2 - Menerima

445 38 1
                                    

Malam semakin larut, sepi pun menyapa dengan dinginnya malam. Sudah pukul dua belas malam, tapi rasa kantuk tak kunjung menghampiri, fikiranku terus melanglang buana.

Memikirkan soal lamaran pemuda itu, ucapan Ayah, harapan besar dimata Ibu, dan Rio. Kalau aku menikah, bagaimana dengan kekasihku Rio. Aku sudah terlanjur cinta padanya. Kalau aku memutuskan menikah, apa yang harus kukatakan pada Rio?. Lalu apa kabar dengan hatiku?.

Ah, kepalaku pusing sekali memikirkan ini semua. Kenapa jalan hidupku seperti ini Ya Allah. Terlalu banyak berfikir membuat tenggorokanku haus saja.

Aku memutuskan untuk turun kedapur hanya untuk mengambil segelas air putih. Setelah air itu masuk kedalam tenggorokanku yang kering, segar rasanya. Aku memutuska untuk mengisi kembali gelas itu dan membawanya kedalam kamar.

"Ayah yakin gak mau ke Singapura?" Itu seperti suara Ibu. Ini kan sudah larut malam, tumben Ibu dan Ayah belum tidur.

"Ayah yakin Bu, lagipula sudah tidak ada harapan. Stadium lanjut. Kecil kemungkinan untuk sembuh" kali ini suara Ayah yang terdengar. Tapi tunggu, stadium lanjut? Kecil kemungkinan untuk sembuh?. Jadi selama ini Ayah sakit?. Tapi Ayah sakit apa? Kenapa tidak memberitahuku?. Dan masih banyak lagi pertanyaan bercabang dikepalaku.

"Ayah nggak boleh putus asa gitu, Ayah pasti bisa sembuh" suara Ibu terdengar sedikit bergetar, sepertinya Ibu akan menangis.

"Kita tidak tahu kapan maut menjemput Bu, ini hanya untuk antisipasi. Ayah hanya ingin menikahkan Syifa sebelum Ayah pergi".

Tak terasa air mata mengalir dipipiku. Ah, aku ini cengeng sekali. Tapi bagaimana kalau permintaan Ayah itu adalah permintaa terakhir Ayah. Aku tidak mau kehilangan Ayah. Aku harus melakukan apapun permintaan Ayah. Aku tidak ingin menyesal dikemudian hari.

.
.
.
.

Selama di sekolah aku tidak bisa fokus. Bahkan saat pelajaran berlangsung, fikiranku melayang entah kemana. Semua materi yang disampaiku oleh guru tidak ada satupun yang tersaring dikepalaku.

Pembicaraan Ayah dan Ibu semalam terus berputar dikepalaku. Apa aku harus melepas Rio dan menerima pemuda itu?. Aku bingung, aku harus cerita pada siapa. Kalau aku cerita pada Luna dia pasti menyuruhku jangan menikah. Kalau Nana dia terlalu polos kalau soal beginian. Rahma?, mungkin aku bisa cerita padanya.

Setelah pelajaran selesai, Luna dan Nana pergi untuk makan siang, sementara aku menahan Rahma dikelas. Kebetulan semua teman teman yang lain pun sedang diluar kelas.

"Kamu mau nikah?!" Tanya Rahma sedikit terkejut. Buru buru aku menutup mulutnya dengan telapak tanganku, bagaimana kalau ada yang mendengar malu aku.

"Jangan kenceng kenceng Rahma".

Rahma menetralisir keterkejutannya, ia menghela nafas panjang. "Jadi kamu mau nikah?" Kali ini intonasi suaranya agak pelan.

"Aku bingung Ma, disisi lain aku gak bisa menolak permintaan Ayah sama Ibu, tapi apa kabar dengan hatiku dan Rio"

"Kalau menurutku, titah orang tua itu nomor satu, murkanya orang tua adalah murka Allah. Apakah pemuda yang datang melamarmu adalah laki laki yang baik?"

"Kalau dilihat dari penampilannya, kayanya dia laki laki yang baik. Ayah dan Ibu juga bilang pemuda itu sholeh".

"Begini saja. Kamu lebih memilih orangtuamu yang sudah berjasa dalam kehidupanmu atau kamu lebih memilih Rio yang bukan siapa siapanya kamu?".

"Ya aku pilih orangtua aku lah" bagiku Ayah dan Ibu adalah segalanya.

"Nah kalau kamu lebih memilih orangtuamu berarti kamu memilih nikah sama pemuda pilihan mereka"

Hanif Dan Syifa (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang