4. Gombalan Pertama

348 26 0
                                    

Acara kumpul keluarga sekaligus akad pernikahanku, baru berakhir pukul lima sore, bahkan masih ada sebagian sanak saudara yang masih enggan untuk beranjak. Hanya keluarga besar kak Hanif yang benar benar sudah pulang.  Sampai di kamar aku langsung merenggangkan otot ototku yang terasa begitu pegal. Bayangkan selama acara berlangsung aku yang mengenalan high hels hampir tujuh centimeter terus berdiri menyambut ucapan selamat dari para keluargaku tercinta.

Alhasih saat acara usai, baru saja aku akan melangkah kan kakiku, ototku terasa kaku, tidak bisa digerakan, sakit sekali jika dipaksakan berjalan, mungkin karena aku tidak terbiasa menggunakan sepatu hak tinggi. Dan karena kakiku tidak bisa digerakkan, dengan ikhlas kak Hanif menggendongku ala brindal style dari ruang tamu sampai kamarku.

Tak sampai disitu, dia juga dengan senang hati memijit kakiku yang terasa kram. Kalau bukan karena kaki ku sedang sakit, aku tidak pernah mau disentuh dibagian kaki, karena itu titik yang paling geli menurutku.

"Kalau gak biasa pake hak tinggi, kenapa dipake?" Tanya kak Hanif tangannya masih fokus memijit kakiku.

"Disuruh Ibu" jawab ku dengan nada yang sangat pelan.

"Sekarang sekolah kelas berapa?" Tanyanya lagi, sepertinya dia ini tipe orang yang tidak suka jika didiamkan.

"Kelas dua belas"

"Semester berapa?"

"Dua"

"Ujian nasional kapan?"

"Dua bulan lagi"

Apa aku keterlaluan? Suamiku bertanya panjang, tapi aku hanya menjawab sekenanya saja. Mungkin agar seimbang aku juga harus bertanya sesuatu padanya.

"Kalau kamu mau bertanya sesuatu tentangku silakan"

Padahal baru niat dalam hati akan bertanya tapi dia sudah bicara terlebih dahulu.

"Kakak kuliah?" Tanyaku. Sepertinya Kak Hanif senang mendengar aku bertanya sesuatu tentangnya.

"Aku kuliah pendidikan agama islam, dan tahun ini akan magang, setelah itu skripsi" jelasnya, padahal kalimat yang kuucapkan pendek, tapi dia menjawabnya panjang lebar seperti rumus  balok.

"Kakak kerja?" Tanyaku lagi.

"Aku bekerja sebagai tenaga pengajar di pesantren milik Abi"

"Guru?"

"Ya. Bisa dikatakan seperti itu"

"Abinya kakak punya pesantren?"

"Ya"

Ok ini fakta cukup menarik. Aku menikahi seorang laki laki yang notabennya anak seorang kyai, yang pastinya sholeh.

"Kakak sekolah dipesantren juga?"

Kalau Kak Hanif dibesarkan dan dan sekolah di pesantren aku jamin hidupku pasti berubah drastis.
Kak Hanif nampak menggeleng pelan.
"Lulus madrasah diniyah, aku tidak sekolah di pesantren, tapi di smp reguler biasa, sampai sma, lalu kuliah" jelasnya. Ok. Mungkin Kak Hanif bukan orang yang terlalu fanatik terhadap agama.

Sebenarnya standar kriteria suami bagiku itu tidak harus terlalu sholeh, yang penting mengerti agama, bertanggung jawab, dan yang terpenting setia. Aku termasuk salah satu wanita yang anti poligami.

"Masih sakit?"  Tanyanya. Aku hanya menggeleng, rasa sakitnya memang sedikit berkurang.

"Sebentar lagi adzan maghrib, ayo kita wudhu" ajaknya. Ini juga fakta yang kutahu, Kak Hanif bukan tipe orang yang selalu mengulur waktu sholat. Berbanding terbalik dengan diriku yang terkadang melaksanakan sholat di akhir waktu.

"Kakak duluan aja"

Kak Hanif mengangguk, dia beranjak berjalan menuju kamar mandi yang ada di dalam kamarku. Sementara Kak Hanif mengambil wudhu, aku merapikan diri. Membuka satu persatu jarum pentul yang tersemat diantara pasmina yang kukenakan.

Lega sekali rasanya saat pashmina itu sempurna terlepas dari kepalaku, kuraih sisir berwarna biru milikku, menyisir rambutku yang lumayan berantakan. Setelahnya aku langsung menghapus semua make up yang poleskan diwahku, sampai benar benar hilang dan bersih. Wajahku terasa ringan setelah semua make up itu benar benar tersapu bersih.

Saat aku sedang menguncir rambut sebahuku, kulihat Kak Hanif sedang berdiri diambang pintu, entah apa yang sedang difikirkannya, apakah ia terpesona padaku?. Untuk beberapa saat Kak Hanif menatapku lekat, namun suaraku seakan membuyarkan lamunannya.

"Udah beres wudhu nya?" Tanyaku.

"Eh..  iya" ia nampak kikuk, ada apa? Apa ini kali pertamanya dia melihat seorang wanita tanpa mengenakan jilbab?.  Aku berjalan menghampirinya yang masih terlihat gugup, ekspresinya lucu sekali saat sedang gugup, aku menahan tawaku dengan sekuat tenaga, namun sia sia saja, tawaku tetap pecah.

Wajahnya Ka Hanif semakin lucu saat ia mendengar tawaku, mungkin ia bingung kenapa aku tertawa.
"Kakak nervous ya?" Ucapku ditengah gelak tawa. Dia tampak tersenyum tipis, ia membisikan sesuatu tepat didepan telingaku, ucapannya sukses membuat tawaku terhenti seketika.

"Teruslah tertawa, aku menyukai suara tawamu, lebih indah dari suara tawa bidadari" bisiknya. Kini gantian aku yang menjadi gugup. Buru buru aku masuk kedalam kamar mandi guna menyembunyikan wajahku yang pastinya sudah memerah ini.

Apa yang dia katakan tadi, suara tawaku lebih indah dari bidadari,memang Kak Hanif pernah mendengar bidadari tertawa? Tapi ucapannya itu sukses membuat jantungku serasa berdegup kencang, kakiku saja terasa lemas. Aduh, Syifa kamu ini kenapa? Gombalan itu kan receh baget, Rio aja sering ngegombalin kamu. Tapi entahlah, rasanya beda saja saat Kak Hanif yang mengucapkannya. Pertama saat dia mencium dahi ku, lalu menyatakan cinta padaku, dan yang tadi.

Ibu, tolong Syifa!!!!

"Syifa"
Kak Hanif terdengar memanggil namaku sambil mengetuk pintu, ada apa? Apa aku terlalu lama didalam sini.

"Ya?"

"Sudah adzan, kita sholat berjamaah" ajaknya. Aku langsung mengambil air wudhu secara ekspres alis cepat.

Saat keluar dari kamar mandi, ternyata Kak Hanif sudah menyiapkan dua sejadah, untukku dan dia. Disalah satu di atas sejadah, sudah ada sebuah mukena berwarna putih, mungkin Kak Hanif juga yang menyiapkan, mukena ini adalah mahar yang diberikannya untukku.

"Kita sholat berjamaah".

"Kakak gak akan sholat dimasjid?" Padahal tadi saat sholat dzuhur dan ashar, Kak Hanif sholat berjamaah dimasjid bersama Ayah.

"Gak. Ini akan menjadi sholat mahrib pertamaku bersamamu, ya zaujati"

Ya zaujati, aku mendengar kata itu lagi terucap dari bibirnya. Jadi apa sih itu artinya?. Apa aku tanyakan saja pada Kak Hanif.

"Kak?"

Kak Hanif berbalik menatapku.

"Apa artinya itu?".

"Arti apa?"

"Kata itu yang Kakak ucapkan tadi"

"Kata yang mana?".

"Ish yang itu kak"

Kok gak peka sih, padahal diantara kalimat yang dia ucapkan tadi ada kata yang berbahasa arab, dan aku tidak bisa berbahasa arab. Hanya bahasa inggris yang sudah aku kuasai.

"Yasudah lah, lupakan. Kita sholat aja, sudah iqomah" ucapku, aku sedikit kesal padanya karena pura pura tidak mengerti dengan pertanyaanku. Kak Hanif tampak tersenyum tipis.

Lalu ia berdiri tepat didepanku, memulai sholat dengan khusyu, suaranya saat membaca suarat Al fatihah dan surat Al jumu'ah sungguh sungguh sangat merdu. Baru kali ini aku begitu terenyuh mendengarkan seseorang yang membaca ayat ayat suci.

Bersambung....

Vote dan kommennya ya jangan lupa ya...

jazakumullah khair.

ig : @arininur23

Hanif Dan Syifa (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang