"Kenapa harus?"
Ya, benar. Jennie baru sadar jika Sungjae memang lelaki yang sulit peka. Ia harus menahan emosi jika harus berhadapan dengan Sungjae. Ingat, bagaimanapun mereka berdua akan menjadi saudara, hidup bersama, di atap yang sama. Menyebalkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Colour
FanfictionLee Taeyong X Kim Jennie "Aku kuning Dia biru Kuning dan Biru merupakan warna primer, kan? Warna utama yang bisa menghasilkan banyak warna nanti. Namun, bagaimana jika warna merah suatu saat nanti datang?" - Kim Jennie Apa kau dapat menebak endingny...