Hari ini sama seperti hari biasanya, berangkat sekolah pagi pagi bersama Kak Hanif, melewati jalan yag sama, dengan menggunakan kendaraan yang sama. Namun, ada satu hal yang mengganjal di hatiku. Mungkin ini hari terakhir Kak Hanif magang di sekolahku, itu artinya selesai sudah tugasnya.
"Berarti mulai besok Syifa berangkat sendiri ya" ucapku, karena jujur saja aku sudah terlanjur nyaman seperti ini.
"Kenapa? Gak rela ya"
"Iya Syifa gak rela. Soalnya uang jajan Syifa jadi berkurang karena harus bayar ongkos angkot"
"Aku kira kamu gak mau jauh dari aku" gumam Kak Hanif, namun suaranya masih terdengar jelas di telingaku.
"Hah, apa Kak?" Tanyaku pura pura tidak mendengar.
"E.. eh enggak"
Padahal ucapannya ada benarnya juga, entah kenapa rasanya terasa aneh kalau harus berangkat sekolah sendirian, untung saja sekolah tinggal satu bulan lagi.
Mobil yang kami tumpangi terparkir dengan rapi di tempat khusus parkiran mobil. "Yaudah Kak, Syifa duluan" kucium tangan Kak Hanif seperti biasa, lalu berjalan menuju kelas.
"Hey Syif" sapa seseorang sambil menepuk bahuku. Dan dia adalah, Luna. Aku hanya tersenyum datar, entah kenapa malas sekali bertemu dengannya, saat melihat wajahnya kejadian itu seolah berputar kembali di kepalaku.
"Kok mukanya kusut banget?" Tanya Luna, padahal mukaku kusut kan karena bertemu dia. "Lagi marahan sama Rio ya?" Godanya. Biasanya jika Luna menggodaku, refleks aku akan tersenyum atau tertawa, tapi maaf kali ini aku kurang minat.
Luna bertanya seperti itu padaku, memang dia nggak merasa gitu, atau gimana lah gitu, kan jelas jelas dia selingkuhan Rio, dan dia tahu, sangat tahu malah kalau saat itu aku dan Rio masih berpacaran.
"Kamu kenapa sih Syif? Lagi ada masalah" tanyanya lagi. Iya aku sedang ada masalah, dan kamu adalah sumber masalahnya.
"Gak" hanya kata itu yang mampu keluar dari bibirku.
"Yaudah kalau kamu punya masalah cerita aja sama aku, mungkin aku bisa bantu" ucapnya seolah meyakinkan, aku hanya menganggukkan kepala.
Aku marah, ya. Merasa dipermainkan, pasti. Mereka berdua bertingkah seolah tidak terjadi apa apa. Aku memang sudah tidak ada perasaan apapun padan Rio, tapi aku paling tidak suka dibohongi dan dipermainkan."Yaudah kekelas ayok" Luna semakin menarik tanganku dengan cukup keras, dasar kebiasaan dari dulu. Dan saat sampai ditempat dimana aku duduk setiap hari, ada sesuatu yang tak biasa dimejaku. Sebuah bucket bunga , dengan secarik kertas bertuliskan "sorry".
Duh, siapa pula yang menyimpan bucket bunga ini? Kurang kerjaan memang. "Ciee, bucket dari siapa tuh?" Goda Nana. Aku hanya berdecak kesal, aku berniat akan membuang bucket itu, namun Nana menahanku.
"Mau dikemanain bucketnya?" Tanyanya
"Dibuang"
"Hah dibuang!!!. Jangan dibuang atuh Syif, kasian bucketnya, kamu mah gak ngehargain orang yang ngasih tu bucket. Kasian tau"
"Lagian aku gak tau siapa yang kasih, yaudah aku buang aja"
"Rio yang naro bucket itu tadi pagi" ucap Rahma. Aku hanya menganggukkan kepala, apalagi kalau pemberian dari Rio, bakal bener bener aku buang.
"Eh Syif?" Kali ini bukan Nana yang mencegahku, tapi Luna.
"Kalau kamu gak mau bucketnya, mending buat aku aja" ucapnya, hah kenapa tiba tiba dia begini, apa karena Luna denger kalau bucket ini pemberian Rio. Tapi yaudah sih, kuberikan bucket itu pada Luna, ia sepertinya sangat senang sekali. Kulihat Nana dan Rahma saling beradu pandang, sepertinya mereka heran dengan sikapku dan Luna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanif Dan Syifa (On Going)
Spiritual'Nikah muda?' Kata itu tidak ada dalam kamus kehidupan Asyifa Aulia, menurutnya menikah diusia muda hanya akan menghambat dirinya untuk menggapai mimpinya. Namun semuanya berubah ketika seorang pemuda tiba tiba saja masuk kedalam hidup Syifa. Pemuda...