24

138 16 2
                                    

Jennie juga tidak tahu alasan apa yang membuat orang-orang kini menjauh darinya. Itu wajar jika badannya bau, penampilannya aneh, atau dia melakukan kesalahan.

Melakukan kesalahan?

Itu masuk akal. Namun, bagaimana dengan Jisoo? Ada dia melakukan perbuatan yang tidak sopan atau menyumpahi atau marah padanya? Selama ia berteman dengan gadis ayu itu, tidak sekalipun Jennie menunjukkan perasaan marah.

Kalau dipikir-pikir, mereka sebenarnya belum mengenal satu sama lain. Itu terlihat dari ketidaktahuan Jennie pasal masalah kenapa dia menjauhi tanpa alasan. Daripada memperlihatkan tingkah konyol masing-masing, mereka bersikap seperti tengah menjaga image.

Dan mungkin hanya Jennie yang sepertinya spontan bersikap buruk terkadang.

Ia melirik orang yang sedari tadi dipikirkannya. Jisoo duduk ada tepat di depannya. Terlihat tisu yang menyembul dari pandangan, kemudian tumpukan tisu bekas di samping. Gadis itu terlihat sangat fokus mengerjakan UAS. Bisa dibilang, dia begitu serius daripada UAS semester lalu.

Seperti biasa, Jennie menghabiskan waktu untuk diam-diam mengamati yang lain. Dalam artian, ia mencari hiburan setelah lelah berpikir. Ada banyak yang bisa Jennie simpulkan, tapi ada satu kepastian dari semua tingkah laku mahasiswa di sini saat ujian; mereka bukan lagi orang yang dikenal.

Entah kenapa, tapi kenyataanya begitu. Daripada disebut kawan, sekarang semuanya lawan.

Itu cukup menggelitik hati Jennie, sebab ia juga merasakan kompetisi yang sangat besar secara tersirat hingga ikut terjun. Jelas malu kalau-kalau nilainya lebih kecil dari yang lain. Terlebih, ia menuntut ilmu di tempat impian semua warga Korea Selatan. Selain memalukan, menyia-nyiakan kesempatan juga menekan pikirannya. Itu yang sempat ditakuti Jennie saat melewati UAS semester pertama, bahkan kini tidak pula berkurang.

Sebab, bagaimanapun juga, ia memilih berkuliah dan berada pada prodi ini untuk melarikan diri dari permintaan sang ibu. Jennie lelah untuk belajar dan ia memiliki kebebasan untuk memilih asal bisa bertanggung jawab. Ini yang jadi masalah. Pikirannya terlalu pendek untuk memutuskan caranya kabur. Sampai sekarang Jennie bertanya, “Kenapa aku harus belajar semua ini?”

Matanya melirik pada orang yang menjadi topik pikirannya selama ini, seseorang yang entah kenapa dihubungkan benang merah pada Jennie. Anak bermarga Lee itu.

Seperti biasa, tanpa berubah sekalipun masa kanak-kanak dan remaja telah berlalu. Taeyong menundukkan kepala sementara satu tangannya bertopang dagu. Jennie tahu ketika yang lain tidak tahu, Taeyong tengah tertidur di tengah-tengah ujian. Seharusnya ia bisa dikeluarkan begitu saja atau setidaknya ditegur. Namun, posisinya justru memperlihatkan ia seperti tengah terfokus pada ujian.

Jennie ingin mengabaikan, tapi melihatnya seperti ini memunculkan kenangan masa kecil. Gadis itu masih ingat bagaimana guru-guru gemas sendiri tiap kali membangunkan Taeyong. Anak itu susah sekali bangun dan wali kelas sempat mengkhawatirkan nilai-nilai ujiannya.

Kendati demikian, Taeyong tetaplah Taeyong yang jenius. Ia sudah menyelesaikan soal dari separuh waktu yang diberikan. Hingga para guru menilai dia mungkin kelelahan belajar semalam. Pun Jennie juga tidak tahu sebab ia tertidur, setiap hari ujian mendekat biasanya Taeyong tidak tidur di rumahnya.

Tidak tidur di rumahnya.

Kalimat itu cukup janggal dan berkonotasi buruk jika ada orang yang tidak tahu latar belakang masa lalu mereka. Oh, ayolah, mereka masih kecil saat itu, apa yang diharapkan? Dan Jennie berpikir, bahwa sepertinya justru ia yang berpikir buruk tentang pernyataannya. Maksudku, bahkan tidak seorang pun yang begitu overthinking pada suatu hal seperti ini. Tidur di rumah teman saat masa kecil itu wajar, bukan?

ColourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang