16 - Graduation

57 8 2
                                    

Kulihat pantulan diriku di cermin, sedikit polesan make up sudah membubuhi wajahku, baju kebaya modern berwarna abu yang memang sudah kupersiapkan sejak lama membalut tubuhku. Kerudung segi empat juga sudah terpakai rapi di kepalaku.

"Cantik" bisik Kak Hanif sambil memelukku dari belakang.

"Aku emang cantik dari lahir Kak" ucapku dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi.

"Eh Kakak ikut kan ke acara perpisahan aku?" Tanyaku memastikan, karena dia sudah berjanji akan hadir di acara perpisahan sekolah.

"Maaf sayang aku gak bisa nganter" jawabnya membuatku kesal, bagaimana mungkin dia tidak datang di acara yang penting seperti ini. Dia bahkan melanggar janjinya.

"Terserah" jawabku ketus, dengan cepat ku pakai high heels milik ibu, ukuran kaki ibu dan kakiku memang sama. Dengan langkah kasar, dan jauh dari kata feminim aku melangkah keluar dari kamar. Mungkin aku satu satunya siswa yang datang ke perpisahan sekolah sendirian. Ibu masih dalam masa iddah, Ibu bilang dia tidak akan keluar rumah sebelum genap 40 hari meninggalnya Ayah, lagipun aku tidak mau memaksa Ibu untuk ikut denganku.

"Ga pengertian banget sih jadi suami. Udah tau ibu ga bisa nganter aku, harusnya dia lah yang gantiin posisi ibu" ucap ku sambil menggerutu kesal.Tanganku dengan lincah segera membuka sebuah aplikasi ojek online. Kuketik alamat penjemputan dan tujuan. Tak lama sebuah motor beat hitam berhenti tepat di depan gerbang rumah, "Itu pasti gojek nya".

"Mba Syifa ya?" Tanya si driver. Aku menganggukan kepala. Sang driver sedikit merasa aneh, kenapa penumpangnya ini memesan motor bukannya mobil, padahal aku sudah memakai kebaya dan make up diwajahku sudah terpoles rapi.

"Mba kenapa ga pesen mobil aja? kalau naik motor takutnya make up mbak luntur" tanya si driver ditengah - tengah perjalanan.

"Saya lagi buru-buru mas jadi pesen motor" jawabku, aku memang terburu-buru tadi, ditambah juga mood ku yang berubah buruh jadi aku tidak peduli dengan make up ku.

Setengah jam kemudia aku sampai di depan gedung yang disewa sekolah untuk mengadakan perpisahan siswa. Segera ku membayar ojek online yang mengantarkanki, aku pun masuk kedalam gedung. Kulihat teman-teman yang lain bergandengan dengan ibu mereka sedangkan aku hanya datang sendirian. Ingin rasanya aku menangis kencang, tapi apalah daya.

"Syifa" panggil seseorang. Kumenoleh dan mencari sumber suara yang memanggilku. Kulihat seorang wanita yang sepantar denganku menghampiri, tubuhnya terbalut dress kebaya berwarna salem, dangat cocok sekali dengannya.

"Suamimu mana?" Tanya nya sambil berbisik. Aku kehabisan kata-kata, tak tahu harus bilang apa.

"Dia ada urusan mendadak Ma, jadi ga bisa ikut" ucapku.

"Ibu ga ikut juga?" Tanyanya lagi.

"Iya ibu ga ikut, soalnya ibu masih dalam masa iddah" Rahma mengangguk kan kepalanya, tanda ia mengerti. "Kalau kamu. Umi kamu mana Ma?". Karena memang aku belum melihat Uminya Rahma sejak tadi.

"Ada. Umi udah masuk duluan. Mau cari tempat duduk yang nyaman katanya. Yauda ayo masuk" ajaknya. Aku mengangguk dan berjalan mengekor di belakang Rahma.

Didalam gedung, kursi - kursi sudah berjejer rapi. Sebelah kanan khusus untuk para siswa dan sebelah kiri untuk para orang tua siswa. Dan jajaran paling depan untuk kepala sekolah dan para guru. Aku sendiri duduk di jajaran ke dua bersama Rahma dan temanku yang lainnya.

Pukul 9 tepat acara baru saja dimulai. Diawali dengan pembacaan doa yang dipimpin oleh salah satu guru agama di sekolah ku. Aku menundukkan kepalaku selama pembacaan doa berlangsung. Tapi tunggu, sepertinya aku mengenal suara ini.

"Itu suamimu Syif" bisik Rahma padaku. Sontak aku langsung melihat ke arah podium, dan benar saja disana seorang pria berdiri diatas podium dan sekilas tersenyum lembut padaku. Hufft, kak Hanif katanya tadi ga bisa dateng. Kok dia malah ada disini.
"Bukannya tadi kamu bilang dia ada urusan mendadak?" Tanya Rahma, aku hanya menggeleng kan kepala.

####

"Ih katanya tadi ga bisa datang?" Tanyaku ketus kepada suamiku. Dia terlihat tersenyum melihatku merajuk. Tadi setelah acara selesai, aku segera pulang sendiri. Ya sendiri, sengaja aku tidak menunggu kak Hanif karena aku masih kesal padanya. Sampai di rumah aku segera mengganti pakaian dan menghapus make up yang menempel di wajahku. Kini aku hanya menggunakan dress rumahan, dengan wajah polos tanpa make up.

"Terus kenapa tadi pulang sendiri? Kenapa ga nunggu aku?" Tanyanya balik. Bukannya menjawab pertanyaanku, dia malah bertanya balik padaku.

"Tadi berangkat juga sendiri, ya pulang juga sendiri lah" balasku masih dengan nada ketus.

Kak Hanif mencubit hidungku dengan lembut, lalu ia memelukku. "Tadi pagi aku belum selesai bicara, aku ga bisa antar, bukan berarti ga bisa hadir". Ucapnya sambil mengelus kepalaku dengan lembut.

"Tadi malam pak kepala sekolah mendadak telfon. Dia nyuruh kakak untuk mengantarnya ke gedung"

"Terus kakak lebih pentingin orang lain dari pada aku gitu?" Kesal sekali aku mendengar alasannya itu. Bagaimana bisa ia mementingkan orang lain dari pada aku, istrinya sendiri.

"Bukannya begitu sayang. Kepala sekolah kan ga tau kalau kita sudah menikah. Kalau kakak nolak nanti dia pasti bertanya-tanya" jawabnya.

"Ga tau ah" aku melepaskan pelukannya dengan sedikit kasar, padahal pelukan suamiku sebenarnya sangat nyaman. Tapi aku masih sangat kesal padanya. "Pokoknya aku marah sama kak Hanif". Ucapku sambil melangkah pergi meninggalkannya.

Dasar ga pengertian.

Aku berjalan menuju kamar ibu, aku ingin menemui nya sekarang, mengingat dari tadi pagi kami belum mengobrol. Eh tapi tunggu, sepertinya ada yang aneh. Diruang tengah ada beberapa balon dengan tulisan congratulation yang menempel di dinding lengkap dengan hiasan-hiasan nya. Dan, ibu berdiri disana sambil memegang sebuah kue coklat berbentuk hati.

"Selamat atas kelulusan kamu, anakku. Maaf ibu ga bisa mendampingi kamu tadi. Love you". Ucap ibu sambil tersenyum. Senyumnya sangat menenangkan sekali, aku yang tadinya sedang kesal pada kak Hanif, seketika sirna ketika melihat senyum ibu. Aku menghampirinya lalu memeluknya. Ibu pun memelukku.

"Love you more ibu"

"Tapi sayang, ayah ga ada disini" ucap ibu, air matanya meleleh membasahi pipi ibi. Aku menghapus air matanya dan kembali memeluknya. Aku pun berharap ayah ada disini di sisiku dan ibu, melihatku lulus dengan nilai yang cukup bagus, tapi ya takdir berkata lain.

"Tapi kini, ada seseorang yang insyaallah mampu untuk mengisi kekosongan dirumah ini, Syif" ucap ibu. Aku menatap ibu, aku tidak mengerti dengan kata kata ibu, memangnya siapa. Dan lagipula posisi ayah dirumah ini tidak akan pernah terganti oleh siapapun. Ibu tersenyum, seolah mengerti dengan kebingunganku. "Suamimu Syif. Insyaallah dia mampu untuk membuat kamu bahagia, walaupun mungkin tidak seperti ayah, tapi ibu yakin dia akan berusaha".

Aku tidak menyadari kalau sejak tadi kak Hanif ada di belakangku, ia memegang dua buah kertas, entah apa itu. "Ini hadiah dari aku Syifa". Ucapnya sambil memeberikan kertas itu padaku.

What, aku terkejut melihatnya. Kak Hanif tahu impianku ini. Padahal selama ini hanya ayah dan ibu yang mengetahui keinginanku ini. Tahu dari mana dia?.

Bersambung.....

Assalamu'alaikum. Setelah sekian lama baru up cerita lagi. Maaf teman-teman yang mungkin menunggu lanjutan cerita ini sejak lama. Satu tahun belakangan ini saya benar benar kehilangan motivasi untuk menulis.
Semoga motivasi saya untuk menulis kembali muncul. Doakan ya teman-teman.

Jazakallah khair.
Semoga suka dengan chapter ini.
Dan terimakasih untuk teman teman yang masih mengikuti kisah Hanif dan Syifa sampai sekarang.

Wassalamu'alaikum.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 07, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hanif Dan Syifa (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang